Rabu, 15 September 2010

KACAMATA CLEOPATRA

Kupoleskan lip ice colour kissing orange sebagai finishing touch, mentholatumnya menyegarkan. Perlahan warna orange lembut membias di bibirku, serasi dengan bolero rajut harajukuku. Masih pukul 18.50, Theo janji menjemputku tepat pukul 19.00. Masih ada 10 menit lagi waktuku mematut diri. Si mata elang itu mengajakku menghadiri ulang tahun ketua kelasnya.
Sekali lagi kupandang cermin yang membingkai seraut wajah dengan rambut ala Cleopatra. Tapi sepertinya ia tak secantik Cleopatra dalam sejarah. Wajahnya datar, tak secuil senyum menghiasi bibirnya yang bersemu orange. Wajah itu mencoba tersenyum tapi sepertinya tak rela. Bahkan ketika memaksakan diri hingga gigi gemerutukpun sang senyum masih enggan, yang muncul malah sebuah seringaian menakutkan Jangan-jangan Cleopatra sudah berevolusi menjadi medusa.
Ini pasti gara-gara benda itu, yang membuat sang Cleopatra hilang wibawa, rasa bangga yang selalu mencuat setiap kali orang-orang memuji betapa lentiknya matanya.
Aku benci wajah itu! Mengenakan benda itu seolah mengalungkan beban seberat 10 ton ke leherku. Aku benci kacamata! Ia membuatku merasa menjadi Bety La Fea, si lugu, bo’on, kuper, katrok, bla bla bla lain-lain sederet predikat menyebalkan.
“Pakai lensa kontak aja pa, aku ogah pakai kacamata. Aku kan pikun, bisa-bisa aku bakal lupa naruhnya,” tolakku ketika papa mengajakku memilih kacamata di optik langganannya.
“Itu masalahnya, karena kamu pelupa maka sebaiknya pakai kacamata saja. Bayangkan, kalau kamu pakai lensa kontak, terus kamu lupa mencopotnya sebelum tidur, bisa-bisa malah infeksi.”
“Tapi nanti kalau aku lupa naruh kacamatanya?”
“Kasih rantai saja, kaya bu Hebrink di TV itu, beres!”
Ogah! Tapi tetap saja aku kalah. Papa tetap membelikanku kacamata. Kata dokter, mata kanan dan kiriku sama-sama minus 3. Sebenarnya aku tidak pernah mengeluh tentang mataku tapi papa curiga pada hobi baruku, dekat-dekat dengan layar TV kalau ada film yang pakai terjemahan, dan mengkonsumsi jus wortel 3x sehari. Beliau memaksaku periksa. Hasilnya sebuah kacamata berframe cokelat muda bertengger di wajahku, Cleopatra berkacamata.
“Cleo!” Nah, suara mama, pasti Theo sudah datang. Oh ya, sebaiknya jangan heran kalau mama memanggilku Cleo, karena namaku memang Cleopatra. Aku lahir 5 tahun setelah papa mama menikah. Mereka menginginkan aku nantinya secantik pharaoh itu. Padahal menurutku masih banyak perempuan cantik selain Cleopatra, Lady Diana atau Jessica Alba misalnya, tapi mama ngeyel menamaiku Cleopatra. Alasannya, Cleopatra adalah lambang kesetiaan. Well, aku bangga menyandang nama besar itu. Tentu saja sebelum aku berkacamata.
“Cleo!” seruan mama kedua kali. Sekali lagi kutatap cermin. Wajah di sana tersenyum ceria. Cleopatra tanpa kacamata. Mark Antony, eh, Dimas Theo tak boleh menunggu lama-lama. Di ruang tamu ku kapten basket itu menatapku takjub, membuatku blingsatan, taruhan wajahku pasti merah.
“Wow, ratuku cantik! Lho, kacamatanya mana?”
“Gak usah pakai ah, ribet!”
“Pakai saja. Aku suka kamu pakai kacamata, kesannya, kamu gadis yang pintar.
“Kamu mau membandingkan aku dengan Nana?” Nana itu teman sekelasku. Si bintang kelas, murid teladan, si ekor kuda berkacamata. Theo tertawa lebar.
“Buah jambu buah semangka”
“Ih apa’an sih, malah berpantun”
“Ratuku tetaplah sang Cleopatra”
“Awas kalau kamu macam-macam!”
Theo nyengir. Tapi malam itu, demi Mark “Dimas Theo” Anthony, Cleopatra ikhlas berkacamata.

