Kalau saja bukan karena Taura, takkan aku ke rumah Pak Bing. Hanya saja aku merasa berhutang banyak pada Taura di masa lalu, jadi sepantasnyalah aku membalasnya.
Sedang pada Pak Bing, jujur sebenarnya aku segan bertemu beliau. Aku malu, hanya akan mengingatkanku pada kebebalan diriku dalam mencerna soal integral dan logaritma.
Tapi ini pesan terakhir Taura yang wajib aku laksanakan. Aku tak mau aku mati sebelum surat ini kusampaikan, lalu rohku melayang-layang di angkasa, dikejar-kejar gada malaikat yang tak henti-henti menghujat, “Hai manusia, kenapa kau tak bisa menjaga amanat?”
Jadi secepatnya aku menyempatkan diri ke rumah Pak Bing di Paciran. Kebetulan ada jatah tugas liputan tentang Wisata Bahari Lamongan, jadi sekalian aku mampir. Kubawakan keripik nangka dan apel Batu, Pak Bing paling suka itu.
Rumah Pak Bing sepi ketika aku tiba, beliau sedang memangkas mawar-mawarnya, agak kaget dengan kedatanganku. Angin laut membawa bau garam ke indra penciumanku, di belakangku, laut lepas pantura.
“Selamat siang Pak Bing.” Kujabat tangannya.
“Siang..ehm…” keningnya berkerut tanda otaknya sedang menggali memori.
“Saya Theo, Theo Pradika. Ah, aus usia, boleh jadi menghapus jejak lama. Beliau sudah pensiun 5 tahun lalu, tapi sepertinya penampilannya tidak banyak berubah. Hanya warna perak saja yang semakin mendominasi rambutnya, membuatku pangling. Beliau tinggal sendirian saja, istrinya sudah menghadapNya 2 tahun lalu.
“Theo? Theo… ah, Theo.” Bak mantra ia sebut namaku tiga kali, membuka portal masa lampau, “IPA1, 1997?”
Aku mengangguk, ia tersenyum lebar, menepuk-nepuk pundakku.
“Wah, sudah benar-benar pikun aku! Jadi apa kau sekarang? Kudengar kau kuliah di UNDIP! Ayo masuk.”
Pintu dibuka lebar untukku. Tiba-tiba aku disergap pahit. Betapa akan terluka pak tua ini kalau tahu aku hanya datang untuk memberinya segepok lara. Melangkah masuk, seperinya aku sengaja memerangkapkan diri di ruang pengakuan dosa.
******
“Jadi kau? Berdosa kau Taura! Mempermainkan Pak Bing”
Taura tertawa lebar, bereuforia karena aku gemetar usai ia membisikkan rahasianya.
“Siapa yang bilang membuat kejutan itu dosa?”
“Kejutan macam apa?” geram aku menyanggah. “Lihat akibatnya pada Pak Bing, pada kita.”
“Tenang aja The, Pak Bing takkan jadi gila karena ini. Dan kau, bukannya kau lebih suka kalau Pak Bing tidak mengajar?” ejeknya telak, aku Cuma bisa nyengir.
“Tapi tetap saja kau jahat! Kau yang harus bertanggung jawab!”
“Pastilah The, Taura bukan orang yang akan cuci tangan begitu saja usai berbuat. Lalu, apakah kau akan mengadu The?” pertanyaan Taura kedengarannya lebih mirip ancaman.
Dan bukannya aku takut jika aku tidak menjawab. Tapi aku Cuma khawatir, kalau aku mengadu, Taura akan marah dan lalu tidak memberiku contekan pelajaran yang berhubungan dengan angka. Bisa-bisa aku dilecut rotan bapakku kalau sampai pelajaran eksaktaku dapat 6 di raport. Dan taura adalah salah satu dewa penolong yang akan dengan senang hati memperklihatkan jawabannya padaku ketika ulangan.
