Senin, 13 September 2010

DRAMA KASTA DECCA PHIA

Phia
Berburu sejatimu, aku terlibat sepi, Bersaksi teliti, cukup kusiksa diri
Jadi bagaimanakah caraku kukenali engkau?de javukah? Gelap kuyup
Kita dulu belum menapak baligh, Kau belum mimpi didekap bidadari
Cinta jahar, bola dan boneka
Lalu aku buta, menggembala di ladangku yang hilang domba
Tak kasat mata pula engkau, terbang di labirin-labirin hati empunya siapa
Hari-hari lolos, Wangi patah hati menguntitku jadi mata air yang meggerimis di kebun kenangan
Masih aku mimpi menangkap makam
Dan kita pulang, Kuharap domba-dombaku yang hilang jadi puisi dimatamu

Decca
Padahal setahun lalu, ladang gerimis terjejak kaki saudara tua
Melantun habis galau lalu secangkir rindu, Pada talu pada ragu dan pada sejatimu
Ingatkah selepas lalu, kau pulang meninggalkan sekawanan kerontang yang kau kenangi kaki-kakinya?
Mereka menghalau air mata dibawah mimpi reresah kaca, Sekelebatpun sejatinya raib dari jabat, diantara gelap, kuyup dan jejat domba tua yang kau rajut jadi puisimu
Tiga menit lalu, Kau, aku, tinggalkan kota,
Tinggalkan sejatinya puisi-puisi, yang kutunggu jadi rajutan tinta di bukumu

Phia
Jadi apa hendakmu sejatinya?
Sumpahi aku agar meracau tentang makna yang enggan ditafsir rasakah?
Rerayumu bak parade sembilu, hijabnya tak tertahankan
Bisikan kekasih lama meruat resah buat cintaku padamu
Lantakkan senyum, bilur terpajan di isakan
Jemariku beku, rimaku layu jika tak kudamparkan padamu azimat retakku
Maka dimanakah berlabuhnya sayatan dekapku Yang sempat kau janjikan akan meratu di tiap saujanamu?

Decca
Kenapa harus kau taburkan padaku, sayat balur azimatmu dengan detaknya sepilar semu…? Sedang kilah melagu dengu pada hijab
Setahun lalu sengaja kau samarkan pada temaram beku jejemarimu
Aduh, aku tak mau melantun cintamu… Sejatiku khilaf saujanamu

Phia
Rindu merambat pada jejari, Lara menggumpal, terseok, merunut sepanjang sepi yang dibordir pada sejengkal kerlingmu nakal.
Aku aus dibantai rindu, Kerontang dikrikiti rengkuhmu, mengepompong di raham setengah matang
Sampai malam lalu terjaga, meramu lara di dermaga tak bertuan
Lubang semakin menganga semakin gersang dikebiri teluhmu dari kejauhan

Decca
Lara terpantik menyembelih katamu, mencoba cekal ketam memapar sauh ditengah dermagamu, deru…
Niatan melapuh gersang terpekik kau kafani serojaku
Dihampar seberang, laun kau nikmati matiku

Phia
Dan kau inginkan jawabkukah?
Ia yang bak pulau tak berhabitat meringkuk sendiri kehilangan Tanya,
Memejannya dalam lempeng kepercayaan masa silam
Susuri waktu, yang enggan berlari enggan jemu
Kisruh bilik hati seolah merugi, dendam sendiri dituai juntai rasa di ceruk nurani
Semai benci yang semakin lama semakin menyanjungi
Sepertinya dia telah pergi tapi entah kemana
Hanya kuingat dia memberiku pesan, tunggu aku 1000 tahun lagi

Decca
Saujana tak rela mendua sejoli
Merebak aroma jejat sesah sejuta hasrat
Ah, canda nian kau di tepi renjana, saujana…. Saujana….
Senyummu manis menipu daya

Phia
Senyumku tak berujung pada bayu
Tiada tafsir dapat merujuknya dan mendung semakin sanjung matahari
Lautan berontak, tapi tetap ia air belaka, mana kuat ia meracuni wana di hatiku?

