Kutolak ajakan Hanh menari malam ini, kukatakan padanya seorang teman dari masa laluku ingin bertemu aku, namanya Raden Ayu Cahya Berliani, putri keraton berdarah biru.
Aku akan menemuinya di Meteora, tepat jam 8 malam. Meski begitu aku sudah di sana setengah jam sebelumnya. Sudah lama aku sejak aku tak kerja lagi di sini, tak pernah aku mampir. Ray pasti sudah merindukanku. Begitu melihatku dia langsung menyapa.
“Hai penari!” aku risih dipanggil begitu. Andai aku ini Deny Malik atau Nungki Kusumawati tak apalah, tapi aku adalah aku, tiada pantas aku menggunakan nama besar ‘penari’. Tapi Ray selalu memanggilku begitu, si Aussi yang kulit putihnya sering buat aku iri.
“Beri aku minuman halal!” teriakku mengimbangi musik di tingkah ritma yang menghipnotis agar kepala menjadi bak pendulum. Seketika sepasang alis waitress cute itu menyatu, tanda berpikir keras, mungkin sebuah pertanyaan, kenapa Tamara dengan minuman halal, pikirnya itu merupakan sesuatu yang kurang normal. “Aku mau menjamu seseorang, teman special dan dia orang baik-baik. Dia akan datang sebentar lagi, jadi kuharap, kau sebagai seseorang yang mengutamakan pelayanan terbaik…”
“Orang baik tetapi datang ke tempat semacam ini?” Ray sepertinya tak tahan utnuk tidak bertanya
“Bukankah aku dan kau juga orang baik? Tapi kenapa kau dan aku berada disini?”
“Okelah!” Ray angkat tangan. “2 orange juice, buat sang penari dan teman spesialnya!” akhirnya dia undur diri juga, aku lega. Ia dating lagi membawa minumanku, tapi tak bertanya lagi. Cuma tersenyum.
Masih mengikuti detak nadi musik, kunikmati orange juiceku. Sebenarnya aku ingin minum, tapi demi menghormati tamuku, sebaiknya kutahan keinginanku. Kuarahkan pandang menyekeliling, tepat saat itu kulihat dia, CB. Dan mungkin sebuah telepati terjalin, diapun melihat ke arahku.
Bak purnama mencorong di kerumunan bayangan tonggak-tonggak setan, ia datang juga padaku. Pasti kesedihannya begitu dalam, sehingga ia lupa kalau telah membuangku sekian tahun dari kehidupan sucinya. Tapi bukan itu masalahnya, hanya kukira perempuan sederajat dia takkan sudi bertandang ke tempat macam ini. Didikan priyayinya pastilah mengharamkan dansa dan Martini yang 100% halal buatku, kecuali kalau dia memilih jalan kiri.
“Hai CB!” kusapa ia seperti dulu aku biasa memanggilnya, “Kukira kau tak jadi datang.”
“Tami.” Sedetik usai ia menyambut nama kecilku, ia menghambur ke pelukanku. Kusambut, tapi tak semesra dulu. Aku sudah hilang rasa padanya. Meski ia tak banyak berubah dalam tujuh tahun perjalanan hidup, toh ia selalu berada di kurva keberuntungan. Masih ia cantik, anggun, mempesona… seutuhnya keajaiban wanita. Tapi sepertinya secuilpun aku tak mencintainya lagi.
“Bisa kita bicara di luar saja, aku pusing di sini.” Sudah ku duga itu. Oleh karena itu sudah kusiapkan mobilku, kuturuti ia jalan-jalan di kotaku. Lampu-lampu berpendar, mengalahkan wajah bulan tanggal 13.Ttak ada mendung selapispun yang merintangi pandangan bumi ke langit, sama seperti aku dan CB, dulu.
*****
Aku dan kau, penari-penari, IKJ 1997. Sekarangpun kita masih sama-sama menari. Bedanya, sebelum menari kau berendam cem-ceman kembang setaman, lulur mangir dijampi mantra-mantra, aku; garam mandi dan busa, sambil merem melek mendengarkan J-Lo bersalsa.
“Kau banyak berubah Tam.” Taruhan ia sedang memperhatikanku dari rambut ke kaki. Yah. Pasti itu.