Lagipula aku penasaran dengan kejutan yang dia rencanakan. Taura selalu memiliki ide-ide unik yang menurut orang lain didefinisikan sebagai kebandelan. Padahal sebenranya ia bukan anak nakal, memang dia suka bolos, tidur ketika diajar, mengganggu tema-teman perempuan. Padahal sebenarya Taura tidak seburuk itu. Kadang aku kasihan Taura dicap sedemikian negative, sedangkan kelakuannya adalah kompensasi untuk mencari perhatian. Taura tidak punya orang tua lagi. Sebenarnya punya, tapi Taura tidak menganggapnya karena mereka pergi begitu saja meninggalkan Taura yang lahir sebelum pernikahan mereka, karena malu, mereka pergi begitu saja, meninggalkan Taura pada pamannya yang buta dan punya tiga anak. Pamannya tidak bekerja, istrinya hanya buruh tani biasa yang tak berpenghasilan. Jadi Taura sering terpaksa tidak masuk sekolah karena membantu mencari nafkah, sekedar mencarikan rumput ternak tetangga atau burruh mencangkul sawah orang. Ia hanya menceritakan ini padaku, ia percaya padaku.
Maka diam-diam aku mengidolakan Taura. Meski hidupnya susah begitu dia tetap santai menjalaninya, malah memacu semangatnya untuk maju. Dia tahu dia dianugerahi otak yang lumayan bisa diandalkan, dan dia ingin bisa memanfaatkan itu. Dan satu hal yang selalu membuatku heran, betapa pulasnya Taura tertidur ketika diajar, ketika tiba-tiba guru berteriak memanggil namanya, bertanya tentang materi yang baru saja diberikan, ia bisa dengan lancar menjawab. Para guru renjananya diaduk-aduk olehnya, kesal campur keki.
“The, awas ya kalau kau sampai mengadu.” Dia mengancam dengan sebenarnya, aku menggeleng. “Tapi besok kau harus memberiku contekan kimia.”
“Tidak mau.”
“Kalau tidak mau, aku akan mengadu, biar diskorsing kau olah Pak Bing.” Ganti aku yang mengancam. Tapi sepertinya Taura tak gentar. Teman sekampungu itu mendekatiku, meninju lenganku.
“Aku tak mau mencontekimu lagi mulai sekarang. Tapi aku akan mengajarimu sampai kau bisa, karena suatu saat nanti kau akan berdiri tanpaku. Tak selamanya aku menemanimu, oke?”
Aku lega, kupikir dia mau bicara apa.
“Aku kadang heran, terbuat dari apa otakmu hingga bisa sejenius itu.”
“Malah aku yang seharusnya heran, terbuat dari apa otakmu The hingga kau sebebal itu.”
Kami terbahak-bahak jadinya.
“Tapi benar kau jangan merusak rencanaku ya, aku ingin membuat kenangan untuk Pak Bing sebelum kita lulus.”
“Oke bos!”.
Jadinya aku tutup mulut, meski aku tersiksa. Merasa begitu jahat pada Pak Bing karena berkomplot dengann taura. Memang aku tak suka diajar pak Bing, tapi itu bukan karena orangnya, melainkan pelajarannya.
Pak Bing, yang kebetulan juga wali kelas kami di kelas III ini orangnya menyenankan, selalu bisa membuat pelajaran matematika lebih mudah dipahami (itu sih kata teman-tenan, bagiku tetap saja sulit, karena akunya yang memiliki keterbatasan otak) beliau berasal dari Sumatera Selatan, Lubuk Linggau tepatnya. Ditugaskan di salah satu kecamatan di Lamongan. Beliau menikah dengan Bu Hanum, guru geografi di SMPku dulu
Sepeda Pak Bing hilang raib dari parkiran. Itu berita yang beredar seminggu lalu. Dan sejak itu pak Bing sepertinya emosi, uring-uringann, tepatnya depresi. Kalau tidak diam mematung, marah-marah saja kerjanya, dan begitu kejamnya memberi kami begitu banyak soal utnuk dikerjakan. Pendeknya Pak Bing berubah, candanya hilang tak berbekas.
Dan Taura, dialah pencuri sepeda itu. Itulah yang dikatankannya padaku hingga aku terkejut bukan kepalang. Ide taura benar-benar gila! Sadis malah. Karena semua orang di sekolah ini tahu Pak Bing sangat mencintai sepeda itu lebih dari dirinya sendiri. Beliau selalu memakai sepeda itu ke sekolah padahal beliau punya 2 mobil di rumah. Sedang jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, sekitar 7 km. Pak Bing pernah bercerita kalau sepeda itu bagaikan nyawanya sendiri, karena sepedanya itu dibawanya dari tanah kelahirannya, warisan turun temurun. Sepeda itu sudah menemaninya sekian tahun bahkan sejak ia belum diangkat sebagai pegawai negeri, jadi sudah seharusnya sepeda itu dirawat baik-baik. Itulah kenapa, ketika sepeda itu hilang Pak Bing seolah kehilangan mustika.