Decca
Tiga laksa sesoca, Meskipun hanya tetes air yang memendar jingga
Gacuh katanya membisik, meronta sembilu yang kian lapuk…
Menyela hatinya yang tampuk di dua biduk
Ah…Rimbanya masih menyana,
Kemana surya masihlah surya, Kemana bayu masihlah bayu
Sedang kau sendiri disana, meracun hati, menampik sejuk sejuta gayatri

Phia
Bayu selamanya merongrongku!!!

Decca
Tak!! Baiknya kau mafhumkan aku, terjerat dalam remuk redam rasaku

Phia
Tapi aku menyapa dari kedalaman halimun
Gerimis sesiangan dan awan kelabu yang 24 jam memberesi hari dengan keluhan cucian yang enggan berkarat
Aku datang memberi gerimis pada kiamat tanpa ayat, membantai sepi sepi lantun saujanamu
Entah batu Entah kerikil Entah apa, tapi sepertinya dia ciptaNya yang sanggup kuajak bersandiwara
Dinding rapuh tanpa rasa, tangis terbahak, tawa terisak Jadi pelampung yang akan selamatkan kau dari hiasan peta waktu yang pernah kau gambar di kenang neurosamu
Hening gapai jarakku denganmu, kurenangi tapi sepertinya sungsummu beku kuajak menatap bulan
Sauhku harap berlabuh memulas serpih berlianmu yang robek siulnya tapi bak genderang kosong kau kawinkan sunyi dengan sepi saja
Sudah hilang caramu mencincang banal di kerling kejora
Mungkin aku yang harus terjaga menghadirkan halilintar di setiap tirai sepanjang cakrawalamu agar terkatup sudah bingkisan kematian rasa yang kau ceburkan ke kolamku

Decca
Bak pualam kau menyandiwara memgatas namakan kematian yang kubingkis indah di sesal renjana
Mencoba melupa rangkahku, melebur tawa di atas kejora
Sedang saat itu kau saput awan kelam yang melintas di atas dahiku
Duh, lagi kau haturkan kealpaan di jantung kenestapaan kita, mencoba menyandiwaraNya di atas laksa yang terjaga

Phia
Percakapan kau dan aku serasa melelehkan aura
Remahlah aku mendulang kata pada sebuah ketakutan aku beralih pandang
Menyisir waktu dimana kerinduan meronda jarak
Kerapkali hati mengunci redam rasa yang ditawarkan senyap jiwa
Dan ketika surya datang tumpah segala remuk redam, embun terusir
Lalu pada siapa aku lantakkan resah? sedang sebukit cinta belum mampu rinai di lembah jingga

Decca
Benarkah sembilu ragu kembali menyemayam tantri?
Tersibak rerayu sebukit cintamu yang hendak merinai
Tak terusik gontai, namun nanar memburu, jiwa membeku, ranummu melagu
Kau tak sadar lembayung telah menanti setetes embun telah membasah dedaunan
Antara rinai dan sinarnya kan naik perlahan

Phia
Seperti paham, ombak berkata tentang kerinduan tentang sebuah rasa pada lautan
Ketika kau tak lagi sadari, Kau buat lukisan hatiku di pasir hilang bentuk kala gelombang menebah
Dan kau asyik senyum simpul pada kepiting mungil yang cubit telapakmu

Decca
Puan, kau curi rasa pada harap gendam loka
Lunglai raga pejam wajahmu menyinai menyibak selimut hati rapat menjejat kala itu
Namun waktu hanya sementara kutunggui kau di ujung sana

Phia
Apa sedang kau ungkap munafikmu? Bukankah telah kau nyatakan mentah-mentah kalau semua rasa rindu dendam saujanamu tak merujuk padaku?
Kau membuatku terhenti di langkah setengah hariku, terpacak diam
Dan memunguti serpih ingatan tentangmu yang tak rela aku remuk redamkan saat kukatakan, selamat tinggal
Lalu aku harus apa? Menambal sulam ia kah, hingga utuh lagi di sela neuronku
Atau menyimpannya di dasar cerebrum dan satu saat nanti merubahnya jadi cemeti agar kau lebih leluasa mempertemukan aku dengan kalahku
Atau kacaukan saja arah angin!
Tapi bagaimana bisa jika serpihmu adalah kaca yang didalamnya kutemukan diriku