*****



Aku mondar-mandir. Ruang kelas ke ruang ganti, ke kantin, bolak-balik aku bongkar isi tas dan lokerku. Theo membuntutiku seperti kacung sambil menggerutu panjang lebar. Amnesia temporariku kambuh. Aku lupa menaruh kacamataku dimana.
“Capek aku Cleo! Coba kamu ingat-ingat lagi dimana menaruhnya tadi.”
Kugaruh kepalaku yang tidak gatal. Seolah bisa menguatkan kerja otakku menggali memori, tapi ingatanku terbatas pada jam pertama ada materi Speaking dibab. Bahasa dan jam ke 3 Olahraga. Seingatku sebelum main basket, aku menaruhnya di kotaknya, di tas. Tapi, ternyata sekarang benda itu tak ada. “Jangan-jangan di Lab. Biasanya kamu ribet melepas kacamata kalau pakai headset.” Biasanya aku malah ga pake kacamata kalau ke Lab Bahasa. Sebulan berkacamata, aku masih gerah memakainya paling kalau ada menulis atau ke kantin.
“Ya sudah, kita ke Lab saja”
Masih mengenakan seragam olahragaku dan Theo yang mengorbankan pelajaran Matematikanya demi menemaniku, kita menuju Lab. Sepertinya tidak ada kegiatan siswa disana, tapi pintu Lab terbuka, muncul Pak Hari, laboran Lab Bahasa, Nana dibelakangnya.
“Cleo ada yang ketinggalan juga? Kenapa anak muda sekarang hobi pikun ya”tusk Pak hari.
“Nana ketinggalan apa Pak?” tapi sepertinya pertanyaanku tak perlu jawaban karena aku tahu Nana sedang memegang sebuah benda, kacamataku, “Lho, itukan kacamataku. Bener juga ketinggalan di Lab,” kuambil kacamata itu dari tangan Nana.
“Tapi Cleo, itu kacamataku,” bantah Nana hendak mengambil kacamata itu kembali, tapi aku menepisnya.
“Punyaku Na, warnanya, mereknya, punyaku,”
“Cleo, tadi kacamatanya ada di meja Nana” Pak Hari angkat bicara.
“Tapi Pak, kacamata yang ini asli, yang punya Nana pasti tiruannya,”
Tiba-tiba Nana tertegun memandangku, lalu mencoba tersenyum.
“Ya sudah, ma’af ya Cleo,” si ekor kuda itu berbalik dan langsung melangkah, pun Pak Hari.Segera kupakai kacamataku, lalu kusadari Theo masih disana terdiam.
“Kenapa?”
“Kamu kok gitu, seolah-olah kalimatmu tadi menyiratkan kalau Nana takkan mampu membeli kacamata yang sama dengan kacamatamu,”
“Tapi Theo, kacamata ini memang mahal, sementara kita tahu, bagaimana kehidupan Nana, Ayahnya sakit, ibunya tukang cuci, SPPnya saja selalu telat, jadi mana mungkin dia mampu kalau yang tiruannya sih mungkin.”
“Tapi sebaiknya kamu minta ma’af pada Nana, ia pasti tersinggung.”
“Gak mau, aku tidak salah kok.”
“Awas lho, jangan sampai kamu menyesal karena rasa bersalah berkepanjangan, lalu bunuh diri seperti Cleopatra yang asli.”
“Memang Cleopatra mati bunuh diri ya?” tanyaku polos.
“Ya, dia sengaja membiarkan dirinya dipatuk ular berbisa. Apa kau mau aku mencarikan ular berbisa buatmu. Secepatnya aku menghubungi Panji Si Pawang Buaya itu.”
“Akh! Kamu jahat!” Theo berlari menghindariku yang hendak menjitaknya. Aku mengejarnya ke kelasku, lalu mencubitinya gemes. Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa Cleo?
“Kepalaku pusing.”