“Tak ada yang tak berubah di kehidupan ini, kecuali Tuhan, karena Dialah sumber perubahan itu.”
“Tapi kau masih menari kan?”
“Tidak!” maaf aku bohong. Sebenarnya masih, tapi tergantung minat, tepatnya peminat. Satu lagi beda kita, jika kau menari karena apresiasi seni, maka aku menari demi exploitasi diri.
“Tapi kau masih sahabatku Tam?” masihkan?” Ah, retoris sekali pertanyaannya. Masih, atau tidak ya?
Jujur. Aku dulu bahkan jatuh cinta padamu dulu Berlian. Kukira kau juga mau karena kau pertama tak menolakku saat malam-malam dingin usai mengerjakan paper, kadang di kostku, atau di kostmu. Sekali dua kali, lama-lama ketagihan. Kau malah meminta. Bukan dosa, tapi semacam simbiosis mutualisme.
“Kau mau menolongku kan?”
Mau andai aku tak patah hati karena lalu kau menikah di semester VI dengan lelaki pilihan orang tuamu, priyayi juga tentunya. Aku juga masih mau menolongmu andai lalu kau masih mau menyentuhku tapi kau tidak mau lagi. Kau dingin padaku sehingga aku ingin putus kuliah dan pulang ke kotaku. Alih profesi dari mahasiswa ke Disk Jockey.
“Please deh, Tam!” harusnya aku telah terbiasa pada keinginannya untuk memonopoli diriku dengan segala permintaannya, tapi kalimat itu sudah membuatku trauma, karena itu jugalah yang dia ucapkan saat hendak menikah. Dan betapa aku ingin meludahinya, juga pada mempelai laki-lakinya itu, Raden Surya Dinara.
“Perempuan itu juga penari.” Keluhnya mengiba. Aku jadi sadar kalau ia bena-benar butuh bantuanku. Ironisnya, ia 99,9% sempurna jadi perhiasan dunia, tapi suaminya yang priyayi itu memilih ingkar. Kini tugaskulah untuk menyelidiki perselingkuhan suaminya selama ia jadi duta bangsa ke Paris, ia akan menari di sana.
“Bagaimana kalau perempuan itu aku?” Aku cengengesan, “Aku kan penari, eh, mantan penari!”
“Impossible!” tawanya lepas, “Aku jadi ingat waktu aku mau nikah dan kau menangis. Surya pikir kau tak rela aku dimiliki olehnya hingga dia mau menikahi kita dua-duanya. Gila! Padahal memang kau tak rela kan? Andai ia tahu siapa kau!” tiba-tiba aku sesak nafas.
“Andai ia juga tahu siapa kau!” tawanya lenyap mendadak, semendadak kuinjak rem hingga berdecit.
“Tam, jangan marah! Aku…….”
“Jika kau bisa menikmatinya dengan Surya, kenapa aku tidak?”
“Kau serius Tam?”
“Kau jangan egois begitu! Kita pernah janji apapun milikmu juga milikku bukan?” gugatku tajam.
“Tapi bukan Surya Tam, bukan suamiku.”
“So what kalau dia? Kau tak rela?” CB tak bicara lagi, matanya berkaca-kaca. Aku jadi ingin tertawa sudah berhasil memompa adrenalinnya. “Dasar manja! Kenapa sih gitu saja nangis! Aku cuma bercanda. Mana tega aku padamu.” Kuraih kepalanya dan kuberi kecupan di dahi, meski tanpa perasaan. Mungkin hanya secuil iba. “Ya sudah, akan kujaga dia baik-baik. Kupastikan penari itu takkan berani lagi ganggu kau.” Ia diam, tak bisa membalas canda kejamku.
Dalam diam, kutertawa dalam hati. Ah, hidup memang aneh. Seperempat jam berlalu, kuantar dia ke hotel tempat dia menginap.
“Tak mampir dula Tam?”
“Aku ada urusan.”
Kuikuti ia menghilang ke dalam sana, lepas sudah aku dari neraka saat kuluncurkan kembali mobilku di jalanan kotaku. 10 menit kemudian HPku menyalak, Ray.
