Rabu, 25 Agustus 2010

PANEN PLECO

Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kolam itu akan merugikan. Bukan hanya kemungkinan kanibalisme, tapi rusaknya pematang karena hobi menggali Pleco. Dan yang terpenting, toleransi dengan tetangga yang tak bosan mengeluhkan nyasarnya makhluk-makhluk itu ke tambak mereka, yang katanya mengganggu komunitas yang mereka pelihara, padahal jelas Pleco adalah makhluk herbivora.
Telah diputuskan, sejak pukul satu dinihari tadi, tambak pleco yang telah disat airnya dengan dua pompa, hingga yang tersisa hanyalah bubur lumpur yang selalu berkecipak memuat pleco-pleco yang kaget terkena udara bebas. Matahari sepenggalah. Tiba saatnya sekarang, panen pleco.
Semula ia hanya memelihara satu, lalu dua, tiga, seratus, sejuta. Mungkin tak terhingga. Pasti sudah beranak pinak makhluk itu dalam kolam 6m x 7m yang dikhususkan untuk menampungya. Semoga saja mereka tak saling memakan karena berebut makanan.
Orang-orang sekitar, para tetangga sudah heran sejak dulu pertama ia memelihara makhluk itu. Malah menganggapnya kurang kerjaan, menyediakan kolam khusus, tapi ia tak perduli. Ia mencintai mereka; Hypostomus Plecostomus
Diawali dari rasa miris.
Sisi kemanusiaan.
Atau sekedar menunda kepunahan.
Lebih dari itu, mungkin sebuah pembelajaran hidup, buruk rupa bukan dosa, bukan salasan untuk tak berguna.
Tuhan tak pernah mencipta sesuatu untuk sia-sia.
Tia hari ketika ia berangkat mengajar, selalu saja ia sakit hati, menyaksikan makhluk-makhluk malang itu bergeletakan di jalanan yang dilewatinya, ia ditugaskan di sebuah desa yang masih kental dengan suasana agraris jadi jalanan selalu diapit sungai kecil dikiri kanannya, sarana irigasi persawahan sekitar. Beberapa makhluk mati, membusuk bak ikan asin tak digarami, beberapa masih setengah mati, bergerak, diam, bergerak, pasrah. Dan tentunya masih ada pula yang masih segar menggeletak, tak rela berpisah dengan perairan. Namun akan segera tertuntaskan penderitaan mereka jika ada kendaraaan lewat dan melindasnya hingga daging lembutnya moncrot dari kulitnya yang kasap, penyet, berlepotan, berceceran, membuat perut mual. Tapi kebanyakan orang malah enggan menggencetnya karena takut kulitnya yang kasar keras itu merusak ban, sehinga ia akan tetapdisana, meregang nyawa, menggelepar, hingga akhirnya tak sanggup lagi bergeming, lunglai, mati, mengenaskan.
Karena ia sekedar pemakan lumut dan kotorankah?
Rupanya pun tak ada menariknya untuk jadi hiasan di kotak kaca. Hanya hitam kecoklatan bertotol putih atau coklat keemasan. Mulutnya yang tak seperti kebanyakan ikan, terletak diujung, hampir menyatu dengan abdomennya, semakin menambah seram penampilannya. Mengkonsumsinyapun tak hendak, dagingnya keras tersembunyi di balik sisiknya yang serupa baju besi.
Tak ada kelebihan yang dimilikinya, sehingga ketika para penjala menemukannya dalam jala, mereka lebih sering kesal dan menyingkirkannya begitu saja.
Waktu itu ia sedang berangkat sekolah seperti biasa ketika seorang penjala memunguti hasil tangkapannya. Ia segera menghentikan sepeda motonya, aku harus bertindak, tentu dia ini salah satu oknum yang suka membuat pleco tersiksa, pikirnya.
“Kenapa tidak dikembalikan ke air, kan kasihan.”
Yang ditegurnya memandang aneh, pertanyaan yang sepertinya tak wajar, belum pernah selama ini ia bertemu orang yang menegurnya untuk mengembalikan jenis ikan yang tak diperlukannya ke sungai.apa untungnya? Apalagi seekor pleco?
“Buat apa Pak? Biar mati saja dia, biar habis yang di sungai sana. Didit itu merusak jala saya. Lihat, sampai robek-robek terkena siripnya. Diajuga memakan ikan-ikan lainnya di sunagai.”
Salah! Pleco memakan alga, phytoplankton, zooplankton, bukan ikan. Dia guru Biologi, ia paham itu. Pleco itu makhluk pemalu, hanya sesekali muncul di permukaan untuk mengambil oksigen, jernihnya air sungaipun tak lepas dari campur mulut si pleco (bukan campur tangan!) yang suka melahap kotoran yang kadang kala disinggahkan dengan sengaja. Tapi kenapa orang tak beranggapan positif padanya. Suckermouth cat fish = momok!
“Tapi sampean begini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan dia juga bisa merasakan sakit. Kita sama-sama makhluk tuhan.”
“Alah pak guru, Cuma ikan tak berguna. Kalau pak guru berkenan, ambil saja, saya tak sempat membantunya kembali ke sungai.” Penjala itu ketus, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Diskriminasi! Ia hanya akan mengambil mujair dan beberapa udang yang nyangkut di jalanya, selebihnya, lagi lagi, keong-keong darat, beberapa sepat dan seekor pleco dibiarkannya terserak. Dan begitulah, mereka lalu akan menemui ajalnya dipanggang mentari. Beruntung kepiting, ia masih bisa berlarian. Jika beruntung ia akan kembali ke air. Sepat beruntung, ia juga cepat mati pun Besusul. Sedang Pleco, ia punya kemampuan bernafas dengan udara, akibatnya penderitaan menuju ajalnya lebih lama.
Tiba-tiba ia ingat, ia selalu menyimpan plastik keresek di jok sepedanya, penjala itu hanya tertawa geli melihatnya memasukkan pleco ke plastiknya, memberinya sedikit air. Juga dilemparkannya kembali ke sungai para besusul dan sepat. Kalau diteruskan begini, bisa terancam punah makhluk-makhluk ini, dulu masa kecilku masih sering kutemukan Gondang, tapi sekarang sudah langka, gerutunya dalam hati.
“Mau dibawa pulang beneran Pak?”
“Ya, buat isi aquarium.” Ia memang punya aquarium di rumah, tapi tak berpenghuni. Dulu Dani yang membelinya ketika sedang musim Lou han. Tapi sejak Dani nge-kos, Lou Hannya sering sakit-sakitan, lalu mati. Jadi penghuni gudanglah aquarium itu.
“Ikan itu cepat berkembang biak pak, mati satu tumbuh seribu.”
“Tak apa-apa, biar nanti cucuku tidak sekedar melihatnya di televisi.”
Ia pulang. Ia melepas seragam dinasnya, mencuci bersih aquarioum, mengisikan air, dan terakhir memasukkan pleco ke dalamnya.
“Kunamai kau Dower.” Usai semuanya, ia meletakkan aquarium di tempatnya dulu di ruang tengah, bersebelahan dengan televisi. Ikan itu naluriah menempelkan moncongnya di kaca, melekat bak sepasang bibir mendower. Ada buncah bahagia menyerbunya.
Obat kesepian.
Istrinya sudah mendahului menghadapNya dua tahun lalu. Tiga anaknya sudah meninggalkan rumah. Utami menikah, ikut suaminya diluar jawa. Tomi dapat beasiswa belajar ke Amerika. Dani, yang masih SMU, Cuma seminggu sekali pulang. Sebentar lagipun dia pensiun.
Jam Sembilan ia kembali berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia merasa aneh dalam pikiranya.
“Aku jatuh cinta, pada sapu-sapu.”
Begitulah awalnya. Ia lalu tergila-gila, hypostomus Plecostomus!
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Acyinoeterygii
Ordo : Siluriformes
Family : Loricarridae
Genus :Hypostomus
Species : H. Plecostomus
Kebanyakan ditemukan di Brazilia, peru, Costarica dan Panama. Bisa mencapai umur 14 tahun dengan panjang 18-24 inchi. Hidup di air tawar dengan ph 6-7dan suhu 72-80.
Tiap melihatnya menggelepar di jalan, buru-buru ia membawanya pulang dan ditampung di bak mandi, begitu banyak berdesak-desak mereka disana, sehinga ketika Dani pulang, diajaknya si bungsu merombak salah satu tambak, separuhnya buat pleco.
Andai istrinya masih ada, ia pasti akan geleng kepala, suaminya berkelakuan penyayang binatang macam Tarzan.
Dani terheran-heran, ayahnya jadi ayah angkat pleco si ikan.
Utami kesal, ia tak mau Pleco dijadikan warisan.
Tomi tak berkomentar, tak ada yang mengabarinya kalau kedudukannya digusur seekor ikan.
