Senin, 16 Agustus 2010

MARS, VENUS, KUMBANG DAN MELATI

cerEntah ini mimpi atau bualan, tapi ini purnama. Dan entah apa aku ini manusia serigala yang bisa malih rupa ketika bulan sempurna bundar bertandang di atas sana, atau sekedar dianugerahi sekejab kekuatan oleh yang Maha. Dini hari ini, aku merasa seringan kapas dan setipis kulit bawang. Tiba-tiba aku lolos dari jeruji yang selama ini mengurungku, lalu dengan mudah melewati penjaga, lampu-lampu sorot di sudut bangunan penjara. Aku adalah Pyoroeis, Phobos dan Demos pengawalku. Jangan pernah menyentuhku jika kau tak ingin jiwamu luluh lantak disentuhku.
Dan aku keluar dari sana, melihat mobil-mobil, pohon dan manusia, normal. Juga seekor cicak yang merayap di trotoar. Tapi aku tak berniat pulang, aku tak punya uang untuk naik taxi. Jadi aku terbang kesana, demimu Dinda.
Dulu aku senang disini, bila malam telanjang dan bumi terkantuk-kantuk. Kuhitung bintik-bintik putih cemerlang di Milky Way, satu dua tiga seribu sejuta, kupanggil namamu, Oriza Sativa. Mars berpendar merah dan Venus berkedip ungu. Dan melati mengurai harum bunga di depan kelas II.2.
Sudah lama aku tak kesana, tapi besok ultahmu Dinda. Dan aku tahu kau mencintai melati itu. Dingin beku hujan semalam, bersama arah malam yang kian pudar sampai juga aku disini. Asal kau tahu, gerbangnya digembok dua, dan aku tak sanggup merenggutnya. Jadi aku harus memanjat untuk sampai kesana. Kurasa selangkangan celanaku sobek tersayat ujung jerujinya, angin meraba isinya yang terlalu melugu hingga tak kuasa bertirani padamu dulu, Dinda.
Venus masih ungu, tapi Mars agak redup saat ini. Bersijingkat kudekati rumpun melati yang berbunga di depan kelas II.2. mengendusi aroma keperawanannya yang serupa baumu saat kudekapi malam-malam gelisah menginginkanmu menjelang EBTANAS bersama keperjakaan yang sia-sia.
Lalu kupetik sekuntum, tiba-tiba aku ingin berair mata Dinda, aku rindu padamu. Simpuhku pada rumpun melati, mengingatkanku pada saat pertama ia berbunga, Cuma sekuntum saja, seperti melarikan diri dari warananya, sepasang babut hijau bersemat embun yang memprismakan diri serupa pelangi kala surya bangun menyapa selamat pagi dunia.
Aku masih di kelas itu, di bangku nomor tiga baris kedua dekat jendela. Kurasa ia biasa saja, aku belum mencintai bunga-bunga. Semenit kemudian aku bertiwikrama, bukan, bukan melati itu sebabnya, tapi padamu yang pertama kali menuju kelasku.
Kamu cantik Dinda, kamu venus Dinda. Apa kau tahu, Venus, Pavlova, Aphrodite, dewi cinta?
“Saya menggantikan guru Fisika yang cuti hamil. Nama saya Oriza Sativa.” Biasa dipanggil Ori, single, 23 tahun. Oh, Miss Ori, how do you do, ajari aku mengeja I Love You. Aku Dion Praharsa, 17 tahun, panggilan Felix.
“Kenapa Felix?”
“Karena Kau Oriza Sativa!” padi dimakan tikus, tikus dimakan kucing. Bukan begitu?”
Ah, tentu saja itu hanya percakapan renjanaku sendiri. Kau di sana, mulai bicara tentang fisika. Aku tak suka fisika Dinda, tapi aku suka padamu.
“Tentang Ptolemy dan Copernicus, yang menyatakan bahwa teori tata surya……teori cinta, Romeo dan Juliet, Mars dan Venus….
Seorang Romeo bertubuh Eros terjaga di Mars. Sayang sayapnya tinggal sebelah. Ia sekarat, karena sayapnya itulah nyawanya. Lalu Hatif datang berfatwa,
“Sayapmu dicuri Juliet.”
“Siapa Juliet? Aku akan mati tanpa sayapku.”
“Juliet makhluk sepertimu juga, ia dicipta dari sayapmu. Kau harus menemukannya jika ingin tetap hidup, karena kau telah berbagi sayap dengannya itu berarti kau berbagi jiwa dengannya.”
“Bagaimana aku bisa menemukannya? Bagaimana aku bisa terbang mencarinya, melewati bumi yang dihuni populasi kolobos berkepala hitam dan para medusa, sedang sayapku patah begini.”
“Tak usah kau cari, cukup pancarkan syahwatmu, baunya akan menggiringnya sendiri padamu. Kau punya satu yang membakar, dia punya Sembilan tapi satu akal.”
Maka romeopun menunggu Juliet sambil menetesi luka sebelah sayapnya dengan semennya yang berwarna merah. Selalu, ketika semen bertemu luka, rasa hangat membakarnya, dan bebauan aneh menguar dari sana. Seperti tali temali bergulung menjauh, mencari mangsa. Seperti asap terbang menjerat para kupu-kupu. Dedaunan menggeliat, bebungaan mekar, dan kantong semar membuka diri siap dijamahi.
Tiba-tiba datang raja Kolobos berkepala hitam dari bumi. Matanya besar sebelah, hidungnya bengkok. Tapi rambutnya lebat hampir menutupi wajahnya.
“Ksatria Romeo, tolonglah aku, penguasa Venus mengkoloni Bumiku!”
“Ia Julietkah? Ia juga mencuri sayapku.”
“Sayap? Apakah itu sesuatu bulu berlembar-lembar berwarna putih dengan bintik-bintik transparan merah apel New Zealand?”
“Ya, semacam itulah sayapku. Padaku tinggal separuh dan hampir layu.” Romeo membeber sayap patahnya, raja Kolobos geleng kepala.
“Jadi itukah sayapmu? Juliet telah menyayatnya jadi potongan kecil-kecil berbentuk hati, melumerinya dengan saus pink dengan merek Ketuban Valentine dan memberikannya pada kaumku yang betina sehingga itu menumbuhkan sejenis polip di rahamya yang kemudian mbrojol sebagai seekor jenis binatang berkaki dua dengan kulit warna-warni, merah jingga kuning hijau biru nila ungu.”
“Antarkan aku padanya, aku harus meminta kembali sayapku, aku tak perduli meski makhluk MEJIKUHIBINIU itu harus dijejalkan kembali ke tubuh kaummu agar kembali ke bentuknya semula.”
Maka terbanglah raja Kolobos dengan Romeo di tengkuknya, berpegang tangan sang ksatria bersayap sebelah pada cuping telinga sang raja sehingga ia bisa melihat “pundi kebenaran” yang berkarat di di tebing gendang telinga makhluk berbulu itu. Hasrat hati mengambil sebuah tapi keburu sang raja menurunkannya di sebuah daratan penuh bunga amber dan chamomile.
“Inikah Bumi? Mana Juliet?”
“Ini bukan bumi, ini Paradise! Tempat Juliet bertapa.” Sambil berkojah, raja Kolobos menunjuk ke suatu arah, “Itulah yang kau cari, Juliet belahan jiwamu.”
Dan memandanglah Romeo kearah yang ditunjuk raja Kolobos, rontoklah seketika sayap Romeo yang tinggal sebelah. Terbukalah juga auratnya sehingga ia malu dan meraup dedaunan Paradise.
Dan bersamaan itu, Julietpun memandang ke arah sayap-sayap yang rontok, kagetlah ia, dan lepaslah selendangnya, terbukalah auratnya.
Dua mahkluk itu saling pandang terpana. Dan Kolobos menaburkan serbuk feromon dengan liar sambil menari diantara mereka.
“Dasar bodoh! Harusnya kalian tak boleh saling melihat! Hahaha… “ Raja Kolobos tertawa lebar menggelegar, terbelahlah lantai Paradise. Dari semula inilah rencananya untuk mengusir dua orang itu dari temoatnya semula.
Romeo melesak terhimpit berteriak. Juliet ambles tak kuasa menggeliat. Jeritan berpadu bahak. Lalu semua gelap dalam pandangan Romeo dan Juliet. Dan mereka diam. Sunyi.
Dan ketika mereka terjaga, matahari bersinar terik di padang pasir Verona. Mereka melihat makhluk-makhluk berkaki dua berwarna MEJIKUHIBINIU dimana-mana. Mereka saling menyalahkan.
“Kata Hatif kau mencuri sayapku.”
“Tidak, Hatif bohong, ia yang ingin kita bertemu.”
“Kata raja Kolobos kau mendermakan sayapku.”
