Jendral Goo masuk ke ruangannya dan langsung menuju komputernya. Tangannya lincah menari di keyboard, beberapa detik kemudian muncul pemandangan yang berasal dari ruangan Tch Enki. Tanpa diketahui siapapun, ia telah memasang CCTV di ruangan sang ketua, dan ia bisa mengakses apapun yang terjadi disana di ruangannya.
Ia tahu, beberapa saat lalu Tch Enki memanggilnya hanya untuk memancing reaksinya soal bumi dan tengkorak Kristal. Ia tak mau gegabah, ia memang tak setuju dengan rencana kembali mengkoloni bumi. Tapi untuk membantah Tch, diperlukan argument khusus agar dia membatalkan rencana itu. Ia diajari untuk mematuhi pemimpin, sekaligus mengingatkan jika sang pemimpin salah.
Tch Enki sudah memberinya kesempatan untuk memperbaiki bumi, tapi ia gagal. Ia sudah mencoba beberapa ratus tahun lalu. Ia langsung menuju ke pusat atlantis, Sundaland. Ternyata semua sudah berubah, daratan yang dulu begitu luas kini terpecah dalam beberapa pulau-pulau. Ia memilih suatu pemerintahan di jaman itu untuk menjadikanya awal kebangkitan para Atlantea, Mojopahit. Luka lama, ia gagal membuktikan kalau dia bisa mempersatukan pulau-pulau itu dalam satu pemerintahan.
Ia tak pernah meminta kesempatan lagi. Manusia bumi terlalu egois untuk meninggikan diri sendiri. Ia hanya mengawasi tingkah laku Tch Enki yang masih ambisius kembali ke bumi tahun 2012 nanti.
Layar di hadapan jendral Goo menampilkan pemimpinnya itu sedang memeriksa titik-titik merah di hologramnya. Dan jelas tiba-tiba ia terkejut, dan menghitung kembali titik merahnya. Jenderal Goo menzoom gambar di monitornya, difokuskan pada titi terakhir yang disentuh Tch Enki. Dia terpana.
“Apa ini? Yang ke 13 telah muncul? Ini tidak mungkin! Aku sudah memastikan benda ini tidak akan keluar lagi untuk selamanya.”
Jenderal Goo mengecek koordinat lokasi titik merah. Surabaya.
Ia mengetik lagi dengan lincah. Gomap, ia melacak lebih mendetail di peta Surabaya. Ia menemukan sebuah rumah di kawasan kenjeran. Dari sana sinyal tengkorak ke 13 berasal.
“Kristal itu telah memilih pemiliknya.” Desisnya seolah takut ada yang mendengar. “Tapi aku harus lebih dulu daripada Yatech.”
Ia berkata begitu dengan tegas, setelah sesaat ia tahu di monitornya, Tch Enki sedang berbicara serius dengan Yatech.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Mereka tidur bersebelahan. Dua wajah yang hampir sama, si kembar Kirani dan Kinanti. Kinanti memandang wajah disampingya. Wajah lugu dan polos. Ia baru saja tidur, dan Saptopun baru saja pulang. Ia tidak jadi berdongeng dan meminta Anti membuat ilustrasi dongeng seperti biasanya. Dan entah, habis maghrib tadi Papa menelepon. Mungkin dia mendapat firasat tentang keadaan putrid-putrinya sehingga menelepon lebih awal. Kirani bersyukur ketika ia bisa mengatakan, Anti baik-baik saja.
Mereka berdua, Kirani dan Sapto bekerja sama membujuk Kinanti agar mau makan. Kinanti rewel, ia menutup mulut rapat-rapat setiap kali Kirani menyuapkan sereal kesukaannya. Bahkan ia menghentak-hentakkan kaki. Kirani ingat, Kinanti suka nasi goreng telur, jadi ia ke dapur membuatkan, tapi Kinanti menolak mentah-mentah. Bahkan, ia merenggut nampan berisi nasi goreng itu dan dilemparkannya ke udara. Sontak seluruh bulir-bulir nasi tumpah ke lantai, piringnya pecah berserak.
Sapto pun ikut turun ke dapur, ia membuatkan omelet bayam. Sambil bercerita tentang popeye dan kekuatan supernya dari sayuran itu, Sapto berhasil membuat Kinanti menyantap hasil masakannya. Kinanti tidak marah, ia sudah biasa menghadapi hal seperti ini setiap hari. Kinanti yang rewel dan susah diatur. Kinanti yang membingungkan karena tak bisa ditebak maunya. Kinanti yang hidup dalam dunianya sendiri.
Sekarang dia sudah tidur, lelap. Pasti lelah karena setelah selesai makan tadi Sapto mengajaknya bermain sebagai Popeye dan Kirani duduk mengawasi tak jauh dari mereka, sambil diam-diam mengusap air matanya yang tiba-tiba menitik.
Kinanti terlihat menyukai Sapto. Meski sesekali ia terdiam beberapa saat, dan memandang Sapto dengan wajah aneh yang membuat Sapto tersenyum perih.
Kirani mengelus pipi kakaknya. Ia tujuh belas tahun, Kinanti juga. Tapi faktanya, Kinanti masih tujuh tahun, dan selamanya akan selalu tujuh tahun. Kinanti bangkit, baru saja dia ingat kalau hari ini ia belum membuka facebook sama sekali. Buru-buru ia nyalakan netbooknya dan membelakangi Kinanti yang sudah tidur. Kirani meletakkan boneka Bernard Bear disampingnya.
“Rani main-main terus.”
Lho? Anti belum tidur ternyata.
Kirani menoleh, Kinanti sudah duduk dengan posisi yoga. Bernard dalam pelukannya.
“Anti tadi sudah tidur, jadi Rani tinggal.”
“Tinggal seperti kakek Jamal?”
Kakek Jamal?
“Berbaring. Orang-orang mengaji Yasin.”
“Meninggal…”
“Tinggal.”
Ohhh, Kirani baru paham, kakek Jamal meninggal. Ia mengerutkan kening, siapa sih kakek Jamal? Ah, Anti memang memiliki teman khayalan yang aneh-aneh. Autis, salah satu kata yang tercetak tebal di benak Kirani sehingga ia harus memahami Kinanti sebagai sosok bocah tujuh tahun yang terkurung dalam tubuh 17 tahun.
“Anti bobo saja. Rani sibuk. “
“Sapto.”
“Sapto pulang karena Anti tidur. Sapto mengerjakan PR.”
“Sapto.”
Kirani menghela nafas. Pertanda buruk, Kinanti mengulang-ulang kata. Bisa jadi ini awal kemarahannya.
“Sapto pulang. Dia dicari mamanya”
“Sapto.” Kinanti membuang Bernard. Di tangannya ada sesuatu, seperti sebuah lembaran kain kumal. Ia meremas-remasnya dengan kesal. “Sapto tinggalkan Anti.”
Kinanti masih dalam posisi duduk yoganya. Matanya menatap ke dinding, kosong.
“Apa itu Anti?” ia mendekati Kinanti dan mencoba mencari tahu benda dalam remasan tangan Kinanti. Itu sebuah lembaran kulit. Ya, kulit.
“Kakek Jamal tinggalkan Anti.”
Kinanti mengambil sekumpulan kartu bergambar berukuran 4x4 yang disatukan dengan gantungan kunci berbentuk globe dari sakunya. Ia meletakkan kulitnya di ranjang dan membolak-balik kartunya. Kirani tahu, Ia sedang ingin menyampaikan sesuatu pada Kirani.
Itulah jendela menuju dunia Kinanti, agar dia bisa mengatakan sesuatu tanpa banyak bicara, ia bisa menunjukkan salah satu kartu gambarnya sebagai kata kunci. Sebenarnya ia terlalu pandai berbahasa, tapi terlalu sulit juga mengungkapkannya.
Ia menunjukkan kartu bergambar seorang laki-laki tua berkaca mata.
“Kakek Jamal.”
Tapi Kirani lebih tertarik pada kulit itu yang sekarang diperhatikannya baik-baik. Sepertinya sudah sangat lawas, tapi jelas ada semacam gambar disana dan guratan aneh, semacam tulisan kuno. Ya… itu adalah tulisan bahasa jawa!
Jangan-jangan ini peta! Kulit ini asli kumal seolah berasal dari jaman kuno. Tepi-tepinya pun sudah rusak dimakan usia, dan bau! Pasti! Pasti ada sesuatu. Jangan-jangan peta harta karun!
Deg!
Kirani menoleh pada Kinanti yang memandangi gambar lelaki tuanya. Ia masih mengulang-ulang nama Jamal seperti mantra saja.
Apakah ini peta harta karun peninggalan kakek Jamal?
Ia beranjak ke meja belajar dan menggelar kulit itu disana. Memang itu sebuah peta. Ada tanda segitiga, kotak dan symbol-simbol aneh dalam lembar kulit yang hamper berbentuk jajaran genjang dengan ukuran 10x15 cm itu. huruf jawanya tertulis rapi seperti hasil ketikan. Kinanti jadi ingat ia sangat benci pelajaran bahasa daerah karena terlalu sulitnya mengingat ke20 aksara jawa. Ia hanya ingat Ra…. Seperti huruf N, titik.
“Ini adalah petunjuk menuju harta karun itu, aku yakin!”
“Kakek Jamal.” Kata Kinanti
“Tapi aku tidak bisa membacanya. Di Google translatepun tak da fasilitas menterjemahkannya.”
“Kakek Jamal.” Tukas Kinanti
“Anti, siapa kakek Jamal?” Kirani kembali pada Kinanti. yang ditanya tidak merespon, hanya mengulang nama. Buntu. Tidak, tidak buntu. Kata kuncinya adalah JAMAL. Tapi siapa Jamal? Dimana dia sekarang? Dari mana Kinanti mengenalnya? Benak Kirani penuh tanda tanya.
Ting tong!
Bel pintu.
“Sebentar Anti, ada tamu.”
“Kakek Jamal.” Sepertinya Kinanti tak mau ditinggal. Ia turun ranjang mengikuti langkah Kirani kebawah. Ruang tamu gelap, sengaja Kirani tak menyalakan lampu. Ia mengintip lewat lubang pintu, dan terlihatlah seraut wajah seorang laki-laki, seusia Om Faye, suami tante Riri.
Oh, ia lupa mengunci pagar kembali setelah Sapto pulang. Jadi sang tamu ini bisa langsung ke pintu. Sebentar, jangan-jangan dia orang jahat!