Ia tak perduli, ia mencintai mereka: plecomania!
Lalu akhirnya ia pensiun. Luang waktunya membuatnya semakin kecanduan pleco.
Pagi-pagi ia bersepeda pancal, menyusur jalanan yang dilewatinya dulu, mencari pleco-plceo baru. Siang hari, sambil istirahat ia mengamati tingkah laku Dower yang tubuhnya sudah menyesaki aquariumnya. Sore hari ia memanjakan pleco di kolamnya dengan bayam, labu, selada. Ia tahu, begitu banyak pleco disana. Pleco telah beranak pinak. Pleco kawin, bertelur dan menetaskan pleco-pleco naru.
Ia membuat pengumumam, barangsiapa menemukan pleco hidup-hidup dan menyerahkan padanya, ia akan tukar persekor dengan seribu rupiah.
Ia keranjingan: plecoholik!
Dan tiba-tiba suatu pagi, ia menemukan beberapa klangenannya itu bergeletakan di sepanjang pematang kolam. Beberapa mati, beberapa hidup. Ia kumpulkan yang mati, ia kembalikan yang masih bernyawa ke kolam. Tapi esoknya ia temukan lagi, esoknya lagi, dan semakin banyak jumlah pleco yang mati, tak hanya di pematang, tapi di kolampun mengapung pleco-pleco tak bernyawa.
Ia gelisah, seseorang pasti sengaja membantai pleco-pleconya, meletakkanyya disitu agar ia menyaksikannya. Semakin hari semakin menjadi, sepertinya itu bukan tanpa alasan, mungkin sebuah pelampiasan, kesal, protes, atau ancamankah?
Tapi kenapa?
“Karena pleco itu mengganggu bandeng saya.” Enteng Lek Diman menjawab saat ia memergoki tetangga tambaknya itu dengan kesal melempar pleco dari tambak bendengnya ke pematang. Pleco itu menggelepar.
“Bagaimana bisa?”
“Lah apa sampeyan tidak tahu, ikan yang sampeyan pelihara itu suka ngerong? Dan ia membuat jalan tembus ke tambak saya.”
Ia tertegun, ia baru ingat, pleco memang punya hobi meggali terowongan terlebih pada musim kawin, ia akan menjadikan terowongan itu sebagai sarang. Si betina akan bertelur dan yang jantan akan menjaganya sampai menetas.
“Bukan hanya di tambak saya, dia juga nyasar ke tambaknya Parmin, Gunadi, Ahkmad, dan entah siapa lagi, mungkin dia sudah menguasai semua tambak disini.”
“Tapi ikan-ikan ini tidak makan ikan.” Belanya tak kalah garang.
“Memang, tapi rongnya itu, bisa-bisa merusak pematang, lalu ikan-ikan kita akan lari ke tambak orang. Rugi kan?”
Ia diam saja, semula ia senang bisa melakukan sesuatu yang berguna, melestarikan ikan-ikan itu, sebuah langkah kecil untuk mengungkapkan terima kasih pada alam, tapi ternyata ia tak memikirkan dampak lainnya.
“Lagian sampean mau apakan sih ikan tokek itu? Dimakan tidak bisa, dijualpun hasilnya tak laku. Mending dikembalikan ke sungai. Memelihara ikan yang lazim saja pak. Jujur saja saya kasih tahu, teman-teman disini, sudah sangat kesal dengan ikan-ikan bapak. Jangan-jangan kalau sudah habis kesabaran mereka, mereka nekat meracun ikan-ikan bapak. Mereka masih diam karena menghormati bapak sebagai guru…”
Ia tak mau dengarkan kata-kata Lek Diman lagi. Ia pulang. Ia menelepon Tomi.
Ia tidak turun, hanya menyaksikan dari jauh saja keriuhan itu dari tepi kolam. Tomi melarangnya ikut-ikutan bergumul dengan lumpur untuk berburu pleco. Jadi ia mengamati saja para tetangganya yang suka rela, bahkan dengan senang hati menangkapkan pleco-pleconya, mengumpulkannya dalam dobong.
Kadang terjadi keributan. Pleco-pleco berontak saat ditangkap. Harus mandi lumpur mempertahankannya.padahal harusnya Pleco yang nocturnal itu lebih ganoamg ditangkap di siang hari, tapi harus lihai-lihai menangkanya agar terhindar dari goresan sisik dan siripnya.