“Tidak, Kolobos juga bohong padamu. Kaumnya yang betina itu yang memaksaku agar dicicipkan rontokan sayapmu.”
Tiba-tiba Romeo kejang-kejang, dua sayapnya telah berpulang, padahal sayapnya itulah nyawanya. Ia menggigil meriang tak tertahankan.
“Aku tak bisa hidup disini, Verona terlalu hijau, aku suka merah. Aku harus kembali ke Mars.”
“Dan aku harus kembali ke Venus.”
“Tapi aku tak bisa kesana, aku tak punya sayap lagi.”
“Aku juga takkan diterima lagi di Venus. Kantong saus Ketuban Valentineku telah kering. Padahal di venus, semua memilikinya”
Dua orang itu meratapi nasib. Menangis hingga pepasiran membasah. Saat itu Hatif menyapa.
“kalian akan tetap tinggal di Verona dengan perjanjian sebagai berikut”
1. Agar Romeo tak lagi mengingat Mars yang berwarna merah, maka semenyya yang merah akan diubah seputih susu saja
2. Agar kantong saus valentine Juliet tak pernah kering, maka dibuatkan kantong khusus dalam tubuhnya, bernama ketuban plasenta.
3. Agar tidak bingung dengan warna kulit makhluk hasil percampuran sayap Juliet dan ketuban Juliet, maka disederhanakan saja menjadi 4 macam saja, hitam: negroid, putih : Eropid. Coklat : mongoloid, dan merah: Indiana
“Jadi karena perbedaan atmosfir itulah, maka bintang terlihat berkelap kelip. Tapi akan terlihat Mars the Red planet berwarna merah, dan Venus… Dion, apa warna Venus?”
“Ungu!” kurasa aku benar, tapi jenih matamu kecewa.
“Ungu? Ah Dion, sebaiknya kau cuci muka dulu.” Mimpiku mengalir indah. Percintaan Romeo Juliet tanpa Hepasteus. Sayang ibu guruku marah. Tapi benar kan Bu, Venus berwarna ungu? Seungu mata cincin dijari manismu. Kurasa aku mulai menyukai ungu. Ungu adalah venus. Venus itu kau, hesperosku, phosporosku.
Di kala melati itu mulai bertambah kuntumnya, erospun bangkit dari semedinya, menyadarkan Mars dan Venus yang terlena dalam perselingkuhan di pagi buta dalam jarring laba-laba.
Kumbang-kumbang berebut melati, kumbang muda dan kumbang tua.
“Yang besar bapaknya, yang kecil anaknya.”
“Bu, jika hanya ada sekuntum melati, siapa yang berhak mengambilnya?” karena bagiku hanya ada satu melati yang kutanam di vas kaca ungu yang rawan Pecah. Dan sebagai bunga, ia tak bisa memilih kumbang mana yang ia suka.
“Yang kecil,biar ia mempraktekkan ilmu yang didapatnya dari kumbang dewasa.”
“Bagaimana jika kumbang bapak itu butuh madu lebih dulu demi ratunya yang gering?”
“Baiklah, yang besar dulu. Dengan begitu ratunya akan sembuh dan menghasilkan banyak kumbang baru.”
“Kau jangan plin plan Bu. Kenapa tak kau biarkan saja mereka saling buru dan bunuh. Yang kuat memangsa yang lemah.”
“Tidak bisa begitu, semua ada aturannya, jangan memakai hukum rimba.”
“Aturan dibuat untuk dilanggar Bu. Dan dalam cinta kita tidak perlu unggah ungguh!”
Kau diam. Kenapa Bu? Takutkah kau Bu jika kumbang kecil akan bunuh diri karena harga dirinya terluka, atau ikut berduka pada kumbang besar yang kehilangan wibawa jika kalah bertanding dengan kumbang remaja?
Kumbang remaja adalah aku. Kumbang dewasa adalah ayahku. Mana yang kau ijinkan untuk memetikmu?
“Maaf, aku putuskan tidak memilih.”
Karena kau tak sanggup meninggalkan si cacat Hepasteuskah? Padahal kau selalu meracuniku dengan cerita ibu peri baik hati yang selalu menemani anak-anak yang kehilangan bunda ketika terbebsa dari rahamnya, takkan habis versi mahabarata dan Ramayana, sehingga aku selalu bermimpi dewi shinta menjelma ibu peri dan membuktikan kesetiaannya mengawal anak-anak yang tak ingin jadi dewasa dengan bersumpah dalam kobaran api nyala. Api yang membakarku suatu malam ketika engkau asyik mencumbui berkas-berkas disertasimu. Sehingga kau tak bisa menemaniku mengerjakan rumus pesawat sederhana.