Taura memang nakal. Andai Pak Bing tahun kalau dia pelakunya. Bisa-bisa dibunuhnya taura. Kemudian aku tahu apa kejutan yang dikatakan Taura, ada lomba sepeda antik di kabupaten, dia menyuruh kesana. Dia bertaruh Pak Bing akan datang juga.
Dan selanjutnya, aku dibuat terperangah menyaksikan Taura sebagai salah satu peserta lomba yang harus berarak pawai keliling kota. Bisa ditebak, sepeda siapa yang dipakai. Sepeda Pak Bing!!!
Besoknya kelasku heboh. Taura masuk sekolah dengan wajah dipenuhi lebam-lebam. Semua teman tahu (dari cerita mulut ke mulut) kalau Pak Bing marah besar. Ketika pawai selesai, ia menghampiri Taura, menempelengya lima kali lalu mengambil sepedanya dan pergi. Taura hanya diam, ia tahu ia salah. Ia Cuma tak menduga pak Bing akan semarah itu. Taura mengatakan pak Bing mengancamnya tidak akan meluluskannya.
Taura menangis. Baru kali ini kulihat Taura sesedih ini. Bahkan Pak Bing melarang Taura mengikuti pelajarannya hari ini, sepertinya beliau takkan bisa memaafkan kesalahan yang dibuat Taura, padahal ia tahu, dalam lomba itu Taura jadi pemenang nomor satu yang berhak membawa uang satu juta. Ketika Taura hendak meninggalkan kelas ia berbisik, “Bilang paman, aku ke perpustakaan”
Tentu saja aku tak berani bertanya-tanya. Pak Bing memelototiku dari depan kelas, bisa-bisa aku ikut kena damprat
Akibatnya hari ini aku mengerjakan soal-soal tanpa Taura. Ini pertama kalinya aku bisa. Sunggguh, aku harus berteimakasih padanya sudah mengajariku selama ini. Nanti sore kalau dia datang mengajariku seperti biasa, aku akan menunjukkan padanya bahwa otakku mulai bisa diajak kompromi dengan angka-anga. Tapi sore itu Taura datang bukan untuk mengajariku, tapi mengajakku ke rumah Pak Bing.
“Aku mau minta maaf pada beliau.”
“Kau yakin akan dimaafkam?”
“Pasti.” Dia optimis. “Pak Bing terluka karean sepedanya kuambil tanpa ijin padahal sepeda itu warisan leluhur. Maka aku harus meluluhkan beliau dengan melakukan hal yang sama, mengingatkan pak Bing pada warisan leluhurnya, tanah keahirannya.”
“Kau dapat teori darimana?”
“Ah, itu bukan teori, tapi secara psikologis, seseorang akan keluar empatinya jika berada di suasana seperti rumah sendiri. Bayangkan jika kau berada di Amerika selama 3 bulan, tak pernah merasakan sambal boranan. Sekalinya ada, bagaimana rasanya?”
“Pasti lezat banget!”
“Nah, bukannya Pak Bing sudah hamper seperempat abad di Lamongan, dia cerita kalau dia jarang pulang ke Lubuk Linggau kan?”
“Maksudnya?” aku benar-benar bingung, apa hubungan sambal boranan dengan Pak Bing? Kadang jalan pikiran Taura sulit kupahami, lenih sulit dari soal-soal logaritma.
“Ah, The, ternyata tak berkurang juga bebalmu. Ah, sudahlah, kau nanti ikut saja.”
Ternyata kita tak hanya berdua ke rumah pak Bing, tapi bertiga dengan paman Taura. Kami membawa beras, gula, rokok untuk Pak Bing. Tak lupa uang satu juta, hadiah menang lomba.
“Apa kau hendak melamar Bu hanum? Sudah benar-benar gila kau!”
“Ini namanya punjung mentah The. Semoga Pak Bing menerimanya.” Taura tersenyum penuh harap. “Begini The, ini adat suku Terawas. Suku pak Bing. Jika ada pertikaian, maka adat inilah yang harus diambil sebagai jalan damai. Pihak yang merasa salah harus menghantarkan barang-barang semacam ini sebagai tanda penyesalan.”