Api mereka bersemangat melakukannya, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak! Berhasil menangkap satu, mereka memburuyang lain.
Kadang ada, aduh
Kadang ada asyik
Dobong-dobong mulai penuh, dan ia berkali-kali berkomando, “Itu teralu kecil, kembalikan. Nah, ya, itu benar, nanti kita buat pepes pleco, sate pleco, pecel pleco!’
Beberapa hari sebelum ia menemukan pleco-pleco mati ia sudah menghubungi Tomi. Ia sudah tua, sebentar lagi mati jika ia mati siapa yang akan meneruskna langkah menyantuni ikan-ikan itu. Ia tak bisa membayagkan nantinya mereka ayang telah dikumpulkan itu akan dikembalikan ke habitat semula, lalu pemandangan itu akan terulang lagi. Pleco-pleco bergeletakan di jalan, mati. Lalu anak cucunya hanya bisa melihatnya di museum dan film animasi
Tak diduga Tomi malah kegirangan mendengar curhatnya. Sudah lama ia ingin bercerita bahwa selama dia kuliah, ia bekerja part time di sebuah restoran yang menjadikan pleco sebagai salah satu menu andalannya. Pleco tak kalah enak rsanya dengan sepupu jauhnya; lele. Hanya saja dagingnya lebih sedikit, karena porsi tubuh terbanyak hanyalah kulit. Ia jadi ingat banyak pleco yang disia-siakan di kampung halamannya. Ia jadi berniat mengenalkan menu itu pada lidah Indonesia.
“Yang penting adalah kulitnya Pak. Kulit itu ternyata bisa disamak, lalu dijadikan produk yang kualitasnya tak kalah bagus dengan kulit buaya.”
Semula ia tidak setuju. Tomi hanya berpikir dari sisi komersial, bukan kompromi dengan alam, menu pleco, berarti pembantaian besar-besaran.
“Tentu saja tidak Pak. Kita hanya akan memanfaatkan pleco yang cukup umur. Yang lain, yang masih muda akan kita buatkan kolam khusus untuk pembiakan dan penangkaran. Jadi sementara kita mengolah pleco dewasa, kita juga mengembangbiakkan generasi barunya.”
Tomi berencana mengambil cuti bulan depan dan sudah menghubungi temannya di Bojonegoro yang memiliki usaha produksi kerajinan kulit Pleco, tapi keburu Lek Diman protes. Karenanya, ia kembali menemui laki-laki itu setelah dia menelepon Tomi.
“Ya sudah, aku minta tolong sama sampeyan. Carikan orang, biar saya bisa panen ikan-ikan itu. Secepatnya.”
Lek Diman bengong: panen pleco???
“Ya, tapi sementara ambil yang besar dulu. Yang kecil biarkan, menyusul dua atau tiga hari kemudian. Akan kubuatkan kolam khusus dulu buat mereka, tidak disini, tapi di belakang rumah.”
Lagi-lagi Lek Diman benging: buat apa??

*****

Matahari sepenggalah, telah sepuluh dobong penuh Pleco sebesar lengan orang dewasa, tapi sepertinya lebih banyak lagi yang masih berkubang di lumpur kolam. Orang-orangpun belum kehilangan semangat menangkapninya. Mungkin sebuah euphoria peristiwa langka; panen pleco.
Dan dia, diam-diam pulang dengan sebuah kelegaan luar biasa menyeruduk hatinya. Setidaknya hari ini ia bias memperlakukan alam dengan bijaksana.
Tapi baru sampai teras rumah, Tomi menyusul pulang. Ia bersama dua orang. Satu membawa kamera, satu menjabat tangganya. Ia bingung.
“Ada yang mau ketemu Bapak, dari televisi lokal.” Tomi tersenyum.
“Ya pak, yang kami dengar anda bersinisiatif memelikahra ikan-ikan sapu-sapu karena sebelumnya menemukan ikan ajaib, namanya Dower…”
Dower? Ia tak mendengar lagi lanjutan kalimat reporter TV, buru-buru ia masuk rumah dan menengok ke aquarium. Dilihatnya ikan kesayangannya itu diam, diam dan diam.
Ia terpaku, aquarium itu selalu jernih. Dower selalu rajin membersihkannyanya sendiri, tapi ia pun terbiasa dengan asupan kacang dan selada dari empunya. Dan tadi pagi, empunyal memberinya,. Ia sibuk dengan rencana pada kolam.
Hari ini dia panen pleco.
Hari ini dower mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...