Kirani mundur, ia waspada. Ia menoleh sekeliling mencari sesuatu yang bisa dijadikan perlindungan sekiranya terjadi sesuatu yang membahayakan jika ia membuka pintu. Ia baru hendak mengambil tongkat golf di guci sudut ruang tamu ketika tiba-tiba seberkas cahaya muncul, memuat siluet seorang laki-laki.
Cahaya itu dari pintu yang terbuka lebar, membuka jalan bagi sinar lampu teras untuk masuk. Kirani terkesiap. Kinanti berdiri di depan pintu, tepat di hadapan tamu tak diundang itu.
Kirani telat, Kinanti telah mendahuluinya membuka pintu.
Kirai menahan nafas. Hening. Hanya detak jam dinding. Kinanti diam, pun laki-laki itu, mereka bertatapan beberapa detik sebelum Kinanti membuka mulutnya.
“Kakek Jamal pulang.”
Lalu gelap. Laki-laki itu menutup pintu dibelakangnya.
Sabtu, 26 Februari 2011
LIMA
Tiba-tiba Kirani merasa sebagai bagian dari adegan Terminator 2. Laki-laki itu berubah menjadi Arnold Swarzheneger dan ia adalah Linda Hamilton. Dia adalah T-800! Bedanya ia harus melindungi seorang Kinanti,bukan John Connor!
“Menyelamatkan diri dari apa? T-1000?” ejek Kirani.
“Jangan banyak bicara! Bawa pakaian seperlunya saja!” laki-laki itu berkali-kali melihat ke jam tangannya, seolah ia sedang berpacu dengan waktu.
Kirani seperti dihipnotis buru-buru berkemas. Tapi ia tahu laki-laki itu serius.
Ia meraup baju seadanya dan menjejalkannya dalam ransel. Ponsel, netbook, modem, charger… Bernard buat Kinanti.
“Sudah, aku siap.” Terakhir, ia memakai topi kesayangannya, no fear!
“Ayo jalan. Dia akan datang dalam beberapa menit lagi.” Sekali lagi laki-laki itu melihat arlojinya.
Kirani hampir menutup pintu kamar ketika ia teringat sesuatu. Peta kulit itu.
“Sebentar,” dengan cepat ia melesat kembali ke meja belajar, peta itu masih disana. Secepatnya ia jejalkan ke ranselnya.
Ia bergegas turun ke bawah. Kinanti masih duduk di kursi, meremas-remas tangan seperti biasanya. Laki-laki itu di dekat jendela, mengintip keluar.
“Mereka seratus meter dari sini. Dan kita tak mungkin lewat pintu depan.”
“Pintu belakang.” Seru Kirani.
“Cepat!”
“An…” Kirani tak meneruskan panggilannya, dia melihat laki-laki asing itu segera mendukung Kinanti. Kinanti tak berontak.
Kirani berlari, membimbing laki-laki itu menuju pintu belakang. Pintu itu sebenarnya jarang dibuka, karena tak ada yang menarik di belakang sana. terakhir yang kecuali sebidang tanah kapling milik tetangga yang di belakang sana yang tak diurusi pemiliknya, penuh ilalang.
Mereka tiba didepan pintu ketika terdengar bel pintu depan dipencet.
“Mereka datang.”
Kirani membuka pintu, krek! Macet. Pintu terkunci rapat. Ia mencoba lagi dengan panic. Tetap tidak berhasil.
“Kunci, Nung.” Kinanti menukas lirih.
“Gawat! Nung yang menyimpan kunci pintu ini.” Kirani memekik.
Tanpa menurunkan Kinanti, laki-laki itu mendobrak pintu. Sekali sentak langsung terbuka, dan Kirani menganga.
Terakhir ia tahu tanah itu penuh ilalang, tapi kini, dalam terang bulan tanggal 12, ia bisa melihat pantulan bulan di tetanahan, tepatnya rerawaan! pesing menyerang indra pembau. Ternyata tanah ini sudah berubah fungsi menjadi danau urin! Dan sekeliling menjulang tembok-tembok tetangga. Tak ada jalan keluar!
“Bagaimana ini.”
Sementara bel pintu terdengar beruntun. Dihadapannya. tina-
“Tidak bisa begini.”
Laki-laki itu menurunkan Kinanti lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kunci. Dia tersenyum pada Kirani. Senyum aneh, dan Kirani penasaran.
Laki-laki itu duduk jongkok, dengan kunci itu ia membuat gambar lingkaran seukuran dasar gallon air mineral di lantai. Dan ketika ia selesai, lantai yang masuk dalam lingkaran itu berubah warna menjadi hijau dan menyilaukan. Dan Kirani bengong ketika laki-laki itu mengambil lingkaran hijau itu dari lantai dengan gampangnya, seolah mengambil tutup tandon air saja.
Laki-laki itu baru saja melubangi lantai? Gila! Bisa ngamuk Papa kalau tahu lantainya bolong!
Dan menganga di sana, sebuah lubang seperti sebuah sumur gelap tak berdasar.
. “Masuk!” ia memerintah.
“Hah?” Kirani mendelik.
“Cepat!”
“Tapi..”
Tak sabar laki-laki itu meraih pundak Kirani dan mendorongnya ke lubang.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Dan Kirani seperti dihempaskan sekuat tenaga, ia menutup mata dan merasakan dirinya melayang bebas sesuai gravitasi bumi. ia membekap mulutnya sendiri dengan tangan kanan demi mencegah teriakannya keluar dari tenggorokannya, padahal urat lehernya sampai mengembang seperti Candil. Kulit kepalanya terasa dingin. Tangan kirinya memegangi topi yang sempat ia pegang sesaat sebelum ia jatuh bebas. Telinganya berdengung seperti halnya ketika berkendara turun gunung.
Ini gila!
Ia mencoba mengingat peristiwa beberapa menit lalu, ketika pintu ditutup.
Kirani hampir akan berteriak tetapi merasa mulutnya tiba-tiba dibekap dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di sofa. Belum hilang keterkejutannya, tiba-tiba pula Kinanti sudah ada disampingnya. Begitu cepat gerakan-gerakan itu hingga ia berpikir laki-laki di hadapannya adalah superman!
Tapi dia bukan superman, dia tidak mengenakan baju biru ketat dengan celana merah ketat pula. Tak ada logo S! dia hanya seorang laki-laki biasa, setinggi Papa. Kulitnya putih (…. Atau albino?), hidungnya mancung seperti orang arab. Bola matanya biru muda. Kirani tak tahu dari rasa pa lelaki ini berasal, Australoid, Kaukasoid, atau Mongoloid?
“Maaf mengejutkan kalian, tapi aku harus membawa kalian pergi dari sini.”
Kirani membuka mulut, tapi terasa kaku, sangat. Ia merasa lumpuh. Tapi sepertinya laki-laki tu tahu apa yang hendak dikatakan Kirani.
“Aku Gootech dari Nibiru.”
Nibiru? Planet X?
“Aku akan menjelaskan nanti. Sekarang yang pasti kita harus pergi, kalian dalam bahaya. Tch Enki telah mengutus pasukannya untuk datang kesini mencari kalian. Dan jika dia berhasil menemukan kalian, maka bumi bisa dipastikan benar-benar hancur di tahun 2012”
“Hah?”
Kirani melongo. Bukannya itu cerita film?
Ia menampar pipinya, sakit. Ini nyata.
“Kenapa mencari..”
“Kalian memiliki sesuatu yang dia cari.”
“Apa?”
“Sudah kubilang, aku akan menjelaskannya nanti.”
“Tap….”
Kirani kehilangan suara, tiba-tiba ia sudah berada di ranjangnya. Ia bahkan tak tahu kenapa bisa begitu. Tapi laki-laki itu juga disana bersamanya. Ia berdiri di dekat almari dan membuka pintuya.
“Cepat berkemas.”
Tiba-tiba Kirani merasa tubuhnya mulai ringan. Seolah ia baru saja meloncat dari pesawat dan terjun di udara yang kehilangan gravitasi.
Ia melayang. Ia merasa udara sekitarnya tak lagi dingin menerpa. Ia terbang. Ketika ia menggerakkan tangannya, ia hanya menyentuh kosong disana sini. ia seperti berenang dalam kolam udara.
Ia merentangkan tangan, lalu dengan menggunakan gaya kupu-kupu ia mencoba meneliti sekelilingnya. Namun kosong, ia tak menyentuh apapun. Dengung di telinganya menghilang.
Perlahan ia membuka mata, tapi batal demi dilihatnya semua hanya hitam. Ia dalam kegelapan, sendirian. Ia menggerakkan tubuhnya, meraba sekeliling, kosong. Tak ada apapun, sesuarapun. Hening.
“Kau tidak apa-apa.” Kirani kaget mendengar suara tiba-tiba itu. laki-laki itu, seperti di gendang telinganya sendiri.
“Ya. Aku hanya merasa aku buta. Gelap sekali disini. “
Tak ada jawaban, bahkan Kirani hanya mendengar desah nafasnya sendiri.
“Hei..! kau dimana? Anti.” Tukasnya khawatir.
“Dia baik-baik saja.” Kirani melonjak lagi, suara itu dekat sekali dengan cuping telinganya.
“Dimana kita?”
“Lubang cacing.”
“Lubang cacing?”
“Ya. Lubang cacing adalah…..”
“Kita akan segera mendarat. Persiapkan kakimu.”
Bahkan belum selesai laki-laki itu bicara, Kirani sudah merasa kakinya menyentuh sesuatu. Ia segera menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh. Merasa ada kilatan di kelopak matanya, dia pikir sudah waktunya membuka mata.
Dan ia mendapati dirinya disebuah daerah luas tak berbatas. Lantai yang dipijaknya adalah dataran halus berwarna putih. Ia menoleh, laki-laki itu menurunkan Kinanti dari punggungnya.
“Dimana kita?”
“Nibiru?”
“Menyelamatkan diri dari apa? T-1000?” ejek Kirani.
“Jangan banyak bicara! Bawa pakaian seperlunya saja!” laki-laki itu berkali-kali melihat ke jam tangannya, seolah ia sedang berpacu dengan waktu.
Kirani seperti dihipnotis buru-buru berkemas. Tapi ia tahu laki-laki itu serius.
Ia meraup baju seadanya dan menjejalkannya dalam ransel. Ponsel, netbook, modem, charger… Bernard buat Kinanti.
“Sudah, aku siap.” Terakhir, ia memakai topi kesayangannya, no fear!