“Penari, pacarmu di sini!”
“Suruh dia pergi, akukan tidak kerja di situ lagi. Katakan padanya aku takkan pulang sampai pukul 6 esok pagi.”
Ray, undur diri, kupencet nomor lain.
“Hahn, I’m sorry honey, I’ll come to you, I wanna be with”
“I am waiting.”
*****
Apartemenku aman saja selama ini. Jika ada orang lain masuk, kupastikan dialah pelakunya. Cuma ia yang punya duplikat kunciku. Saat kulangkahkan kaki, terdengar suara shower di tingkah lantunan lirih, you know I can’t smile without you, can’t…..
Gombal! Sok melankolis! Aku langsung ke kamar. Aku ngantuk usai semalaman begadang bersama si Jepang Hanh. Biasanya aku akan molor sampai tengah hari, baru sarapan. Begitu ketemu kasur, kurasa nikmat yang luar biasa, tapi entah baru berapa detik berlalu, kurasa sentuhan lelaki di pipiku, tangan dingin bau sabun wangi dan shampoo di rambut yang masih setengah basah. Ia yang tempan, menyebalkan!
“Pagi cantik!” aku menggeliat, menguap, hendak meneruskan tidur tapi tak jadi, kucium bau kopi buatan tangannya.
“Aku ke tempatmu semalaman. Ray bilang kau sudah pindah.”
“Apa harus minta ijin padamu dulu?” kuteguk kopinya, lalu ku taruh di meja. “Dan berapa kali harus kukatan padamu, jangan datang ke tempatmu bekerja.”
“Lho, kenapa? Padahal aku suka melihatmu jadi DJ, aksimu OK!”
“Aku Cuma tak ingin dan tak suka Ray mengatakan kau pacarku.”
Kudengar tawa lebar, kutinggalkan tempat tidur menuju kamar mandi. Kubiarkan curahan air dingin membuang kantukku.
“Apa salahnya?” ia berseru dari luar pintuku. “Atau kau sudah tak suka jadi pacarku.”
Aku diam. Tentu saja aku suka. Sejak dulu aku sudah suka padanya sejak kita bertemu pertama kali di acara pertunangan temanku Raden Ayu Cahya Berliana. Ialah yang pertama kali memperkenalkanku bagaimana untuk jadi wanita sejati, tepatnya sehari sebelum pesta pernikahan temanku CB dengannya 5 tahun lalu. Awalnya aku merasa dikhianati tapi akhirnya aku menikmati. Kupikir, akulah pengkhianat itu sendiri.
“Jika kau bosan jadi pacarku, aku siap menjadi suamimu.”
“Maaf, aku tidak mau terikat.”
“Aku menyukai prinsipmu, itu kenapa aku jatuh cinta padamu.”
“Bukan karena kau ingin memanfaatkan aku kan?” tapi kutelan saja kalimatku itu, tak sampai hati aku mengatakannya padanya. Aku jatuh cinta padanya, cinta bukanlah pemanfaatan. Ini simbiosis, sama seperti aku dan Berlian dulu, hanya ini berbeda. Ini yang seharusnya terjadi. Ini normal.
“Istrimu kemana?”
“Ke Paris, menari.”
“Kau aneh memang. Istrimu penari, tapi ingin menari bersamaku.”
“Ah, dia penari panggung, tapi nol di tempat tidur. Kau penari yang asli, dia itu lesbi.”
Aku ingin tertawa, tapi tak tahu alasannya, entah bahagia atau terluka.
Usai mandi ia mengajakku menari sampai jelang surya mati. Biasanya akan menyenangkan tapi kali ini terasa hambar.
Entah, mungkin di suatu tempat di bilangan kota Pahlawan ini, CB sedang menari juga, entah bersama siapa. Ia juga bohong mengatakan kepergiannya ke Paris tadi siang, karena ia baru akan berangkat dua hari lagi.
Masih dalam pelukan raden Surya Dinara aku dibelai ragu, apakah sebenarnya putri keraton itu sudah tahu kalau sebenarnya penari yang dicarinya adalah aku.
Selasa, 17 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Welcome Back to Neverland!!!
Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...
-
Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menul...
-
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba m...
-
Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kol...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar