Selasa, 17 Agustus 2010

KERETA

Aku konstipasi, ini sangat menyiksa! Minuman berserat sudah. Papaya, pisang, wortel, bengkuang, sudah kulahap semua. Tapi belum juga keturutan hasrat alamiku itu. Padahal biasanya tiap pagi aku selalu mendaftar ke kelakang. Kata orang tua dulu, kalau tidak bisa melaksanakan “ini” di suatu tempat, berarti tidak kerasan.
Aku memang tidak kerasan, meski ini rumah nenekku, ibu dari bapakku. 3 hari saja cukup disini. Aku ingin pulang. Harus hari ini.
Stasiun Sedadi pukul 06.15. Aku dan Bapak memilih naik kereta api dari stasiun kecil ini ke stasiun Bojonegoro, baru dilanjut naik bis ke Lamongan. Bisa menghemat waktu dan biaya kalau dibanding naik bis saja yang harus oper beberapa kali di beberapa terminal, Purwodadi-Blora, Blora-Cepu, Cepu-Bojonegoro, Bojonegoro-Lamongan. Naik patas, bapakku masuk angin, maklum orang udik.
Tapi sepertinya KRD yang akan kami naiki bakal telat. Sebuah kereta Executive masih mangkrak di stasiun sejak setengah jam lalu. Katanya ada kerusakan di mesin loko. Harus menunggu loko pengganti dari stasiun sebelumnya untuk bisa melanjutkan perjalanan. Penumpangnya pada turun, berjalan-jalan di sekitar stasiun, menambah padat antrian penumpang di peron stasiun kecil ini.
“Pulangnya ditunda besok saja Nduk. Lha wong liburnya masih panjang saja kok.” Bulik Pur menjejalkan entah apa lagi ke dalam kardus yang seyogyanya kubawa pulang sebagai oleh-oleh. Padahal bawaanku sudah cukup berat.
Aku Cuma nyengir saja pada sepupu bapakku itu, satu-satunya keluarga yang mengantar kami ke stasiun. Semalam kami tidur di rumahnya, dari stasiun hanya berjalan sekitar 50 langkah ke arah utara, lalu belok kanan, ada masjid. Nah, di sebelah timr masjid itulah rumahnya.
“Paling sebentar lagi lokonya juga datang.” Sanggahku yang disusul pengumuman dari pengeras suara stasiun yang menyatakan bahwa loko pengganti sedang dalam perjalanan dari stasiun Godong menuju Sedadi. Para penumpang kereta executive buru-buru naik, karena kereta akan segera diberangkatkan jika loko pengganti sudah terpasang. Dan… belum selesai pengumumannya, dan bahwa KRD masih akan telat dalam 45 menit ke depan. Aduhhh!!!
“Apa naik kereta ini saja?” usul bulik Pur.
“Maksudnya?” bapak yang sejak tadi membaca Koran menukas.
“Ya ikut kereta executive ini saja. Aku bisa nego sama pegawai stasiun.”
“Illegar passenger Bulik?” desisku.
“Jangan bicara bahasa Inggris, aku ora mudeng (aku tidak paham). Gimana? Aku bilangkan ya.”
“Illegal passenger itu penumpang illegal Bulik.”
“Ya tidak, kalian toh tetap membayar karcis kok . memang lebih mahal dari KRD, tapi jika dibanding naik bis, biayanya sama kok.”
Bapak berpikir sebentar, mungkin menghitung-hitung dalam hati. Aku tahu dia tidak suka jalan kiri. Sementara itu terdengar gemuruh dari arah barat, lokonya terlihat dari kejauhan. Aku jadi membayangkan naik kereta executive. Selama ini biasanya aku Cuma naik KRD, kereta ekonomi, dengan asongan bersliweran.
Tapi bapak menggeleng.
“Ga usah, menunggu KRD saja, yang sah-sah sajalah.”
“Ya sudah, aku pulang dulu, memandikan anaknya Mat dulu. Nanti kesini lagi, toh KRDnya telat kan?” Bulik Pur balik langkah, tapi belum genap sepuluh langkah dia berjalan, ia berbalik.
“Barangkali nanti tak sempat balik. Anaknya Mat biasanya nakal.” Katanya sambil memeluk dan cipika cipiki denganku, :Ati-ati ya Nduk, Mas. Salam buat Mbak Um.”
Dan akhirnya ia benar-benar pergi, meninggalkan kami yang sabar menunggu KRD.
“Terlalu beresiko kalau naik kereta ini. Kalau ketahuan tidak bawa karcis, bisa-bisa didenda. Malah tekor. Maunya untung malah buntung.”
“Terserah, yang penting pulang hari ini.”
Kurelakan kereta Executive meninggalkanku. Kuraba perutku yang butuh dikeluarkan racunnya. Rasanya tubuh ini membawa beban berat tak tertahankan. Aku duduk, facebookan dulu ah. Update status, sedang menunggu kereta…..
Ternyata tak sampai 45 menit menunggu, KRD sudah datang. Aku dan bapak buru-buru naik dan berdesak-desakan. Sepertinya tak ada tempat duduk kosong, semuanya sudah terisi.
Kereta meninggalkan Sedadi. Didekatku berdiri duduk seorang nenek yang sibuk menawarkan kursinya padaku. Katanya ia Cuma akan melewati dua stasiun selanjutnya saja. Di sebelahnya, sepasang suami istri muda. Si laki-laki asyik merokok, si perempuan sibuk meneteki bayi 3 bulannya (nenek tadi sempat bertanya usia si bayi pada ibunya). Tanpa malu-malu ia dan sepertinya tutup telinga pada beberapa remaja muda yang asyik berbisik-bisik mengenai sumber ASInya yang menggugah selera. Aduh, harusnya ia menutupinya dengan selendang, tak dibiarkannya terbuka begitu. Aurat. Aurat kenapa diumbar di tempat umum, dan suaminya sama sekali tak perduli. Astagfirullah!
Segera kupalingkan pandang ke arah jendela. Persawahan belaka. Beberapa pedagang asongan lalu-lalang sambil melengkingkan suara menawarkan dagangannya. Tiap mereka lewat selalu saja aku harus merubah posisi badan. Coba saja aku punya mobil sendiri, jadi tak perlu berhimpit-himpitan begini. Terjaga kehormatan seorang wanita.
Ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar. Baru saja tanganku hendak bergerak menuju saku, tiba-tiba kereta bergerak aneh, meliuk tersendat-sendat, jeg…jeg…. Grrrekkk…..sssshhhhhh…… semua sibuk mencari pegangan. Beberapa berteriak memekikkan namaNya.
Mesin kereta berhenti. Kecepatannya berkurang , memelan, lalu berhenti total.
Kereta macet. Baru 1 kilometer dari stasiun Sedadi!
Kanan kiri persawahan menguning. Para penumpang rebut. Dari gerbong ke gerbong, mulut ke mulut, beredar berita, kereta mengalami kesalahan tekhnis, dan harus ditarik lagi ke stasiun Sedadi untuk perbaikan. Aduh…..
Akhirnya, Bulik Pur sudah menunggu di stasiun ketika aku dan bapak turun dari KRD.
“Nah, itu pertanda kalian sebenarnya tidak boleh pulang dulu.”
Ledeknya membuatku jadi putus asa. Andai saja ia tahu, aku tak tahan lagi dengan apa yang tertahan di usus besarku ini, medesak-desak ingin keluar, tapi begitu siap dikeluarkan, ia malah berbalik arah memberontak. Aku tersiksa!
Pengeras suara kembali berbunyi, kali ini mengumumkan bahwa kereta Executive Argo Muria akan segera tiba. Sementara KRD akan ditarik ke stasiun Godong untuk perbaikan mesin dan diperkirakan baru bisa beroperasi lagi kurang lebih 5 jam ke depan. Nah lho….
“Sudah, ikut Argo Muria saja.” Tawar Bulik Pur lagi. Bapak berpikir-pikir lagi, lalu memandangku.
“Apa tidak berbahaya tanpa karcis? Kalau ketahuan trerus didenda bagaimana?” Bapak mengungkapkan kekhawatrannya.
“Ah, tidak apa-apa. Aku biasa kok nitipkan orang ke Surabaya tanpa karcis. Bilang saja keluarga pegawai stasiun, mereka pasti mengerti.”
Kesalahan sistem yang jadi kebiasan. Nepotisme sudah jadi budaya lebih dari tujuh turunan. Tapi, sepertinya adakalanya melanggar aturan itu bisa menjadi pengalaman yang mengasikkan.
“Kira-kira berapa? Mahal ga? Kan kereta Executive”
“Kira-kirakan sama dengan biaya naik biasa saja.” Kata Bulik Pur.
“Ya sudahlah, oke”
“Kalau begitu aku ke kantor pegawai stasiun dulu.” Bulik Pur melangkah menuju kantor stasiun. Sementara sudah terdengar gemuruh kereta Argo Muria dari arah barat. Wah, ini bakal jadi pengalaman pertamaku naik kereta Executive.
Bulik Pur kembali lagi dengan seorang berseragam pegawai stasiun. Tertulis namanya, Karmijan.
“Ini masku dan anaknya. Mau ke Surabaya.” Ia memperkenalkan kami pada laki-laki itu.
“Ah, tidak, cukup sampai Bojonegoro saja.” Bapak menyela cepat. Dia bilang padaku tadi ketika Bulik Pur meninggalkan kami kalau andai memang bisa ikut kereta Executive itu, kita akan turun Bojonegoro saja, lalu naik bis ke Lamongan seperti rencana semula. Kereta Executive itu memang tidak akan berhenti menurunkan penumpang di stasiun Lamongan, tapi Surabaya. Itu berarti jika kami terus ikut sampai Surabaya, maka kami harus kembali ke Lamongan lagi. Membuang waktu dan biaya tentunya.
“Ya, Bojoneoro saja.” Ralat Bulik Pur.
“Bisa, bisa. Gampang. Ayo sekarang naik. Keretanya tidak akan berhenti lama.”
“Tapi..”
“Ah, nanti diatas saja.”
Selanjutnya kesepakatannya adalah sebagai berikut, kami akan turun di Bojonegoro dengan pembayaran Rp 25 ribu perkepala, jadi totalnya 50ribu. Tapi masih ada satu syarat lagi rupanya.
“Nanti kalau turun pakai pintu sebelah selatan. Jangan terburu-buru turun dari kereta dan keluar stasiun. Tunggu sampai semua penumpang sudah turun semua, sepi. Lalu ketika di pintu keluar dimana petugas akan meminta karcis, bilang saja. Keluarga Pak Karmijan.”
Seorang laki-laki berseragam, tentunya petugas kereta mengantar kami berjalan sepanjang gerbong untuk menunjukkan di kursi mana kami bisa duduk. Hhh, rasanya seperti tahanan yang harus mengikitu polisi, menunduk dengan rasa bersalah. Aduh, jadi tidak percaya diri aku. Yang naik kereta ini notabene pasti orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Petugas itu juga dengan ramah mempersilahkan kami duduk, seolah aku dan Bapak adalah tamu kebesarannya. Padahal begitu duduk bapak langsung mengeluh.
“Dingin…” ia merapatkan jaketnya. Tentu saja,AC menyala gempita di kereta ini. Taruhan, nanti sampai rumah dia bakal minta dikerokin.
Kereta meninggalkan Sedadi. Sepertinya akan lancar-lancar saja. Aku log in ke facebookku. Kusibukkan diri dengan membaca beberapa beberapa komen di statusku dan memberi koment di status teman. Terima kasih…………,
Entah beberapa menit kereta melaju, sepertinya kecepatannya melambat dari semula. Sepertinya bukan hanya aku yang merasa. Penumpang lain juga melongok-longok keluar jendela. Hmmm, jangan-jangan kereta mengalami kesalahan tekhnis lagi. Jangan-jangan aku memang tidak boleh pulang hari ini.
“Ada yang tertabrak.”
Terdengar suara salah satu penumpang. Kereta berjalan pelan. Kulihat orang-orang diluar sana berkerumun di sekitar rel kereta. Ternyata kereta excecutive yang pertama tadi telah memakan korban. Ada sesuatu yang ditutupi kertas Koran diantara orang-orang itu. Aku memalingkan muka.
“Untunglah kita tadi tidak naik kereta tadi.” Kata bapak.
‘Kira-kira kita sudah sampai dimana ini Pak?”
“Baru akan nyampai Gambrengan.”
“Oh..”
“Lapar Va.”
“Minta menu pada si mbak-mbak itu.” Dari tadi si mbak-mbak berseragam rapi sesekali lewat untuk melayani kebutuhan penumpang.