*****

Sore itu hujan rintik-rintik ketika aku pulang dari tempat praktek Dokter mata. Papa menyuruhku periksa lagi. Jangan-jangan minusku bertambah karena aku selalu merasakan pusing semingguan ini jika mengenakan kacamataku. Bisa jadi itu karena ukurannya sudah tidak sesuai lagi dengan minusku. Tapi Dokternya sedang ada operasi, jadi prakteknya tutup.
Habis maghrib aku berniat membaca Buku tiga serial Percy Jackson dan Dewa Dewi Olympia, tapi baru sampai di halaman ke dua, pusing menyerangku lagi. Tiba-tiba aku ingat, sering pusing adalah tanda-tanda tumor otak, hiks……jangan-jangan……
“Theo ….. hiks……” tak tertahankan sedihku segera kutelpon Theo.
“Lho, ada apa? Telepon kok nangis?” Diseberang Theo bingung.
“Jangan-jangan aku pusing-pusing karena tumor otak deh. Hidupku tak lama lagi.”
“Hush. Aneh-aneh saja. Itu gara-gara kamu malas pakai kacamata.”
“Kan aku sudah pakai terus.”
“Jangan-jangan itu memang kacamata Nana, jadi kamu tidak cocok.”
“Mungkin….” Jujur semingguan ini sejak kejadian di Lab, aku memang agak ga enak pada Nana. Aku tak yakin aku meninggalkan kacamataku di Lab, meski sampai sekarang aku belum tahu keberadaan kacamataku. Satu hal lagi, Nana tidak pakai kacamata setelah kejadian itu. Jadi mungkin kacamata ini memang miliknya. “Theo….” Aku ragu.
“Ya.”
“Besok antar aku ke rumah Nana ya”
“Lho, bukannya kamu ketemu dia tiap hari?”
“Dia sudah tidak masuk sekolah 2 hari ini, sakit.”
“Siip.”
HUFFhh. Lega aku, semoga ini benar-benar kacamata Nana, sepertinya lensanya memang lebih tebal dari milikku. Tapi dimana kacamataku ya,bisa-bisa Papa marah besar kalau kacamata itu benar-benar hilang.
“Cleo, ada temanmu” tiba-tiba Mama muncul di pintu kamarku.
“Siapa Ma?”
“Nana”
“Nana?” echoku dengan nada tak percaya.
“Cepat keluar, dia tidak mau masuk, katanya sedang tergesa-gesa.”
Aku buru-buru berlari ke depan, dan menemukan Nana dengan baju setengah basah. Hujan masih gerimis satu-satu.
“Nana? Ayo masuk dulu, kamu ga bawa payung?”
“Tidak Cleo, aku terburu-buru. Aku cuma mau mengembalikan ini” Nana menyorongkan sesuatu padaku.
“Kacamatamu.”
“Kemataku maksudnya.”
“Ya, itu kacamataku kamu meninggalkannya dikantin, tapi Mbah kantin mengira itu punyaku, jadi ia menyimpannya, sementara yang di Lab, itu memang kacamataku. Maaf ya Cleo, tanpa sengaja kemarin saat aku mencobanya jatuh, kacanya pecah, tapi sudah kuganti kok. Ternyata memang kacamata kita sama Framenya. Dokter Ravi yang menghadiahkan padaku, ibuku juga padanya. Coba saja Cleo.”
“Dokter Ravi? Itu dokterku juga” menuruti kata Nana kupakai kacamata itu. Rasanya ringan, sepertinya ini memang kacamataku. “Bener Na, kacamataku. Pantesan aku selalu pusing kalau pakai kacamatamu, maaf ya kemarin kata-kataku agak kasar.”
“Tidak apa-apa, sudah biasa kok.”
“Ya sudah, sebentar kuambilkan kacamataku.”
“Tak usah Cleo. Sekarang aku tidak membutuhkannya lagi.”
“Matamu sembuh, kamu berobat dimana?” Nana tidak menjawab, hanya tersenyum.
“Aku pulang ya,” seperti dibius aku membiarkan Nana menghilang dibalik gerimis. Aku baru sadar ketika gerimis menderas dan setitik muncrat ke lensa kacamataku , benar-benar kacamataku.

*****

Pulang sekolah aku dan Theo langsung ke rumah Nana. Ada bendera kuning di mulut gang rumah Nana, kelihatannya ada yang baru saja berpulang. Dan didepan rumah Nana banyak orang berkumpul, jangan-jangan…….
Theo memarkir mobilnya agak jauh.
“Jangan-jangan ayah Nana, kamu turun duluan ya, aku nunggu disini dulu” Tanpa menjawab Theo segera turun dan menuju rumah Nana. Ia bercakap-cakap dengan seseorang disana sambil sekali-sekali memandang ke arahku. Tak sampai 3 menit dia sudah kembali.
“Siapa yang meninggal Theo?” Tanyaku tak sabar.
“Nana”
“Nana ?”
“Ya, dia kecelakaan kemarin, tabrakan mobil saat hendak menyeberang jalan dari apotik, menebus resep obatnya.” Pasti gara-gara dia tidak memakai kacamatanya. Ini salahku. “Ya sudah, kamu turun, kita kembalikan kacamata Nana, sekalian Takziah.”
Kurogoh tasku, mengambil kacamata Nana dalam kotak, kuberikan pada Theo.
“Lho, ini kacamata Nana? Lalu yang kamu pakai?”
“Ini kacamataku sendiri.”
“Baru? Atau kamu menemukannya di toilet rumahmu?”
“Tidak, Nana yang mengembalikannya. Katanya kacamataku tertinggal di kantin. Mbak kantin mengira itu punya Nana, jadi dikembalikan ke Nana.”
“Kapan Nana ke rumahmu?”
“Tadi sore, setelah aku telpon kamu,”
“Habis maghrib kan?” aku mengangguk , kulihat Theo menatapku miris, aneh,”
“Kenapa?”
“Nana meninggal setelah Ashar,”
Beberapa detik masih kulihat Theo bicara, tapi tak kudengar suaranya. Tiba-tiba semua berputar pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap hitam!

1 komentar:

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...