Tak ada. Laki-laki itu meraba-raba lagi tempat disisinya, tempat dimana istrinya berada, tapi tempat itu kosong, tak ada istrinya. Padahal baru beberapa saat yang lalu mereka usai berlayar ke pulau jingga, dan ia menunggu perempuan terkasihnya itu terlelap lagi dalam pelukannya. Ia bukan lelaki egois yang langsung pulas lagi begitu terselesaikan hasratnya. Tapi sepertinya kali ini ia tertidur. Ia lelah, tugas kantor membuatnya tidak bias konsentrasi pada tugas yang satu ini.
Tapi kemana istrinya? Ia membuka mata. Kamar terang benderang. Ia benci kamar benderang, tapi sejak ia tahu perempuan itu tak suka tidur dalam kegelapan, ia mengalah. Sekarang mereka selalu tidur dalam terang, bercinta dalam benderang, sehingga bisa mereka saksikan masing masing wajah ketika saling mengerang. Istrinya bagai bulan, mereka baru menikah tiga bulan.
Tapi perempuan itu tak ada. Samar ia dengar gemericik air di kamar mandi. Spontan ia melihat jam dinding, jam dua dinihari. Jangan-jangan dia mandi?
“Kaila sayang?”
Tak ada jawaban, mungkin ia tidak mendengarnya.
“Kaila?” masih sunyi. Tiba-tiba ia berpikir bahwa ia sudah mengecewakan istrinya malam ini, hingga istrinya hanya pura-pura tidur tadi, lalu ketika dia sudah lelap, maka istrinya diam-diam menyelinap ke kamar mandi, diam-diam bermasturbasi, akh…
“Kaila!”
“Ya mas.” Dia lega. Pintu terbuka. Istrinya bagai bulan, mereka baru menikah 3 bulan. Rambutnya basah sepinggang, baunya lavender, sepertinya baru saja luluran.
“Kamu mandi.”
“Ya Mas.”
“Masih jam berapa ini? Kalau aku mau lagi?”
“Ya silahkan,” perempuan itu tertunduk malu. Tapi ia sedang tak mau lagi. Ia ada pr dari kantor, mempersiapkan presentasi buat besok pagi.
“Tidak. Kamu tidur lagi saja. Aku mau ngetik sebentar.” Ia menuju meja, menyalakan laptopnya. 10 menit kemudian sunyi sepi. Hanya bunyi jemarinya beradu keyboard yang terdengar, dan detak jam dinding. Ia menoleh ke istrinya yang sedang tidur. Istrinya bagai bulan, mereka baru menikah 3 bulan.
Ia bangkit. Menuju istrinya. Memandangi wajah ayunya. Ia bangga memiliki perempuan itu.
Ketika orang tuanya mengatakan hendak menjodohkannya, ia menolak mentah-mentah.
“Aku belum mau menikah. Dan kalau aku menikah, aku mau mencari perempuan yang benar-benar mencintaiku dan aku mencintainya. Bukan dari perjodohan.”
Ia masih 27 tahun. Target menikahnya 30 tahun. tapi ia tak menolak untuk hadir dalam acara pertemuan dua keluarga, keluarganya dan keluarga Maharani. Ia langsung jatuh cinta pada Maharani. Sebulan kemudian mereka menikah.
Maharani bagai bulan, mereka baru menikah 3 bulan.
“Mas kenapa?” ia kaget, mata istrinta mendadak terbuka dan menggeragap dia terpergok sedang memperhatikannya.
“Aku mencintaimu.”
“Saya juga mencintai Mas.”
“Aku ingin memelukmu.”
“Peluklah Mas. Itu hakmu”
Mereka berpelukan, sampai terasa hangat menyentuhnya. Matahari menerobos masuk lewat kisi jendela. Ia tak lagi mendapati istrinya. Ia tak perduli, ia hanya melihat jam, setengah tujuh.
“Telat lagi mas?” sapa Hardi yang menempati kubikel sebelah begitu ia menyalakan PC. Ia hanya tersenyum. Hardi pegawai baru, menggantikan Sukmo yang diduga menggelapkan uang pabrik sehingga dipecat tanpa pesangon beberapa minggu lalu. Pemuda berambut kelimis itu menempati kursi sebelahnya. “Saya mau minta copian data kemarin.”
Computer mereka belum terkoneksi, jadi harus ribet kalau tukar menukar data.
“Ya nih. Tidur nya kemalaman, bangun-bangun sudah siang.”
“Ah. Mas, katanya masih pengantin baru yah.” Hardi mengolok-olok. Awalnya dia menganggap anak baru itu pendiam, tapi ternyata enak juga diajak bicara. Umurnya baru 27 tahun.
“Pengantin kawak Har, sudah tiga bulan.” Mereka tertawa berdua. Ia segera mengkopikan beberapa file ke flash disc Hardi.
“Ah, ya belum. Wong belum punya laba! Sudah ada tanda-tanda atau belum Mas?”
“Belum. Jangan dulu deh, belum siap aku! Kamu sendiri bagaimana? Sudah punya pacar belum?”
“Belum Mas.”
“Aku ada saudara perempuan, yah, tidak cantik-cantik amat tapi…”
“Ah, saya niru Mas Dava saja, belum siap. Kerja saja baru beberapa hari.”
“Kalau begitu kapan-kapan ikut aku, kita cari yang tidak usah menuntut kata siap, grak!”
“Maksudnya Mas.”
Oalah, Hardi yang begitu polos. Tapi kata-kata Hardi mengusiknya ketika pulang kantor.
Hujan turun sepanjang jalan. Mobilnya merayap dalam tampias air yang menggelapkan pandangan.
Tanda-tanda, rasanya memang belum ada. Istriku belum meminta yang aneh-aneh. Sudah tiga bulan, harusnya jika aku subur, maka sudah ada tanda-tanda, atau jangan-jangan dia yang tidak subur. Apa aku salah pilih tempat menanam benih?
Tapi mas Joko dan Mbak Nia juga baru 3 tahun baru dapat momongan. Tapi Cuma mereka yang lama menunggu, keluargaku yang lain baru sebulan saja istrinya sudah muntah-muntah.
Ia berpikir lagi. Tapi memang istrinya tidak bersikap aneh. Ia memang baru mengenal istrinya sebulan setelah pernikahan, tapi rasanya sudah cukup untuk membuatnya jatuh cinta padanya.
Istrinya bagai bulan, mereka baru menikah 3 bulan.
Ah, mungkin memang belum waktunya.
Lagian aku juga belum siap.
Siap sih siap, tapi ternyata belum ada juga.
Jangan-jangan aku mandul? Tidak.
Apa dia yang mandul? Semoga tidak.
Akan kutunggu beberapa bulan lagi, jika tidak ada tanda-tanda, aku akan mengajaknya ke dokter, tapi aku tak mau diperiksa. Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa aku tak bisa.
Entahlah.
Hujan tinggal gerimis satu-satu, ketika ia sampai di rumah dan pintu tertutup rapat. Sempat ia melirik arlojinya, jarum pendeknya menunjuk angka 4. Rumah sepi, tapi ia tahu, istrinya pasti di rumah.
Ia memencet bel pintu. Sekali, dua kali lalu berhenti. Ia menunggu. Semenit, dua menit, pintu itu masih tertutup. Mungkin istrinya masih sibuk, ia menunggu saja. Sambil membayangkan wajah istrinya.
Dia seorang guru TK, sederhana. Rambutnya sepinggang, harum hitam, terurai lepas jika sedang di rumah, tapi terhijab dalam jilbab jika bekerja. Bulu matanya lentik, dan sebuah lesung pipit menghias pipi kirinya, cantik. Sepulang mengajar, ia tak aneh-aneh, semacam shopping di mall, beli baju atau kosmetik. Ia lebih suka di rumah, akrab dengan jarum dan benang kruistik. Selebihnya ia menikmati fungsinya.
Ia memencet lagi, sekali saja, lalu menunggu lagi. Mungkin istrinya sedang mandi atau gosok gigi karena tahu ia sudah datang dan ingin menyambutnya dengan tubuh wangi. Semenit, dua menit. Pintu belum terbuka juga. Gerimis mulai hilang, angin menyapa tubuhya, dingin. Ia ingin segera masuk dan mendapatkan wangi yang menanti di dalam sana. Tapi kenapa pintu belum terbuka juga.
Ia memencet lagi, sekali. Pintu diam. Jangan-jangan istrinya sedang masturbasi, terlalu asyik hingga tak sadar bel pintu berbunyi berkali-kali.
Ia memencet lagi, sekali, dua kali, tiga kali, jelas dengan kesal hati. Ia mulai berpikir di dalam sedang ada konspirasi. Istrinya sedang bersama seorang lelaki, mereka sedang saling merasai, laki-laki itu membelai rambut istrinya yang kusut masai, istrinya tersenyum pada laki-laki yang baru saja mengajaknya melewati birahi.
Amarah mulai mengipasi api dalam sekam, ia memencet berulang-ulang!
Laki-laki itu lari dari pintu belakang dan istrinya buru-buru memakai pakaian dalam! Laki-laki itu balik lagi, celana dalamnya ketinggalan! Istrinya sibuk merapikan rambutnya yang berantakan!
“Mas?”
Wajah bagai bulan muncul dipintu. Ia bernafas lega, tak ada yang hal yang perlu dipertanyakan ketidakberesannya.
“Kok sudah pulang? Biasanya….”
“Ah.. aku kangen kamu.” Buru-buru ia menyeret istrinya ke kamar. Dingin dari tadi membuatnya beku, harus segera dicairkan.
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
Semula ia tidak terlalu memperhatikannya, tapi lama-lama ia merasa ada yang aneh. Perempuan itu jadi suka mandi.
Bangun pagi, ia terbangun sendiri, tak ada perempuan itu disisi. Lalu pintu terbuka, dan ia masuk dengan tubuh wangi. Ia tersenyum,
“Mas, tidak bangun? Sudah kusiapkan air hangat buat mandi.”
Ia mandi, sholat subuh, lalu kehilangan perempuan itu.
“Aku di kamar mandi mas, mandi.”
Mandi? Bukannya tadi sudah?
Habis mandi perempuan itu menyiapkan sarapannya, tapi ia sarapan sendiri. Ia kehilangan perempuan itu lagi.
“Aku sedang mandi mas.”
Mandi lagi??
Ia bersiap, si perempuan mengantarnya dengan sebuah kecupan. Ia sudah mandi tiga kali pagi ini. Wangi.
Pulang kantor, ia kembali mendapati pintu selalu tertutup. Ia mengetuk dan menunggu. Yang selalu keluar adalah wajah segar perempuan itu, usai mandi.
Selalu mandi!
Ia menonton televisi, perempuan itu mandi. Ia mengetik laporan, perempuan itu mandi.Ia membaca Koran sore, perempuan itu mandi. Usai makan malam, perempuan itu mandi. Hendak tidur, ia mandi lagi. Dan bangun tidur, rutinitas itu kembali terjadi.
Perempuan itu, suka mandi.
“Jangan-jangan dia ngidam mas.” Kata Hardi ketika ia akhirnya kebingungan dan cerita pada Hardi.
“Hah, masa ngidam mandi?”
“Lah orang ngidam kan biasanya aneh-aneh Mas. Ada yang minta es krim malam-malam, minta dicurikan mangga tetangga, pengen ketemu Rhoma Irama trus ngejitak kepalanya…”
“Tapi masa mandi?”
“Bisa jadi Mas. Apa Mbak Kayla tidak bilang sesuatu?”
“Maksudmu, bahwa dia telat?”
“Begitulah.”
Ia mengingat-ingat. Tapi sepertinya Kayla belum pernah bicara. Atau jangan-jangan perempuan itu sengaja menyembunyikannya, mungkin besok atau lusa ia akan baru bilang,
“Kau akan jadi seorang ayah.”
Kata orang jangan terlalu berharap jika Cuma telat satu atau dua hari saja. Bisa jadi menstruasi mundur karena hal lain, stress, capek, atau pengaruh hormon. Kayla cukup paham tentang itu. Jadi mungkin ia tidak mengatakannya dulu karena belum pasti.
Tapi ia tak pernah melihat Kayla bersemangat membeli test pack. Tak pernah melihat Kayla buru-buru bangun pagi dan mengurung diri di kamar mandi. Kecuali ia selalu mandi! Mandi selalu!
“Kenapa kau selalu mandi?”
Ia tak tahan lagi, malam itu ketika hendak tidur, ia menunggu perempuan itu berbaring disisinya, tentu saja ia usai mandi.
“Aku hanya ingin bersih buatmu.”
“Tapi bukan berarti harus selalu mandi kan?”
Perempuan menatapnya tajam, tapi lalu menunduk malu ketika ia menjamah dagunya. Seminggu ini ia payah karena kerja kantor, malam ini ia menginginkan perempuan itu. Ia beringsut berniat lebih banyak memberi sentuhan ketika tiba-tiba perempuan itu menghindar.
“Jangan!”
“Kenapa.”
“Jangan, tidak malam ini dan selanjutnya. Tidak boleh.” Perempuan itu membelakanginya.
“Tapi kenapa Kayla. Kau sakit?”
Perempuan itu berbalik. Matanya berkaca-kaca.
“Jangan melakukannya di tri semester pertama, itu pesan dokter.”
“Kamu hamil?”
Perempuan itu mengangguk. Lalu menyuruk dalam rengkuhannya, memeluknya dengan isak.
“Aku.. aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya padamu. Aku bingung.”
Ia tersenyum. Terkadang perempuan sulit dimengerti.
Kakak perempuannya memberi tahu suaminya kalau hamil sambil menari gembira dan memperlihatkan hasil test pack positif.
Sepupunya mengajak makan malam suaminya dan menyuruh pramusaji memberikan amplop hasil pemeriksaan kehamilan dari dokter.
Teman kantornya memberi tahu suaminya lewat telepon saja.
Istrinya, suka mandi dan menolak dijamah.
“Jadi itu kenapa kau suka mandi? Kau ngidam mandi?”
“Mas percaya soal ngidam?” mereka bersitatap.
“Percaya saja. Kalau memang kau ingin selalu mandi, ya mandi saja. Biar anakku tidak ngiler nantinya.” Ia meraba perut perempuan itu. Masih datar. Tentu saja, baru hamil. Mungkin tiga bulan lagi ia baru bisa melihat perubahan itu.
“Nah, selamat ya Mas.”
Hardi orang pertama yang ia beritahu kabar gembiranya.
selanjutnya..... tunggu dulu yah.... tak makan dulu, sudah lapar...
Wah, udah mikir yang enggak2, ternyata hamil to...
BalasHapuslanjutin dunk mam...
hmmm...... intinya bukan disitu kok.... ni masih bigung gimana ngelanjutinnya. hehehhe
BalasHapus