“Ayo jalan. Dia akan datang dalam beberapa menit lagi.” Sekali lagi laki-laki itu melihat arlojinya.
Kirani hampir menutup pintu kamar ketika ia teringat sesuatu. Peta kulit itu.
“Sebentar,” dengan cepat ia melesat kembali ke meja belajar, peta itu masih disana. Secepatnya ia jejalkan ke ranselnya.
Ia bergegas turun ke bawah. Kinanti masih duduk di kursi, meremas-remas tangan seperti biasanya. Laki-laki itu di dekat jendela, mengintip keluar.
“Mereka seratus meter dari sini. Dan kita tak mungkin lewat pintu depan.”
“Pintu belakang.” Seru Kirani.
“Cepat!”
“An…” Kirani tak meneruskan panggilannya, dia melihat laki-laki asing itu segera mendukung Kinanti. Kinanti tak berontak.
Kirani berlari, membimbing laki-laki itu menuju pintu belakang. Pintu itu sebenarnya jarang dibuka, karena tak ada yang menarik di belakang sana. terakhir yang kecuali sebidang tanah kapling milik tetangga yang di belakang sana yang tak diurusi pemiliknya, penuh ilalang.
Mereka tiba didepan pintu ketika terdengar bel pintu depan dipencet.
“Mereka datang.”
Kirani membuka pintu, krek! Macet. Pintu terkunci rapat. Ia mencoba lagi dengan panic. Tetap tidak berhasil.
“Kunci, Nung.” Kinanti menukas lirih.
“Gawat! Nung yang menyimpan kunci pintu ini.” Kirani memekik.
Tanpa menurunkan Kinanti, laki-laki itu mendobrak pintu. Sekali sentak langsung terbuka, dan Kirani menganga.
Terakhir ia tahu tanah itu penuh ilalang, tapi kini, dalam terang bulan tanggal 12, ia bisa melihat pantulan bulan di tetanahan, tepatnya rerawaan! pesing menyerang indra pembau. Ternyata tanah ini sudah berubah fungsi menjadi danau urin! Dan sekeliling menjulang tembok-tembok tetangga. Tak ada jalan keluar!
“Bagaimana ini.”
Sementara bel pintu terdengar beruntun. Dihadapannya. tina-
“Tidak bisa begini.”
Laki-laki itu menurunkan Kinanti lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kunci. Dia tersenyum pada Kirani. Senyum aneh, dan Kirani penasaran.
Laki-laki itu duduk jongkok, dengan kunci itu ia membuat gambar lingkaran seukuran dasar gallon air mineral di lantai. Dan ketika ia selesai, lantai yang masuk dalam lingkaran itu berubah warna menjadi hijau dan menyilaukan. Dan Kirani bengong ketika laki-laki itu mengambil lingkaran hijau itu dari lantai dengan gampangnya, seolah mengambil tutup tandon air saja.
Laki-laki itu baru saja melubangi lantai? Gila! Bisa ngamuk Papa kalau tahu lantainya bolong!
Dan menganga di sana, sebuah lubang seperti sebuah sumur gelap tak berdasar.
. “Masuk!” ia memerintah.
“Hah?” Kirani mendelik.
“Cepat!”
“Tapi..”
Tak sabar laki-laki itu meraih pundak Kirani dan mendorongnya ke lubang.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Dan Kirani seperti dihempaskan sekuat tenaga, ia menutup mata dan merasakan dirinya melayang bebas sesuai gravitasi bumi. ia membekap mulutnya sendiri dengan tangan kanan demi mencegah teriakannya keluar dari tenggorokannya, padahal urat lehernya sampai mengembang seperti Candil. Kulit kepalanya terasa dingin. Tangan kirinya memegangi topi yang sempat ia pegang sesaat sebelum ia jatuh bebas. Telinganya berdengung seperti halnya ketika berkendara turun gunung.
Ini gila!
Ia mencoba mengingat peristiwa beberapa menit lalu, ketika pintu ditutup.
Kirani hampir akan berteriak tetapi merasa mulutnya tiba-tiba dibekap dan tiba-tiba saja dia sudah duduk di sofa. Belum hilang keterkejutannya, tiba-tiba pula Kinanti sudah ada disampingnya. Begitu cepat gerakan-gerakan itu hingga ia berpikir laki-laki di hadapannya adalah superman!
Tapi dia bukan superman, dia tidak mengenakan baju biru ketat dengan celana merah ketat pula. Tak ada logo S! dia hanya seorang laki-laki biasa, setinggi Papa. Kulitnya putih (…. Atau albino?), hidungnya mancung seperti orang arab. Bola matanya biru muda. Kirani tak tahu dari rasa pa lelaki ini berasal, Australoid, Kaukasoid, atau Mongoloid?
“Maaf mengejutkan kalian, tapi aku harus membawa kalian pergi dari sini.”
Kirani membuka mulut, tapi terasa kaku, sangat. Ia merasa lumpuh. Tapi sepertinya laki-laki tu tahu apa yang hendak dikatakan Kirani.
“Aku Gootech dari Nibiru.”
Nibiru? Planet X?
“Aku akan menjelaskan nanti. Sekarang yang pasti kita harus pergi, kalian dalam bahaya. Tch Enki telah mengutus pasukannya untuk datang kesini mencari kalian. Dan jika dia berhasil menemukan kalian, maka bumi bisa dipastikan benar-benar hancur di tahun 2012”
“Hah?”
Kirani melongo. Bukannya itu cerita film?
Ia menampar pipinya, sakit. Ini nyata.
“Kenapa mencari..”
“Kalian memiliki sesuatu yang dia cari.”
“Apa?”
“Sudah kubilang, aku akan menjelaskannya nanti.”
“Tap….”
Kirani kehilangan suara, tiba-tiba ia sudah berada di ranjangnya. Ia bahkan tak tahu kenapa bisa begitu. Tapi laki-laki itu juga disana bersamanya. Ia berdiri di dekat almari dan membuka pintuya.
“Cepat berkemas.”
Tiba-tiba Kirani merasa tubuhnya mulai ringan. Seolah ia baru saja meloncat dari pesawat dan terjun di udara yang kehilangan gravitasi.
Ia melayang. Ia merasa udara sekitarnya tak lagi dingin menerpa. Ia terbang. Ketika ia menggerakkan tangannya, ia hanya menyentuh kosong disana sini. ia seperti berenang dalam kolam udara.
Ia merentangkan tangan, lalu dengan menggunakan gaya kupu-kupu ia mencoba meneliti sekelilingnya. Namun kosong, ia tak menyentuh apapun. Dengung di telinganya menghilang.
Perlahan ia membuka mata, tapi batal demi dilihatnya semua hanya hitam. Ia dalam kegelapan, sendirian. Ia menggerakkan tubuhnya, meraba sekeliling, kosong. Tak ada apapun, sesuarapun. Hening.
“Kau tidak apa-apa.” Kirani kaget mendengar suara tiba-tiba itu. laki-laki itu, seperti di gendang telinganya sendiri.
“Ya. Aku hanya merasa aku buta. Gelap sekali disini. “
Tak ada jawaban, bahkan Kirani hanya mendengar desah nafasnya sendiri.
“Hei..! kau dimana? Anti.” Tukasnya khawatir.
“Dia baik-baik saja.” Kirani melonjak lagi, suara itu dekat sekali dengan cuping telinganya.
“Dimana kita?”
“Lubang cacing.”
“Lubang cacing?”
“Ya. Lubang cacing adalah…..”
“Kita akan segera mendarat. Persiapkan kakimu.”
Bahkan belum selesai laki-laki itu bicara, Kirani sudah merasa kakinya menyentuh sesuatu. Ia segera menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh. Merasa ada kilatan di kelopak matanya, dia pikir sudah waktunya membuka mata.
Dan ia mendapati dirinya disebuah daerah luas tak berbatas. Lantai yang dipijaknya adalah dataran halus berwarna putih. Ia menoleh, laki-laki itu menurunkan Kinanti dari punggungnya.
“Dimana kita?”
“Nibiru?”
TIGA
“Hah, hilang?” sapto jelas sangat kaget. Ia belum sempat duduk saat Kirani menyampaikan berita Kinanti. “Bagaimana bisa? Nung kemana?”
“Pulang ke Madura, baru balik seminggu kedepan.”
“Lalu? Anti kamu tinggal sendirian di rumah?”
Kiranin mengangguk,
“Kamu sudah hubungi papa mamamu?”
“Tidak! Aku piker Anti diajakin tante Riri, tapi ternyata tidak. Papa mama biasanya telpon setelah isya’.”
“Telpon saja sekarang!”
“Gila, no way! Mereka bisa panic, dan berbalik menyalahkan aku!”
“Jangan-jangan dia diculik!”
“Itu juga yang kupikirkan.”
“Bisa gawat Ki.” Sapto memanggil nama panggilan asli Kirani, pertanda dia serius.
“Makanya aku juga bingung.”
Kirani mengangguk. Mereka berdua duduk di ruang tamu, sama-sama gelisah. Kirani memainkan ujung bantal sofa, Sapto menggaruk kepala.
“Rasanya aku tahu dia berada dimana!” tukas Sapto memecah hening.
“Dimana”
“Ayo!” Sapto bangkit. Kirani mengikuti langkah cowok itu ke lantai dua. Karena dia akrab dengan Kinanti dan Kinanti terlihat menyukai Sapto, Papa dan mama tidak keberatan Sapto sering main ke rumah. Malah mereka menganggap Sapto kakak kedua bagi Kinanti selain Kirani.
Sapto berhenti di depan kamar tidur Kinanti. Tangannya sudah memegang gagang pintu, namun belum membukanya.
“Dia tidak di kamar ini Sap.”
“Kamu tahu, Kinanti suka sekali bersembunyi di almari kamar bermain?”
Kirani menggeleng. Jadi malu, seolah Sapto lebih mengenal Kinanti daripada dia sendiri.
“Tapi Kinanti lebih suka disini,” Kinanti memang punya dua kamar, satu khusus untuk bermain, satu untuk tidur. “Dia lebih suka di kamarnya, kamu tahu rak boneka?”
Kirani mengangguk.
“Dinding boneka.” Ralatnya. Karena memang bukan rak, tapi dinding yang sengaja dibentuk seperti loker dengan kotak-kotak terbuka tanpa pintu dan dicat sewarna dinding. Tiap kotak berisi boneka raksasa berbagai tokoh kartun kesukaan Kinanti. Tedy, Garfield, Winnie… entah apa lagi. Kirani tak tahu, tak terlalu suka.
“Kadang, Anti suka sekali duduk di salah satu kotak rak, berpura-pura jadi boneka.”
“Hah?” kirani melongo. Ia mengingat-ingat, apa tadi sempat meneliti dinding boneka.
“Kamu sudah mengeceknya?”
“Engg, rasanya tidak deh.. tapi masa Anti begitu?”
“Namanya juga Anti. Ia itu unik, tahu ga sih?”
Pintu dibuka. Pandangan Kirani langsung menuju dinding boneka. Mencermati satu persatu kotak rak, sepertinya tak ada tanda-tanda Anti.
“Tak ada,” tukasnya lirih, kecewa.
“Ya, tak ada,” ulang Sapto.
Brak!
Reflex keduanya bersitatap. Ada suara benda jatuh diluar.
“Anti!” desisnya sambil buru-buru berlari keluar. Sapto menyusul di belakangnya. seolah ada yang menuntum, Kirani menuruni tangga, langsung menuju ruang makan. ia yakin suara yang didengarnya berasal dari sana.
Dan, ia menemukan sumber suara itu, sekaligus penciptanya.
Kinanti.
Dia berdiri kaku disana, di depan kulkas. Memandangi guci keramik wadah payung di sebelah kanan kulkas. Guci yang tak utuh lagi, hamper tak berbentuk. Pecah berantakan, potongan keramik berserakan di lantai. Di tangan Kinanti masih tergenggam sebuah paying warna merah muda.
“Anti.” Hati-hati Kirani mendekat. ia tahu ia tidak boleh berteriak pada Kinanti, ia bisa kaget dan marah. Jika sudah begitu, hanya Nung yang bisa menyembuhkannya.
Sapto pun tahu aturan itu, sehingga ia menahan diri, hanya berdiri memandang.
“Anti.” Kirani memanggil lirih. Ia disamping Kinanti sekarang, tangannya terangkat hendak menyentuh pundak Kinanti. aturan kedua, harus menyentuhnya dulu sebelum mengajaknya bicara. “Kamu dari mana?” Dari pundak, tangan Kirani menuju pipi Kinanti. kirani membelai sepasang pipi Kinanti lembut, mencoba mendapatkan perhatiannya.
Sepertinya ia berhasil. Perlahan Kinanti mengalihkan tatapannya dari guci ke Kirani. Sapto menahan nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang tak beres.
Kinanti memandang Kirani, sepasang wajah yang hamper sama. Tapi sebenarnya ia tak pernah memandang. Tatapan matanya jauh menembus tubuh Kirani, bahkan seolah menembus dinding di belakang Kirani. Seolah tak pernah ada Kirani di hadapannya.
Tiba-tiba, Kinanti mendengus. Nafasnya memburu, dan sedetik kemudian tak terduga ia membuang payungnya dan langsung dengan dua tangannya ia mendorong tubuh Kirani dengan liar seolah hendak menyingkirkannya. Kirani terpekik, karena tak menduga gerakan Kinanti. ia tak punya persiapan sehingga ia terjengkang dengan punggung mencium lantai.
“Kira!” lanjutan teriakan Sapto terpaksa ditelan mentah-mentah karena Kirani yang masih terlentang di lantai meringis kesakitan, masih sempat meletakkan telunjuknya dibibir, pertanda Sapto masih harus diam. Tanpa bersuara, ia segera mendekati Kirani dan membantunya berdiri.
Sementara nafas Kinanti masih memburu, ia menuju meja makan. matanya kosong. Ia duduk di salah satu kursi. Tangannya saling meremas.
“Sakit Ran?” bisik Sapto. Tapi Kirani sama sekali tak mendengar, yang jadi obyek terpenting sekarang adalah Kinanti yang duduk manis di kursi. Tangannya terlipat rapi di meja, tidak saling meremas lagi, pertanda dia tidak gelisah lagi. Hanya kakinya masih terjuntai bergoyang-goyang ke depan ke belakang. Kepalanya mengangguk-angguk dengan bibir menggumamkan sesuatu yang ga jelas didengar. Matanya menembus tembok.
Tiba-tiba Kirani teringat sesuatu.
“Sap, ini salahku.”
“Apa?”
“Anti marah padaku. Ia kelaparan,”
“Pulang ke Madura, baru balik seminggu kedepan.”
“Lalu? Anti kamu tinggal sendirian di rumah?”
Kiranin mengangguk,
“Kamu sudah hubungi papa mamamu?”
“Tidak! Aku piker Anti diajakin tante Riri, tapi ternyata tidak. Papa mama biasanya telpon setelah isya’.”
“Telpon saja sekarang!”
“Gila, no way! Mereka bisa panic, dan berbalik menyalahkan aku!”
“Jangan-jangan dia diculik!”
“Itu juga yang kupikirkan.”
“Bisa gawat Ki.” Sapto memanggil nama panggilan asli Kirani, pertanda dia serius.
“Makanya aku juga bingung.”
Kirani mengangguk. Mereka berdua duduk di ruang tamu, sama-sama gelisah. Kirani memainkan ujung bantal sofa, Sapto menggaruk kepala.
“Rasanya aku tahu dia berada dimana!” tukas Sapto memecah hening.
“Dimana”
“Ayo!” Sapto bangkit. Kirani mengikuti langkah cowok itu ke lantai dua. Karena dia akrab dengan Kinanti dan Kinanti terlihat menyukai Sapto, Papa dan mama tidak keberatan Sapto sering main ke rumah. Malah mereka menganggap Sapto kakak kedua bagi Kinanti selain Kirani.
Sapto berhenti di depan kamar tidur Kinanti. Tangannya sudah memegang gagang pintu, namun belum membukanya.
“Dia tidak di kamar ini Sap.”
“Kamu tahu, Kinanti suka sekali bersembunyi di almari kamar bermain?”
Kirani menggeleng. Jadi malu, seolah Sapto lebih mengenal Kinanti daripada dia sendiri.
“Tapi Kinanti lebih suka disini,” Kinanti memang punya dua kamar, satu khusus untuk bermain, satu untuk tidur. “Dia lebih suka di kamarnya, kamu tahu rak boneka?”
Kirani mengangguk.
“Dinding boneka.” Ralatnya. Karena memang bukan rak, tapi dinding yang sengaja dibentuk seperti loker dengan kotak-kotak terbuka tanpa pintu dan dicat sewarna dinding. Tiap kotak berisi boneka raksasa berbagai tokoh kartun kesukaan Kinanti. Tedy, Garfield, Winnie… entah apa lagi. Kirani tak tahu, tak terlalu suka.
“Kadang, Anti suka sekali duduk di salah satu kotak rak, berpura-pura jadi boneka.”
“Hah?” kirani melongo. Ia mengingat-ingat, apa tadi sempat meneliti dinding boneka.
“Kamu sudah mengeceknya?”
“Engg, rasanya tidak deh.. tapi masa Anti begitu?”
“Namanya juga Anti. Ia itu unik, tahu ga sih?”
Pintu dibuka. Pandangan Kirani langsung menuju dinding boneka. Mencermati satu persatu kotak rak, sepertinya tak ada tanda-tanda Anti.
“Tak ada,” tukasnya lirih, kecewa.
“Ya, tak ada,” ulang Sapto.
Brak!
Reflex keduanya bersitatap. Ada suara benda jatuh diluar.
“Anti!” desisnya sambil buru-buru berlari keluar. Sapto menyusul di belakangnya. seolah ada yang menuntum, Kirani menuruni tangga, langsung menuju ruang makan. ia yakin suara yang didengarnya berasal dari sana.
Dan, ia menemukan sumber suara itu, sekaligus penciptanya.
Kinanti.
Dia berdiri kaku disana, di depan kulkas. Memandangi guci keramik wadah payung di sebelah kanan kulkas. Guci yang tak utuh lagi, hamper tak berbentuk. Pecah berantakan, potongan keramik berserakan di lantai. Di tangan Kinanti masih tergenggam sebuah paying warna merah muda.
“Anti.” Hati-hati Kirani mendekat. ia tahu ia tidak boleh berteriak pada Kinanti, ia bisa kaget dan marah. Jika sudah begitu, hanya Nung yang bisa menyembuhkannya.
Sapto pun tahu aturan itu, sehingga ia menahan diri, hanya berdiri memandang.
“Anti.” Kirani memanggil lirih. Ia disamping Kinanti sekarang, tangannya terangkat hendak menyentuh pundak Kinanti. aturan kedua, harus menyentuhnya dulu sebelum mengajaknya bicara. “Kamu dari mana?” Dari pundak, tangan Kirani menuju pipi Kinanti. kirani membelai sepasang pipi Kinanti lembut, mencoba mendapatkan perhatiannya.
Sepertinya ia berhasil. Perlahan Kinanti mengalihkan tatapannya dari guci ke Kirani. Sapto menahan nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang tak beres.
Kinanti memandang Kirani, sepasang wajah yang hamper sama. Tapi sebenarnya ia tak pernah memandang. Tatapan matanya jauh menembus tubuh Kirani, bahkan seolah menembus dinding di belakang Kirani. Seolah tak pernah ada Kirani di hadapannya.
Tiba-tiba, Kinanti mendengus. Nafasnya memburu, dan sedetik kemudian tak terduga ia membuang payungnya dan langsung dengan dua tangannya ia mendorong tubuh Kirani dengan liar seolah hendak menyingkirkannya. Kirani terpekik, karena tak menduga gerakan Kinanti. ia tak punya persiapan sehingga ia terjengkang dengan punggung mencium lantai.
“Kira!” lanjutan teriakan Sapto terpaksa ditelan mentah-mentah karena Kirani yang masih terlentang di lantai meringis kesakitan, masih sempat meletakkan telunjuknya dibibir, pertanda Sapto masih harus diam. Tanpa bersuara, ia segera mendekati Kirani dan membantunya berdiri.
Sementara nafas Kinanti masih memburu, ia menuju meja makan. matanya kosong. Ia duduk di salah satu kursi. Tangannya saling meremas.
“Sakit Ran?” bisik Sapto. Tapi Kirani sama sekali tak mendengar, yang jadi obyek terpenting sekarang adalah Kinanti yang duduk manis di kursi. Tangannya terlipat rapi di meja, tidak saling meremas lagi, pertanda dia tidak gelisah lagi. Hanya kakinya masih terjuntai bergoyang-goyang ke depan ke belakang. Kepalanya mengangguk-angguk dengan bibir menggumamkan sesuatu yang ga jelas didengar. Matanya menembus tembok.