Mungkinkah kau telah lupa, aku baru saja kau pimpin mencapai baligh dan memahami bahwa Mars dan Venus adalah Pecinta gila yang abadi, seperti teori-teori yang kau kutipi, Ptolemy dan Copernicus, Romawi dan Herodotus, astrologi dan astronomi.
Bukan Ares, bukan Hepasteus. Tapi Hades.
Kau menemuinya di dekat rumpun melati. Kau persembahkan sebotol insektisida dan surat cinta. Pada Hepasteus terhormat, pada Ares terkasih. Aku pergi, aku tak bias memilih.
Busuk!
Melati itu masih berpuluh kuntumnya yang belum mekar, tapi kenapa kau gugur duluan? Padahal sarimu telah disesap si kumbang besar dan menunjukkan gejala berbuah. Kata dokter 3 bulan jalan.
Dinda, pecah sudah vas unguku, kemana kucari melatiku?
Matahari jingga mengawalmu ke istana Erebus, dia mengarbitku jadi dewasa. Dan berteman Mammon, Leviathan, Amon dan Beelzebub, kutemui Hepasteusmu. Kubawa dia mengumpulkan kelopak bungaku yang runtuh tercerai berai di kawah Akheron. Semoga bisa jadi bekalnya menyusulmu menemui Hades. Tunggulah ia disana.
Busuk!
Pasti tujuh tahun ini kau bersamanya, bersama Asmodeus dan Lucifer.
Dan melati itu, tinggal serumpun saja. Dia dibabat habis untuk memudahkan penyelidikan atas mayat kakumu yang ditemukan di pagi buta oleh penjaga sekolah. Tapi sepertinya malam mini seminya semringah, mungkin karena ada sebagian kau yang tertinggal disana.
Andai aku bisa menemanimu Dinda, mempersembahkan bagian dirimu itu.
Ah, aku tahu, ada beberapa mata mengawasiku.
Aihh, manusia iri, tolonglah. Tak bisakah kau biarkan aku menemui melatiku saja. Kekasihku sendiri menangguk duka hati, menuai cinta tak berpunya. Hujan tiada berjenguk. Telepon tiada berdering.
Cinta.
Busuk.
*********************************************************************
Penyergapan itu begitu cepat. Dan ia tak berdaya. Bukan karena ia tak punya daya. Tapi mungkin dirasanya cukup. Ia tak mau lagi berulah. Tapi tiba-tiba tergoda karena salah satu dari mereka merebut paksa melatinya.
“Jangan! Jangan melatiku!” keposesivan yang percuma. Mana mereka tahu arti melati bagi seorang Dion Praharsa. Jadinya melati-melati itu dicampakan, berserakan di tetanahan, diantara Teki dan krokot. Dion tak kuasa meronta dalam cekalan, lalu melemah dan pasrah. Seperti Romeo kehilangan sayap, karena sayap itulah nyawanya. Karena melati itulah nyawanya.
Dalam kesekaratan, ia melihat perempuan itu diantara para peringkusnya.
“Ibu, tolong aku. Melatiku Bu.”
Tapi perempuan itu tak bereaksi, malah ia buang muka tak bersimpati, padahal jelas ada airmata kasih sayang yang ditopengi benci. Sebuah kemunafikan yang nyata antara rindu dendam. Mendengar panggilan ibu ia sudah beku, naluri keibuannya raib tujuh tahun silam.
“Bu, bawa melatinya ke Miss Ori, katakana aku mencintainya. Seperti kau cinta bapak.”
Kalimat terakhir anaknya, Dion Praharsa, hilang bersama angin, seperti hilangnya masa lalu. Anak lelakinya tak menolak ketika borgol kembali membelenggunya dan rombongan pemangsa itu membawanya pergi. Malah yang ia dengar adalah suara lelaki yang menjadi inti masalah ini.
“Kau memang indah dilihat, tapi tak berasa disentuh. Dia melati yang putih, cantik dan wangi.”
Lalu satu suara lagi, suara yang ia tak acuhkan keberadaanya.
“Asal ibu tahu, dialah yang menghamili Miss Ori! Aku tak terima kau diperlakukan tidak adil olehnya!”
“Tidak!” nafas perempuan itu memburu, ia menyuruk ke arah melati yang tercecer. “Takkan ada melati buatmu, tak ada buat seorang sundal sepertimu!” ia menginjak-injak melati itu kasar dengan ujung sol sepatunya.
Betapa, melati itu yang membuat bapak anak berseteru. Melati itu yang membuat suami dan anaknya saling bunuh.
*******************************************************************
“Kau tak apa-apa Pak? Sunggguh?”
“Masih utuh.” Tersenyum jamin menjawab, meski dibiarkannya sang istri memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Benar kan.’
“Untunglah.”
Jeda sejenak. Jamin mereguk kopi yang tersaji. Istrinya menguap sekali. Pasti masih mengantuk karena tidur malamnya terpotong kejadian barusan.
“Cuma maling kembang melati.”
“Melati?”
“Ya, melati.”
“Cuma melati? Dan kau melaporkannya pada polisi?”
Jamin menghela nafas. Istrinya penasaran. Andai kau tahu Bu siapa maling kembang melati itu, pasti kau sekeder aku juga.
Beberapa jam lalu saat hujan hampir usai dan ia pun selesai menjalankan tugas mengontrol suasana sekolah, ia berniat menyusul istrinya tidur. Tapi ia terhenyak kaget saat mendapati seorang tamu tak diundang di terasnya. Temaramnya lampu tak bisa menyembunyikan wajah tamu itu.
“Masih ingat saya Pak?” menelusiri wajah lelaki asing itu, raut tak terawat, masih muda tapi rambut menimbun parasnya sehingga telihat acak, tirus, kumal. Tapi samar ia ingat seorang siswa yang dulunya ia banggakan. Ia yang supel dan merebut berbagai posisi di sekolah, ketua kelas, ketua OSIS, ketua tim basket, vokalis band, ah, harusnya ia bisa lulus dengan predikat terbaik, andai saja.. andai saja…
“Dion.” Menyebut namanya, Jamin mundur selangkah.
“Tak usah khawatir Pak,saya tidak berniat buruk. Bapak sehat? Kantinnya masih ramai?”
“Masih, masih.” Ingatan masa lalu tergali lagi. Dion, ah, dia masih sesopan dulu.
“Saya minta ijin memetik bunga melati di depan kelas II.2 pak.besok Miss Ori ulang tahun. Boleh ya Pak?”
“Bo.. boleh, silahkan.”
“Terimakasih. Dan jika bapak hendak melaporkan keberadaan saya disini, saya mempersilahkan.”
Tuhan, andai tadi ia tak melaporkan, tentu saja Dion bisa memeperembahkan melati untuk kekasihnya.
“Pak?” jamin tergagap, menatap istrinya lekat. Duhai sayang, tahukah kau makna sebuah cinta?
“Terus gimana kelanjutannya? Dia dibawa ke kantor polisi?”
“Ketika kita pacaran dulu, ada sebuah peristiwa menggemparkan di sekolah ini. Kepala sekolah tewas mengenaskan digorok anaknya sendiri.”
“Karena dia menghamili seorang guru baru. Dan kemudian terkuak bahwa anaknya itu juga menyukai gurunya. Guru itu diketemukan tewas di rumpun melati, bunuh diri.”
Seperti garis hitam diatas putih, kejadian akan selalu terekam dalam memori.
“Dion? Dion Praharsa? Pencuri itu“ istrinya memastikan. “Dia kabur dari tahanan? Hanya karena mencuri melati?”
“Ya, melati.”
“Benar-benar kebliner anak itu.”
“Bu, bsok ulang tahun Miss Ori. Dion ingin menghadiahinya melati.”
Lalu diam. Dari jauh terdengar kumandang subuh. Angin pagi membawa harum melati ke kamar mereka. Melati yang lain, bukan yang didepan kelas II.2.
*********************************************************************
Aku mungkin berdosa, tapi demimu Dinda. Maaf aku tak bisa datang dan menyalakan lilin makan malam bersama harum melati, aku harus kembali mengikuti mereka dimana aku bisa melebur dosa. Ini demi ibu, seperti halnya demi ibu pula kubunuh kekasihmu, ayahku.
Langit masih sama seperti saat kita berdua menaksir bintang-bintang, satu dua tiga seribu sejuta, tiada lagi kau Oriza sativa. Kulihat sejuta bintang di langit sana berubah jadi Venus, tapi hanya satu Mars, aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...