“Wah, tidak kuat bayar harganya. Jangan-jangan mahal. Nanti saja di stasiun”
Kereta melaju kembali. Di depan sana stasiun Gambrengan. Kereta berhenti. Bapak keluar, tak lama kemudian sudah kembali dengan dua bungkus nasi pecel.
“Kamu tidak makan?” Tanya Bapak, aku Cuma menggeleng. “Penjualnya mengira kita-kita ini orang kaya. Masa harga nasi pecel bungkus saja 10.000.-.”
Aku tertawa lebar.
“Ya benar saja. Kalau kita bisa naik kereta ini kan berarti kita kaya.”
“Alhamdulillah.”
Bapak menikmati pecelnya. Kereta mulai melaju lagi.
“Siapa tadi nama petugas stasiunnya?” Tanya Bapak..
Blank! Tiba-tiba aku lupa.
“Ehm… Surijan? Bukan, Karjan?” bukan juga. “Lupa Pak.”
“Lupa gimana? Nanti kita harus ngomong gimana kalau keluar stasiun? Aduh!”
“Yah, beneran lupa!”
“Cepat SMS Mat.” Mat anak Bulik Pur, dia pasti tahu. Segera aku menulis SMS.
Siapa nama petugas stasiun yang tadi ditemui Bulik Pur, tolong tanyakan.
Sending message……………..sending failed!
Hah! Sekali lagi. Sending message………………sending failed!
“Ga ada sinyal! Coba pakai ponsel bapak saja”
Bapak sibuk mengotak-atik ponselnya. Wajahnya tegang, lalu geleng-geleng kepala.
“Tak ada sinyal juga.”
Aduh, gimana ini???
“Coba kamu ingat-ingat siapa namanya, Pak Jan siapa tadi. Kalau sampai kita tidak bisa mengatakan nama lengkapnya, bisa-bisa kena denda kita!”
Aku memejamkan mata, berpikir keras menggali memori. Sarijan. Bukan. Turjan, bukan, Marijan juga bukan. Aduh!!!!
Sambil berpikir masih terus kucoba mengirim SMS pada Mat. Tapi tetap saja gagal. Aku tegang, bapak tegang.
Kereta terus melaju. Aku masih terus mengingat-ingat. Masih terus juga mencoba mengirim SMS. Setengah putus asa.
Sending message………………….. message sent! Message delivered!
“Bisa! Sudah bisa!” seperti mendapat rejeki aku hampir berteriak.
“Sudah dibalas?”
“Belum. Tapi sudah delivered”
Menunggu itu menjemukan! Kukirim SMS itu sekali lagi, delivered lagi. Tapi belum ada balasan dari Mat.
“Sudah hampir mendekati Bojonegoro.” Tukas Bapak.
“Mat sibuk mungkin.” Mat seorang supir, bias jadi ia tak sempat membalas SMS kalau sedang menyetir. “Atau jangan-jangan ponselnya ketinggalan di rumah. Apa tidak ada orang lain lagi yang bisa dihubungi?”
“Tidak ada. Yah, mungkin nasib kita. Harusnya memang tidak naik kereta ini ya ngeyel naik. Sekarang terima saja resikonya.” Bapak memeriksa dompetnya, “Semoga saja uangnya masih cukup membayar dendanya.” Nada putus asa jelas terdengar. Saat itu ponselku bergetar. 1 message received, Mat.
Isinya singkat saja, Pak Karmijan
“Karmijan! Susah amat ingatnya!” lega kuhempaskan punggung. Dari tadi aku ngantuk. Hanya karena sebuah nama, Karmijan.
Di Stasiun Bojonegoro. Kereta berhenti.
“Tunggu sampai penumpang habis. Lewat pintu selatan.”
Aku dan Bapak mematuhi perintah itu. Kami jadi penumpang paling akhir yang keluar. Petugas pemeriksa karcis hanya mengangguk kecil ketika Bapak dengan hati-hati menukas,
“Keluarga pak Karmijan.”
Keluar dari stasiun, rasanya aku bias bebas menghirup udara segar lagi. Dengan becak aku dan bapak menuju terminal Bojonegoro. Dari sana kita naik bis menuju Lamongan. Sampai rumah aku langsung melampiaskan hasratku. Alhamdulillah. Home sweet home.
Sambil menikmati kegiatanku, aku terbayang wajah Pak Karmijan dan Bulik Pur. Terima kasih Pak Karmijan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...