Tiba-tiba Kirani teringat sesuatu.
“Sap, ini salahku.”
“Apa?”
“Anti marah padaku. Ia kelaparan,”
DUA
Tch Enki duduk di singgasananya yang terbuat dari emas murni berbentuk spink dengan roda luncur yang memungkinkannya bergerak kesana kemari tanpa harus berjalan. Ia berada di tengah ruangan, mengamati dengan seksama satu persatu tayangan di monitornya.
Di belakang sang penguasa, jendral Gootecth berdiri dengan sikap siap. Ia harus menjawab semua pertanyaan yang mungkin akan diajukan.
Tch Enki terlihat sangat serius memakukan sepasang matanya pada layar utama yang berukuran 4x4 meter tersebut. Sebuah adegan miris sebuah tsunami menghantam sebuah kepulauan di Negara Indonesia. Jendral Gootech sendiri yang merekam kejadian itu tangal 26 desember 2004 lalu dengan teleskop Humbtect-nya. Tch Ink memang memerintahkannya mengawasi bencana-bencana alam yang terjadi di mantan daerah kekuasaanya itu.
“Berapa manusia yang mati saat peristiwa ini, Jendral.”
“Lebih dari 200.000 jiwa, Tch Enki.”
Adegan berubah. Remuk redam kota Jogjakarta setelah gempa tahun 2006. Masih di Indonesia.
“Lalu, gempa ini?”
“Hampir 6000 jiwa.”
“Mereka yang menyebabkan kerusakan itu sendiri. Mereka tak mencintai alam. Dan alam yang terluka akan membalas dendam. Mereka tidak berpikir berapa banyak alam telah memberi mereka, dasar manusia serakah”
Jendral Gootech tak menjawab. Andai ia bisa meyakinkan kalau masih ada segelintir manusia yang mau perduli dengan alam, mungkin atasannya itu akan berpikir ulang untuk kembali ke bumi.
“Kita akan secepatnya kesana.” Tukas Tch Enki penuh kemenangan. “Dan mereka yang tak berhak atas bumi harus segera pergi.”
“Mereka adalah keturunan para atlantea yang tidak ikut mengungsi. Mereka adalah bagian dari kita.” sanggah Gootech.
“Tentu saja mereka para atlantea, tapi mereka adalah ras pekerja! Kau lupa Goo, mereka hanyalah hasil dari proyek genetika Ninharsag?”
“Ini masih 2011 Tch. Orbit Nibiru baru akan mendekati bumi akhir tahun 2012”
“Tinggal beberapa saat lagi. Aku sudah tak sabar. Aku rindu dengan bumi.”
“Tentu, saya juga rindu.”
Tch Enki menoleh, mencoba mengenali ketulusan kata-kata bawahannya lewat rona wajahnya, tapi Gootecth bergeming. Malah sang jendral berbalik memandangnya dengan tajam. Tch Enki segan. Ia tak mau berdebat dengan salah satu orang terjenius di kerajaan ini. Nibiru membutuhkan orang-orang semacam dia, jangan membuatnya berubah pikiran. Ia membuang kecurigaanya jauh-jauh.
“Tengkorak kristal masih aman di tempatnya?”
“Ya.”
Jenderal Goo menuju hologram kepala. ia menyentuhkan telunjuk kanannya di sana dan disini, seperti mengetik sebuah password. Hologram itu berubah bentuk menjadi peta bumi. Di beberapa bagian, muncul tanda merah berpendar. Itulah sinyal para tengkorak Kristal yang sudah diketemukan manusia bumi. Mereka aman bersama pemiliknya kini, entah esok. Karena Tch Enki sudah memutuskan akan kembali memerintah budak-budak itu, seperti yang pernah dilakukan nenek moyangnya ribuan tahun lalu, para Annunaki.
“Beberapa dari kita telah kususupkan diantara manusia, bahkan beberapa pemilik tengkorak itu adalah orang kita. kita tinggal menunggu waktu saja untuk menemukan tengkorak ke 13.”
“Kau sangat bertanggung jawab atas tugasmu Goo.”
“Saya hanya menjalankan tugas.”
Tch Enki mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Pembicaraan dengan Gootech selalu dalam suasana resmi, dan sepertinya ia terlalu bodoh jika harus selalu bertanya padanya, padahal ia yang pemimpin, bukan Gootech. Ia paham, Goo tak pernah sependapat dengannya untuk kembali ke bumi, ia piker Nibiru sudah cukup, tak perlu membuat manusia itu kehilangan kebebasan.
“Baiklah Goo, Tinggalkan aku sendiri.” Tch Enki mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat.
“Baik, Tch Enki.”
Jendral Gootech menuju ke pintu. Ia memencet sebuah tombol. Pintu terbuka, ia lewat, dan pintu kembali tertutup.
Tch Enki menuju hologram peta bumi. Ia menyentuh tiap titik merah dengan ujung jari, seolah menghitung. Sudah 12 titik, berarti 12 tengkorak. Tinggal satu lagi dan ia akan kembali menguasai bumi. Para atlantea akan segera kembali.
Ia akan mengulang masa jaya Atlantis, benua yang kata manusia bumi sudah hilang.
“Dasar para budak bodoh. Bagaimana bisa mereka mereka-reka berbagai macam teori tentang punahnya Atlantis sedang aku selalu mengawasi mereka tiap waktu? Ketika Nibiru kembali, maka aku akan kembali. Dan kalian para manusia bodoh, kalian akan sadar bahwa kalian sebenarnya hanyalah budak dari kami, para Atlantea. Hahahaha”
Dia tertawa lebar, memandang ke monitor yang menayangkan salah satu siaran Televisi bumi yang menyajikan Opera Van Java.
“Para badut konyol!”
Bip! Bip! Tch Enki menoleh pada asal suara barusan. Ia tahu, sangat tahu dan hafal. Itu adalah bunyi alarm sinyal tengkorak Kristal. Ia memandang peta bumi dalam hologram itu. suara bip masih terdengar. Ia menghitung titik merah dalam peta itu, ada 13. Ia mengulang lagi, 13. Ia mneyentuh titik merah ke 13, mencoba memperjelas koordinatnya, 7.17S 112.45E. Surabaya, Indonesia.
Perfect! Tepat seperti yang dia perkirakan. Tengkorak ke 13 memang berada di Indonesia.
Bip! Bip! Cahaya merah itu berubah ungu dan berpijar. Ia tak menyangka akan secepat ini. Ia harus segera bertindak.
Reflex Tch Enki menekan salah satu tombol di kursinya. Terdengar suara gemerisik di monitor yang sama saat ia memanggil jenderal Goo. Tapi kali yang muncul wajah lain.
“Yaa, cepat datang ke KulUforoom.”
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
“Anti! Where are you baby?”
Lengang, tak ada jawaban. Biasanya juga begitu jika Kirani pulang. Tak ada suara. Ia akan segera makan dan sholat, lalu langsung menuju lantai atas, ke kamar bermain Kinanti. Dia akan selalu mendapati Kinanti menggambar ditunggui Nung. Nung kadang-kadang tertidur dan baru terbangun kalau Kirani sudah hamper setengah jam ikutan nimbrung di kamar itu. dan ia langsung buru-buru minta maaf.
Kirani hanya tersenyum dan menyuruhnya makan siang, karena ia pasti kelelahan menjaga Anti ketika ia bersekolah.
Tapi kali ini tak ada Nung. Ia pulang kampung kemarin sore. Jadi hari ini Kinanti sendirian di rumah.
Kirani langsung naik ke kamar biasanya. Tapi kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Anti. Kamar mandinya juga kosong. Kirani ke kamar tidur Kinanti, siapa tahu dia disana, tapi kosong juga.
Deg! Kirani tiba-tiba merasa sangat cemas.
Ia berlari ke kamar orang tuanya yang sudah tak dihuni 3 bulan ini. Kosong juga. Ia ke kamar Nung, kosong.
Dimana Anti?
“Anti! Anti!” ia berteriak. Suaranya memantul ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada jawaban juga. Ia meneliti seluruh sudut rumah, bahkan tempat-tempat favorit Kinanti, tapi tak ada dia. Kinanti hilang!
“Ya Tuhan!” KIrani memukul kepalanya sendiri. “Baru sehari tanpa Nung dan aku sudah ceroboh begini.”
Kemarin sore saat Nung pulang, Kinanti menjerit minta ikut. Tapi tentu saja tidak boleh begitu. Ayah Nung meninggal, dia baru akan balik seminggu lagi. Nung sudah mengambil pembantu sementara untuk Kinanti, tapi mengingat Kirani baru saja selesai UAS, jadi tak akan ada kegiatan wajib disekolah selain classmeeting, selama semingguan Kirani bisa terus pulang pagi dan menjaga Kinanti.
“Anti, dimana kamu?” masih tak putus asa, sekali lagi disusurnya penjuru rumah. Tak ada yang terlewat, bahkan gudangpun dia longok. Tapi hasilnya nihil.
Kirani duduk di ruang makan. lelah kakinya berkeliling. Diteguknya habis segelas air dingin dari kulkas. Ia harus berpikir jernih soal Kinanti. ia telah membiasakan dirinya berpikir dengan tenang dan logis, sekaligus menahan emosi menghadapi kelakukan Kinanti, khususnya tiga bulan terakhir ketika ia harus menjadi single sister buat Kinanti, selama orang tua mereka menyelesaikan studi S3nya di Australia.
“Aku yakin telah mengunci pintu, jadi dia takkan keluar rumah. Tapi di rumah dia tak ada. Tidak mungkinlah dia menghilang bagai ditelan bumi begini.” Kirani memainkan anak kunci rumah di tangannya.
“Kemungkinan pertama, aku lupa mengunci, tapi itu tak mungkin. Aku sudah mengecek sampai tiga kali sebelum aku berangkat. Kemungkinan kedua, tante Riri kesini dan mengajak Anti keluar jalan-jalan. Oke, sebaiknya aku telpon dia dulu.” Kirani mengambil ponselnya, mencari nomor tante Riri, adik Mama satu-satunya yang memiliki duplikat kunci.
“Halo.” Langsung diangkat. Lagi ramai di seberang. Semoga tente sedang berbelanja dan Kinanti bersamanya. Tante Riri sudah lama menikah tapi belum dikarunia anak juga, jadi ia sangat menyayangi Kinanti seperti anaknya sendiri. Dan selera Kinanti biasanya cocok dengan selera Tante Riri, itulah kenapa Tante pesoleknya itu selalu mengajak Kinanti dan bukan Kirani jika berbelanja.
“Ya sayang.”
“Tante lagi belanja?”
“Belum sampai sayang, baru di jalan, ada kecelakaan. Tante sama teman-teman tante, saying sekali ga bisa mengajak Kinanti.”
“Oh, ya sudah tante, makasih, ati-ati.” Telpon ditutup.
Tidak, dia tidak bersama Tante Riri, lalu dimana?
Kirani menuang lagi air dingin dari botol. Sejuk merayapi kerongkongannya yang dilanda dehidrasi.
Kinanti diculik!
Tiba-tiba ide itu menusuk benaknya.
Kriiing!
Telepon.
Itu pasti si penculik meminta tebusan.
Pasti ia dengan mudah membawa Kinanti keluar tadi. Toh Kinanti mudah diatur kecuali dia sedang ngambek. Ia toh tak perduli dengan siapa ia bicara atau ikut, tepatnya ia tidak tahu.
Kring!
Angkat tidak?
Kirani maju mundur. Maju.
“Hallo…”
“Granny, aku depan pagar nih. Dari tadi pencet bel ga ada yang bukain. Panas nih.”
Gosh, Sapto! Bukan penculik . ketiwasan Kirani sudah berpikir macam-macam.
“Tapi belum sampai gosong kan Sap. Katanya tadi mau latihan basket dulu.”
“Ga jadi, sudah kangen berat sama Anti.”
“Padahal Antinya hilang.”
“Apa suaramu ga jelas…”
“Ga apa-apa. Sebentar aku keluar.”
Di belakang sang penguasa, jendral Gootecth berdiri dengan sikap siap. Ia harus menjawab semua pertanyaan yang mungkin akan diajukan.
Tch Enki terlihat sangat serius memakukan sepasang matanya pada layar utama yang berukuran 4x4 meter tersebut. Sebuah adegan miris sebuah tsunami menghantam sebuah kepulauan di Negara Indonesia. Jendral Gootech sendiri yang merekam kejadian itu tangal 26 desember 2004 lalu dengan teleskop Humbtect-nya. Tch Ink memang memerintahkannya mengawasi bencana-bencana alam yang terjadi di mantan daerah kekuasaanya itu.
“Berapa manusia yang mati saat peristiwa ini, Jendral.”
“Lebih dari 200.000 jiwa, Tch Enki.”
Adegan berubah. Remuk redam kota Jogjakarta setelah gempa tahun 2006. Masih di Indonesia.
“Lalu, gempa ini?”
“Hampir 6000 jiwa.”
“Mereka yang menyebabkan kerusakan itu sendiri. Mereka tak mencintai alam. Dan alam yang terluka akan membalas dendam. Mereka tidak berpikir berapa banyak alam telah memberi mereka, dasar manusia serakah”
Jendral Gootech tak menjawab. Andai ia bisa meyakinkan kalau masih ada segelintir manusia yang mau perduli dengan alam, mungkin atasannya itu akan berpikir ulang untuk kembali ke bumi.
“Kita akan secepatnya kesana.” Tukas Tch Enki penuh kemenangan. “Dan mereka yang tak berhak atas bumi harus segera pergi.”
“Mereka adalah keturunan para atlantea yang tidak ikut mengungsi. Mereka adalah bagian dari kita.” sanggah Gootech.
“Tentu saja mereka para atlantea, tapi mereka adalah ras pekerja! Kau lupa Goo, mereka hanyalah hasil dari proyek genetika Ninharsag?”
“Ini masih 2011 Tch. Orbit Nibiru baru akan mendekati bumi akhir tahun 2012”
“Tinggal beberapa saat lagi. Aku sudah tak sabar. Aku rindu dengan bumi.”
“Tentu, saya juga rindu.”
Tch Enki menoleh, mencoba mengenali ketulusan kata-kata bawahannya lewat rona wajahnya, tapi Gootecth bergeming. Malah sang jendral berbalik memandangnya dengan tajam. Tch Enki segan. Ia tak mau berdebat dengan salah satu orang terjenius di kerajaan ini. Nibiru membutuhkan orang-orang semacam dia, jangan membuatnya berubah pikiran. Ia membuang kecurigaanya jauh-jauh.
“Tengkorak kristal masih aman di tempatnya?”
“Ya.”
Jenderal Goo menuju hologram kepala. ia menyentuhkan telunjuk kanannya di sana dan disini, seperti mengetik sebuah password. Hologram itu berubah bentuk menjadi peta bumi. Di beberapa bagian, muncul tanda merah berpendar. Itulah sinyal para tengkorak Kristal yang sudah diketemukan manusia bumi. Mereka aman bersama pemiliknya kini, entah esok. Karena Tch Enki sudah memutuskan akan kembali memerintah budak-budak itu, seperti yang pernah dilakukan nenek moyangnya ribuan tahun lalu, para Annunaki.
“Beberapa dari kita telah kususupkan diantara manusia, bahkan beberapa pemilik tengkorak itu adalah orang kita. kita tinggal menunggu waktu saja untuk menemukan tengkorak ke 13.”
“Kau sangat bertanggung jawab atas tugasmu Goo.”
“Saya hanya menjalankan tugas.”
Tch Enki mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Pembicaraan dengan Gootech selalu dalam suasana resmi, dan sepertinya ia terlalu bodoh jika harus selalu bertanya padanya, padahal ia yang pemimpin, bukan Gootech. Ia paham, Goo tak pernah sependapat dengannya untuk kembali ke bumi, ia piker Nibiru sudah cukup, tak perlu membuat manusia itu kehilangan kebebasan.
“Baiklah Goo, Tinggalkan aku sendiri.” Tch Enki mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat.
“Baik, Tch Enki.”
Jendral Gootech menuju ke pintu. Ia memencet sebuah tombol. Pintu terbuka, ia lewat, dan pintu kembali tertutup.
Tch Enki menuju hologram peta bumi. Ia menyentuh tiap titik merah dengan ujung jari, seolah menghitung. Sudah 12 titik, berarti 12 tengkorak. Tinggal satu lagi dan ia akan kembali menguasai bumi. Para atlantea akan segera kembali.
Ia akan mengulang masa jaya Atlantis, benua yang kata manusia bumi sudah hilang.
“Dasar para budak bodoh. Bagaimana bisa mereka mereka-reka berbagai macam teori tentang punahnya Atlantis sedang aku selalu mengawasi mereka tiap waktu? Ketika Nibiru kembali, maka aku akan kembali. Dan kalian para manusia bodoh, kalian akan sadar bahwa kalian sebenarnya hanyalah budak dari kami, para Atlantea. Hahahaha”
Dia tertawa lebar, memandang ke monitor yang menayangkan salah satu siaran Televisi bumi yang menyajikan Opera Van Java.
“Para badut konyol!”
Bip! Bip! Tch Enki menoleh pada asal suara barusan. Ia tahu, sangat tahu dan hafal. Itu adalah bunyi alarm sinyal tengkorak Kristal. Ia memandang peta bumi dalam hologram itu. suara bip masih terdengar. Ia menghitung titik merah dalam peta itu, ada 13. Ia mengulang lagi, 13. Ia mneyentuh titik merah ke 13, mencoba memperjelas koordinatnya, 7.17S 112.45E. Surabaya, Indonesia.
Perfect! Tepat seperti yang dia perkirakan. Tengkorak ke 13 memang berada di Indonesia.
Bip! Bip! Cahaya merah itu berubah ungu dan berpijar. Ia tak menyangka akan secepat ini. Ia harus segera bertindak.
Reflex Tch Enki menekan salah satu tombol di kursinya. Terdengar suara gemerisik di monitor yang sama saat ia memanggil jenderal Goo. Tapi kali yang muncul wajah lain.
“Yaa, cepat datang ke KulUforoom.”
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
“Anti! Where are you baby?”
Lengang, tak ada jawaban. Biasanya juga begitu jika Kirani pulang. Tak ada suara. Ia akan segera makan dan sholat, lalu langsung menuju lantai atas, ke kamar bermain Kinanti. Dia akan selalu mendapati Kinanti menggambar ditunggui Nung. Nung kadang-kadang tertidur dan baru terbangun kalau Kirani sudah hamper setengah jam ikutan nimbrung di kamar itu. dan ia langsung buru-buru minta maaf.
Kirani hanya tersenyum dan menyuruhnya makan siang, karena ia pasti kelelahan menjaga Anti ketika ia bersekolah.
Tapi kali ini tak ada Nung. Ia pulang kampung kemarin sore. Jadi hari ini Kinanti sendirian di rumah.
Kirani langsung naik ke kamar biasanya. Tapi kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Anti. Kamar mandinya juga kosong. Kirani ke kamar tidur Kinanti, siapa tahu dia disana, tapi kosong juga.
Deg! Kirani tiba-tiba merasa sangat cemas.
Ia berlari ke kamar orang tuanya yang sudah tak dihuni 3 bulan ini. Kosong juga. Ia ke kamar Nung, kosong.
Dimana Anti?
“Anti! Anti!” ia berteriak. Suaranya memantul ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada jawaban juga. Ia meneliti seluruh sudut rumah, bahkan tempat-tempat favorit Kinanti, tapi tak ada dia. Kinanti hilang!
“Ya Tuhan!” KIrani memukul kepalanya sendiri. “Baru sehari tanpa Nung dan aku sudah ceroboh begini.”
Kemarin sore saat Nung pulang, Kinanti menjerit minta ikut. Tapi tentu saja tidak boleh begitu. Ayah Nung meninggal, dia baru akan balik seminggu lagi. Nung sudah mengambil pembantu sementara untuk Kinanti, tapi mengingat Kirani baru saja selesai UAS, jadi tak akan ada kegiatan wajib disekolah selain classmeeting, selama semingguan Kirani bisa terus pulang pagi dan menjaga Kinanti.
“Anti, dimana kamu?” masih tak putus asa, sekali lagi disusurnya penjuru rumah. Tak ada yang terlewat, bahkan gudangpun dia longok. Tapi hasilnya nihil.
Kirani duduk di ruang makan. lelah kakinya berkeliling. Diteguknya habis segelas air dingin dari kulkas. Ia harus berpikir jernih soal Kinanti. ia telah membiasakan dirinya berpikir dengan tenang dan logis, sekaligus menahan emosi menghadapi kelakukan Kinanti, khususnya tiga bulan terakhir ketika ia harus menjadi single sister buat Kinanti, selama orang tua mereka menyelesaikan studi S3nya di Australia.
“Aku yakin telah mengunci pintu, jadi dia takkan keluar rumah. Tapi di rumah dia tak ada. Tidak mungkinlah dia menghilang bagai ditelan bumi begini.” Kirani memainkan anak kunci rumah di tangannya.
“Kemungkinan pertama, aku lupa mengunci, tapi itu tak mungkin. Aku sudah mengecek sampai tiga kali sebelum aku berangkat. Kemungkinan kedua, tante Riri kesini dan mengajak Anti keluar jalan-jalan. Oke, sebaiknya aku telpon dia dulu.” Kirani mengambil ponselnya, mencari nomor tante Riri, adik Mama satu-satunya yang memiliki duplikat kunci.
“Halo.” Langsung diangkat. Lagi ramai di seberang. Semoga tente sedang berbelanja dan Kinanti bersamanya. Tante Riri sudah lama menikah tapi belum dikarunia anak juga, jadi ia sangat menyayangi Kinanti seperti anaknya sendiri. Dan selera Kinanti biasanya cocok dengan selera Tante Riri, itulah kenapa Tante pesoleknya itu selalu mengajak Kinanti dan bukan Kirani jika berbelanja.
“Ya sayang.”
“Tante lagi belanja?”
“Belum sampai sayang, baru di jalan, ada kecelakaan. Tante sama teman-teman tante, saying sekali ga bisa mengajak Kinanti.”
“Oh, ya sudah tante, makasih, ati-ati.” Telpon ditutup.
Tidak, dia tidak bersama Tante Riri, lalu dimana?
Kirani menuang lagi air dingin dari botol. Sejuk merayapi kerongkongannya yang dilanda dehidrasi.
Kinanti diculik!
Tiba-tiba ide itu menusuk benaknya.
Kriiing!
Telepon.
Itu pasti si penculik meminta tebusan.
Pasti ia dengan mudah membawa Kinanti keluar tadi. Toh Kinanti mudah diatur kecuali dia sedang ngambek. Ia toh tak perduli dengan siapa ia bicara atau ikut, tepatnya ia tidak tahu.
Kring!
Angkat tidak?
Kirani maju mundur. Maju.
“Hallo…”
“Granny, aku depan pagar nih. Dari tadi pencet bel ga ada yang bukain. Panas nih.”
Gosh, Sapto! Bukan penculik . ketiwasan Kirani sudah berpikir macam-macam.
“Tapi belum sampai gosong kan Sap. Katanya tadi mau latihan basket dulu.”
“Ga jadi, sudah kangen berat sama Anti.”
“Padahal Antinya hilang.”
“Apa suaramu ga jelas…”
“Ga apa-apa. Sebentar aku keluar.”
satu
UAS hari terakhir. Setelah 120 menit bergulat dengan soal-soal tata busana di jam kedua, akhirnya bel pun berbunyi. Para siswa menyambutnya dengan lega. Setelah ini tidak akan ada lagi pelajaran yang menyesakkan dada. Classmeeting selama seminggu kedepan akan menghibur kepenatan belajar di semester ganjil, sabtu depan tinggal ambil raport.
Begitu guru pengawas keluar dari ruang ujian, semua berhamburan keluar seolah berebut lebih dulu bisa lolos dari kawah candradimuka. Suasana bagai pasar malam saja.
Kirani paling terakhir meninggalkan kelas, dan seperti biasa, ia melihat Sapto sudah menunggu di depan kelas. Bocah edan, bisa ga sih dia sehari saja tidak nempel aku?
Walau sebenarnya ada kebanggaan juga sih kalau dia dekat-dekat terus. Bisa tambah hot gossip bahwa Sapto dan Kirani ngedate, dan akan berderet cewek yang patah hati di sekolah ini selain Reni dan Lala. Di pihak cowok, pasti Refangga! Hihihi, sekalian mengetes, apa benar dia benar-benar pantas dijadikan pacar. Tapi sejauh ini, ketua kelasnya itu masih adem ayem saja.
“Kenapa? Wajah ditekuk begitu? Ntar para bidadari pada ngejauh lhoo…” goda Kirani saat Sapto menjejeri langkahnya menuju parkir. Sepanjang koridor, Kirani merasa kalau sudah terlalu banyak wajah-wajah putus asa yang memandang mereka. Bukan salahnya, tapi memang ia sudah mengenal Sapto jauh sebelum sekolah disini, jadi tidak salah kalau Sapto mengalami ketergantungan padanya.
“Bosan aku.”
“Bosan? Belum juga sebulan kamu pindah kesini, sudah bilang bosan. Harusnya yang bilang begitu tuh aku, yang hampir tiga tahun disini.”
“Coba deh, siapa yang nggak bosan kalau dari pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, aku udah di berondong permintaan yang tidak jelas dari orang-orang yang tidak jelas juga.”
“Hmm….” Kirani tahu, apa permintaan tidak jelas, dan juga orang-orang yang tidak jelas.
“Reni selalu telepon tiap malam, bikin aku pengen banting tuh ponsel, panas banget telingaku ngedengar suara cemprengnya. Lala minta diajakin jalan. Neti keseringan nraktir, Ratna yang nyanggong di perpustakaan, Umi… ngancam kalau ntar malam aku ga ngajakin dia nonton, maka dia yang nyamperin ke rumah.”
“Hahahhaa…..!” meledak tawa Kirani. “Itu wajar bro buat cowok semacam kamu. Kamu keren, pinter, kaya, barang baru pula, jadinya para cewek pada histeris. Lha bukannya kamu juga suka jadi idola?”
“Awalnya sih iya. Tapi lama-lama jadi keki juga. Tidak ada sisi positif yang bisa aku ambil.”
“Kecuali Neti yang hobi traktir…” Kirani setengah berbisik karena yang namanya disebut ada di depan sana, hendak masuk ke mobilnya, agak cemberut melihat kemesraan Kirani VS Sapto.
Dan Sapto nakal juga, buru-buru tangannya menggamit tangan Kirani. Neti semakin cemberut, lalu buru-buru masuk ke mobil dengan pintu dibanting.
“Haaahaha..” keduanya tertawa serempak.
Hmmmm, tiba-tiba Kirani berpikir, andai ada Refangga disini, apakah dia akan berbuat hal yang sama seperti Neti? Sayang dia sudah pulang duluan. RX kingnya sudah tak ada di parkiran. Kayaknya lagak malu-malu mau Kirani berbalik arah. Refangga mulai menjauh.
Hmm, without him or not, the show must goes on!
Merekapun akhirnya sampai disamping Avansa Kirani.
“Kira.”
“Ya Sap?” si empunya tahi lalat di bawah dagu itu membuka pintu mobil dan melemparkan ranselnya ke jok belakang.
Tempat parkir siswa sudah lumayan sepi, Kirani tak perlu susah-susah memutar Avansanya agar dapat segera pulang.
Panas banget kota pahlawan siang ini. Kirani membuka topinya, dipakainya berkipas-kipas. Keringat berleleran di lehernya, membasahi seragam putihnya. Rambutnya yang pendek jadi lepek.
“Ntar aku ke rumah ya.” Tukas Sapto.
“Ngapain?” Sapto garuk-garuk kepala, salah tingkah rupanya. Kirani tertawa lebar, ia tahu pasti jawaban pertanyaannya sendiri, “Kinanti?”
“He eh.” Yang ditanya Cuma mengangguk sambil cengar-cengir. “Biasa, mau ngedongengin dia. Aku baru saja nulis cerita baru nih”
“Kamu tuh, memanfaatkan anak kecil! Dosa loh!” sebenarnya Kirani sebal juga sama Sapto. Dia pasti meminta tolong adiknya itu menggambar tokoh-tokoh dongeng rekaannya. Tapi ada baiknya juga, Kinanti jadi punya teman bermain.
“Kan aku dan Anti patner kerja.” Sangkal Sapto.
“Patner?” kirani memicingkan mata, seolah mencari sesuatu di diri Sapto yang memiliki nilai lebih, “Hmmm…”
“Apa’an?” Sapto jadi bingung dilihatin dari ujung rambut ke ujung kaki.
“Jangan-jangan… kamu naksir Anti yah?”
“Hah?” Sapto bengong sedetik, lalu terbahak-bahak.
“Kenapa tidak naksir aku saja sih?” tiba-tiba Kirani berkata sedih. “Aku kan juga cantik, juga masih jomblo.” Lanjutnya. Sapto semakin terbahak.
“Hahaaa… kamu cemburu yah?”
“Hmmm….”
“Aku sih pengennya naksir kamu Ki, Cuma….”
“Cuma apa?” Kirani menunggu, mimiknya penuh harap.
“Cuma, kan aku tahu kalau kamu bukan cewek!”
“Haahaa….” Kirani terbahak-bahak, juga Sapto. “Kamu tau saja sih.” Kirani menjotos pundak Sapto dengan geli. Sapto hendak menjitak Kirani, tapi ia kalah cepat. Kirani menangkisnya tangkas.
“Eit,tidak boleh bersikap kasar dengan calon kakak ipar.”
“Iya kakak Go kong, adik akan mematuhi perintahmu” Sapto menirukan lagak panglima Tian Feng dalam kera sakti. Kirani yang tak bisa menahan gelaknya, memegangi perutnya yang hamper kejang.
“Sudah!” dia tak tahan lagi, “Jam berapa ke rumah?”
“Jam lima deh. Setelah ini aku mau latihan basket dulu.”
“Oke.”
Kirani membuka pintu Avansanya. Semakin terik saja matahari. Seragam putihnya sudah basah keringat. Sapto hendak berbalik ketika mesin sudah menyala, tapi Kirani memanggilnya lagi.
“Jangan lupa, “ jendela mobil terbuka, Kirani hendak berwasiat rupanya, “Mi ayam yang biasanya ya.”
“Dasar perut karet!”
Kirani tertawa lebar, jendela menutup kembali. Dari spion ia melihat Sapto masih memandanginya sekian detik, lalu berbalik. Dalam hati Kirani bersyukur masih ada Sapto yang mau perduli dengan dia, terutama dengan Kinanti.
Ah, si kecil itu di rumah sendirian. Tiba-tiba Kirani khawatir.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Ruangan itu penuh dengan monitor berbagai ukuran. Sebuah meja ada di tengah ruangan, ditengahnya ada hologram sosok kepala seorang laki-laki berhidung mancung berwarna ungu muda. Di belakang meja itu, ada sebuah kursi emas berbentuk spink. Jelas itu bukan ruangan biasa.