Decca
Kelontang ranah berpijak, mendua gontai menukik luruh
Merajam hati, menggoda sepi yang membungkus serbuk syaraf sepatu
Kalbuku tinggal seperdelapan, penuhnya menguap dihasut silat berdua
Hujat katanya cendikia, tampar ceritanya bijaksana
Aih, kelontang itu semua, Kau jejatpun aku tak percaya


Phia
Dari titik itu kau selalu memandang hingga ku terpekur di lantai salah resah
Padahal disana matahari masih berputar, Daun-daun hijau
Tapi manusia semakin rabun mengeja isi hati durga
Tak cukup menemanimu menujuku
Meski berabad lamanya, Jarakku dan kau, titik itu kejam
Buta warna, dusta, iri
Atau sebaiknya kau buta saja?

Decca
Serpih seroja papar mendesir
Buih lautan kau serui perlahan memijak lara rasa sembilu teratap
Bisanya pelan kau toreh lewat bisikmu sayat melejit tinggalkan kotaku
Hampa, tak cukup…..

Phia
Rindu menggubah mimpi, lara menyadur janji
Penant terkubur di surya sela siangmerajuk
Barangkali tak cukup sejuta duri murni
Lelap tak terjamah di mata hati
Tanya saja pada ilalang, sampai dimana petualangan ini akan berlabuh di satu titik beku nan jadikan darahmu berhenti aliri raga

Decca
Apa daya kini langkahku telah jauh meninggalkan diri dalam kota yang tak pernah mimpi menghirup secuil hidup hingar pekik tanpa kata
Mendusta cinta wahai kau saujana
Tipu hati laksa sesoca, Tipu raga dendam senada
Ah.. Memang mendusta cinta kau saujana
Mentari di ufuk lama menyana

Phia
Kenapa kau mulai lagi? Sedang renjana enggan berdamai dengan kelana
Lalu kenapa tak beranjak pulang saja, atau jangan-jangan kau pikir ceritamu seyojana tatap dewa?
Gelarkan malu pada nurani, Unduh remah-remah pedih di tandu kelakar

Decca
Pergi saja kau saujana, Pohon-pohon telah redup dan berbunga di tepi jalan yang tak lagi berdebu
Lembayung senja dikerubungi lengkungnya mendung, separuh merah separuh ungu separuh lagi kelabu
Kemarau mendingin, anginpun hening, di jalanan selatan rupanya dirimu
Seolah menutup mata dan pucat menjadikan dinginku kini malam yang menggigit
Serta hujan ini terasa sangat kering
Tak kudengar lagi suara lantang seru seru namaku
Tak kulihat lagi senyummu bertebar dalam fajar
Yang seringkali manis menatap wajahku
Disanalah kau. bersandar
Di rongga-rongganya kudengar suaramu senyummu biru

Phia
Jadi ingat siang itu kau katakana ingin kembali menjemput kata-kata
Kidung ini mungkin suatu karma mentah penciptaan masa lalu yang terulang tapi berbalik arah tetirah
Biarlah dusta merajah rindukan pelipur lara
Jeram hati mendosa
Usah berpatah
Kita sudah kalah


Decca
Adalah paras dalam kepekatan malam seribu dihiasi manis hatimu
Ketika di rumah desa di saat bertemu sejuta basah menerangi kalbu
Adalah hati dalam semangkuk cahaya bernafaskan cinta jingga yang tak dapat kuungkap
Hingga kelukan lidah tak berkojah sebab sejuta kelabu menyelimuti hati dan jiwa
Tatkala terbit fajar sepanjang jalan lintas jalur, tak dapat melupa kelabu birumu
Cinta pertamaku

Phia
Keramat berpulang membawa manisan ditabur tanpa nyawa
Untai suci, tapi hati tak lagi berbagi dengan sukma
Galur merebak di jeram-jeram alur cerita hilang ditengah klimaks yang tak mengesankan
Ungu penaku merasuki imaginasi
Rahasia kalbu terbujur di kertas putih berabjad tertata makna
Ajaibnya kata-kata tetap tak membuatmu terjamah

Decca Phia
19 VS 26

Decca
Duniaku biru

Phia
Duniaku ungu

Decca Phia
Blue VS true

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...