Pintu dibuka, seorang laki-laki yang kepalanya diproyeksikan di hologram mesuk. Ia langsung duduk di kursi dan menekan salah satu tombol di lengan kursi. Pandangannya tertuju di monitor utama, ada tiga wajah, John Cusack, Amanda Peet dan Danny Glover.
Ia tersenyum sendiri, tertera tanggal di tayangan itu, Los Angeles 3 November, 2009. Dia tertawa sendiri, saat melihat cuplikan warga bumi panik saat ramalan suku Indian Maya Inca Peru tentang kiamat menjadi kenyataan. Patung Kristus Sang Penebus yang berdiri kokoh di Rio de Janeiro, Brasil, hancur berkeping-keping. Hujan meteor berbola api disusul gempa mengguncang hebat. Yang tak kalah menggetarkan, basilika Gereja Santo Petrus di Vatikan, runtuh. Bahkan kapal perang USS John F Kennedy tak berdaya diamuk badai dan akhirnya karam.
Premiere 2012 di Regal Cinemas L.A. LIVE.
Tangannya menekan sebuah tombol lain, dan matanya beralih ke sebuah monitor lain di sisi kiri. Segera muncul wajah lelaki lain.
“Goo, datanglah ke KulUFOroom. Ada yang ingin aku bicarakan”
Lelaki dalam monitor mengangguk.
“Baik.”
Blap! Monitor mati. Dengan telunjuknya, laki-laki di kursi spink itu mengusap cincin Kristal di jari manis tangan kanannya.
Begitu guru pengawas keluar dari ruang ujian, semua berhamburan keluar seolah berebut lebih dulu bisa lolos dari kawah candradimuka. Suasana bagai pasar malam saja.
Kirani paling terakhir meninggalkan kelas, dan seperti biasa, ia melihat Sapto sudah menunggu di depan kelas. Bocah edan, bisa ga sih dia sehari saja tidak nempel aku?
Walau sebenarnya ada kebanggaan juga sih kalau dia dekat-dekat terus. Bisa tambah hot gossip bahwa Sapto dan Kirani ngedate, dan akan berderet cewek yang patah hati di sekolah ini selain Reni dan Lala. Di pihak cowok, pasti Refangga! Hihihi, sekalian mengetes, apa benar dia benar-benar pantas dijadikan pacar. Tapi sejauh ini, ketua kelasnya itu masih adem ayem saja.
“Kenapa? Wajah ditekuk begitu? Ntar para bidadari pada ngejauh lhoo…” goda Kirani saat Sapto menjejeri langkahnya menuju parkir. Sepanjang koridor, Kirani merasa kalau sudah terlalu banyak wajah-wajah putus asa yang memandang mereka. Bukan salahnya, tapi memang ia sudah mengenal Sapto jauh sebelum sekolah disini, jadi tidak salah kalau Sapto mengalami ketergantungan padanya.
“Bosan aku.”
“Bosan? Belum juga sebulan kamu pindah kesini, sudah bilang bosan. Harusnya yang bilang begitu tuh aku, yang hampir tiga tahun disini.”
“Coba deh, siapa yang nggak bosan kalau dari pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, aku udah di berondong permintaan yang tidak jelas dari orang-orang yang tidak jelas juga.”
“Hmm….” Kirani tahu, apa permintaan tidak jelas, dan juga orang-orang yang tidak jelas.
“Reni selalu telepon tiap malam, bikin aku pengen banting tuh ponsel, panas banget telingaku ngedengar suara cemprengnya. Lala minta diajakin jalan. Neti keseringan nraktir, Ratna yang nyanggong di perpustakaan, Umi… ngancam kalau ntar malam aku ga ngajakin dia nonton, maka dia yang nyamperin ke rumah.”
“Hahahhaa…..!” meledak tawa Kirani. “Itu wajar bro buat cowok semacam kamu. Kamu keren, pinter, kaya, barang baru pula, jadinya para cewek pada histeris. Lha bukannya kamu juga suka jadi idola?”
“Awalnya sih iya. Tapi lama-lama jadi keki juga. Tidak ada sisi positif yang bisa aku ambil.”
“Kecuali Neti yang hobi traktir…” Kirani setengah berbisik karena yang namanya disebut ada di depan sana, hendak masuk ke mobilnya, agak cemberut melihat kemesraan Kirani VS Sapto.
Dan Sapto nakal juga, buru-buru tangannya menggamit tangan Kirani. Neti semakin cemberut, lalu buru-buru masuk ke mobil dengan pintu dibanting.
“Haaahaha..” keduanya tertawa serempak.
Hmmmm, tiba-tiba Kirani berpikir, andai ada Refangga disini, apakah dia akan berbuat hal yang sama seperti Neti? Sayang dia sudah pulang duluan. RX kingnya sudah tak ada di parkiran. Kayaknya lagak malu-malu mau Kirani berbalik arah. Refangga mulai menjauh.
Hmm, without him or not, the show must goes on!
Merekapun akhirnya sampai disamping Avansa Kirani.
“Kira.”
“Ya Sap?” si empunya tahi lalat di bawah dagu itu membuka pintu mobil dan melemparkan ranselnya ke jok belakang.
Tempat parkir siswa sudah lumayan sepi, Kirani tak perlu susah-susah memutar Avansanya agar dapat segera pulang.
Panas banget kota pahlawan siang ini. Kirani membuka topinya, dipakainya berkipas-kipas. Keringat berleleran di lehernya, membasahi seragam putihnya. Rambutnya yang pendek jadi lepek.
“Ntar aku ke rumah ya.” Tukas Sapto.
“Ngapain?” Sapto garuk-garuk kepala, salah tingkah rupanya. Kirani tertawa lebar, ia tahu pasti jawaban pertanyaannya sendiri, “Kinanti?”
“He eh.” Yang ditanya Cuma mengangguk sambil cengar-cengir. “Biasa, mau ngedongengin dia. Aku baru saja nulis cerita baru nih”
“Kamu tuh, memanfaatkan anak kecil! Dosa loh!” sebenarnya Kirani sebal juga sama Sapto. Dia pasti meminta tolong adiknya itu menggambar tokoh-tokoh dongeng rekaannya. Tapi ada baiknya juga, Kinanti jadi punya teman bermain.
“Kan aku dan Anti patner kerja.” Sangkal Sapto.
“Patner?” kirani memicingkan mata, seolah mencari sesuatu di diri Sapto yang memiliki nilai lebih, “Hmmm…”
“Apa’an?” Sapto jadi bingung dilihatin dari ujung rambut ke ujung kaki.
“Jangan-jangan… kamu naksir Anti yah?”
“Hah?” Sapto bengong sedetik, lalu terbahak-bahak.
“Kenapa tidak naksir aku saja sih?” tiba-tiba Kirani berkata sedih. “Aku kan juga cantik, juga masih jomblo.” Lanjutnya. Sapto semakin terbahak.
“Hahaaa… kamu cemburu yah?”
“Hmmm….”
“Aku sih pengennya naksir kamu Ki, Cuma….”
“Cuma apa?” Kirani menunggu, mimiknya penuh harap.
“Cuma, kan aku tahu kalau kamu bukan cewek!”
“Haahaa….” Kirani terbahak-bahak, juga Sapto. “Kamu tau saja sih.” Kirani menjotos pundak Sapto dengan geli. Sapto hendak menjitak Kirani, tapi ia kalah cepat. Kirani menangkisnya tangkas.
“Eit,tidak boleh bersikap kasar dengan calon kakak ipar.”
“Iya kakak Go kong, adik akan mematuhi perintahmu” Sapto menirukan lagak panglima Tian Feng dalam kera sakti. Kirani yang tak bisa menahan gelaknya, memegangi perutnya yang hamper kejang.
“Sudah!” dia tak tahan lagi, “Jam berapa ke rumah?”
“Jam lima deh. Setelah ini aku mau latihan basket dulu.”
“Oke.”
Kirani membuka pintu Avansanya. Semakin terik saja matahari. Seragam putihnya sudah basah keringat. Sapto hendak berbalik ketika mesin sudah menyala, tapi Kirani memanggilnya lagi.
“Jangan lupa, “ jendela mobil terbuka, Kirani hendak berwasiat rupanya, “Mi ayam yang biasanya ya.”
“Dasar perut karet!”
Kirani tertawa lebar, jendela menutup kembali. Dari spion ia melihat Sapto masih memandanginya sekian detik, lalu berbalik. Dalam hati Kirani bersyukur masih ada Sapto yang mau perduli dengan dia, terutama dengan Kinanti.
Ah, si kecil itu di rumah sendirian. Tiba-tiba Kirani khawatir.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Ruangan itu penuh dengan monitor berbagai ukuran. Sebuah meja ada di tengah ruangan, ditengahnya ada hologram sosok kepala seorang laki-laki berhidung mancung berwarna ungu muda. Di belakang meja itu, ada sebuah kursi emas berbentuk spink. Jelas itu bukan ruangan biasa.
Pintu dibuka, seorang laki-laki yang kepalanya diproyeksikan di hologram mesuk. Ia langsung duduk di kursi dan menekan salah satu tombol di lengan kursi. Pandangannya tertuju di monitor utama, ada tiga wajah, John Cusack, Amanda Peet dan Danny Glover.
Ia tersenyum sendiri, tertera tanggal di tayangan itu, Los Angeles 3 November, 2009. Dia tertawa sendiri, saat melihat cuplikan warga bumi panik saat ramalan suku Indian Maya Inca Peru tentang kiamat menjadi kenyataan. Patung Kristus Sang Penebus yang berdiri kokoh di Rio de Janeiro, Brasil, hancur berkeping-keping. Hujan meteor berbola api disusul gempa mengguncang hebat. Yang tak kalah menggetarkan, basilika Gereja Santo Petrus di Vatikan, runtuh. Bahkan kapal perang USS John F Kennedy tak berdaya diamuk badai dan akhirnya karam.
Premiere 2012 di Regal Cinemas L.A. LIVE.
Tangannya menekan sebuah tombol lain, dan matanya beralih ke sebuah monitor lain di sisi kiri. Segera muncul wajah lelaki lain.
“Goo, datanglah ke KulUFOroom. Ada yang ingin aku bicarakan”
Lelaki dalam monitor mengangguk.
“Baik.”
Blap! Monitor mati. Dengan telunjuknya, laki-laki di kursi spink itu mengusap cincin Kristal di jari manis tangan kanannya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Welcome Back to Neverland!!!
Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...
-
Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menul...
-
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba m...
-
Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kol...