Oh oh oh… Taura yang nyentrik! Ternyata dia ke perpustakaan umum untuk mempelajari adat suku Pak Bing? Dan ajaibnya ide nyentrik Taura selalu manjur!
Awalnya Pak Bing memasang muka masam ketika paman Taura menyatakan maksudnya, sampai-sampai laki-laki buta itu memohon. Tapi ketika Taura yang tegas berbicara menyinggung adat-adat perdamaian, seketika wajah pak Bing berubah. Sepertinya beliau terkesan, tepatnya terharu.
“Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud…”
“Sudahlah, itu hanya kesalahan kecil. Itu mengapa aku tidak melaporkanmu ke polisi. Aku tahu kau sebenarnya cerdas, sangat disayangkan kau berbuat sesuatu yang tidak pantas. Lain kali jangan kau ulangi, aku tidak sudi punya murid seorang pencuri.”
Lalu kulihat Taura menggeser duduknya, kupikir hendak minta diri, tapi tidak. Ia mengambil bungksan kecil dari sakunya, bubuk putih dalam plastic. Ia sedikit malu-malu saat bicara. Pak dan Bu Bing berpandangan, lalu memandangku seolah bertanya. Aku salah tingkah, memandang taura.
“saya juga baca Pak, setelah dua pihak bertikai, mereka akan saling melulur wajah dengan tepung tawar. Nah, saya tidak tahu saya harus membelinya dimana disini, jadi saya bawa kanji saja.”
Tiba-tiba Pak Bing tertawa lebar, pun Bu Bing. Taura keki. Paman bingung dalam ketidak tahuannya. Aku ikut tertawa meski tak tahu dimana letak kelucuannya. Masih tergelak-gelak pak Bing mengambil sejumput kanji, lalu melumurkannya ke wajah Taura.
”Ah, aku tak sangka memiliki murid secerdik kau Taura.”
Taura sedikit ragu, tapi segera ia lakukan apa yang diminta Pak Bing. Ia mengusapkan kanji ke wajah gurunya itu. Dua wajah putih tertawa, lalu tak sabar Pak Bing memeluk taura. Aku dan Bu Bing tersenyum, damai.
“Andai saya punya bapak seperti Pak Bing.” Taura nyeletuk. Saat kulihat ia melepaskan diri dari pelukan Pak Bing, kulihat ia menangis. Ini yang kedua kulihat Taura menangis.
*****
“Apa kau menangis The? Kenapa?”
Aku mengusap mataku yang agak basah, tersipu-sipu pada Pak Bing yang menyadarkanku kalau aku masih di ruang tamunya.
“Ah, hanya ingat masa lalu pak. Andai saya dulu mengindahkan nasehat bapak, belajar matematika, takkan jadi seperti ini saya.”
“Lho, bukannya kau sudah enak sekarang?”
“Wartawan kan pekerjaan orang kurang kerjaan pak,”
“Jangan merendah begitu. Kerja apapun asal halal dan dekat dengan tanah kelahiran akan sangat membahagiakan. Jangan macam Taura. Sudah enak dia sekarang, sudah lupa dengan orang tua dan Negara.” Pak Bing menerawang,”Padahal aku sudah ingin punya cucu. Meski bukan cucuku sendiri.”
Pak Bing memang tidak punya keturunan dengan Bu Hanum, hanya satu, Taura. Beliau mengangkat Taura sebagai anak semenjak peristiwa tepung tawar yang mengharu biru itu. Taura dibiayainya hingga ke perguruan tinggi, sekarang ia sedang menempuh S3 di California. “Kau masih sering berhubungan dengan Taura The? Kau teman akrabnya bukan?”
Tiba-tiba aku merasa harus segera menyudahi ini.
“Ya, karena itulah saya kemari pak. Taura menitipkan sebuah surat untuk bapak.”
“Surat?”
Kuulurkan amplop itu, putih warnanya, seputih wajah Taura yang dating padaku. Ia terkena sirosis, satu hal yang tak pernah dia katakana pada ayah angkatnya. Ia terlalu payah mengejar disertasinya. Ia ke rumahku seminggu lalu, meninggal dengan damai di kamar kostku. Ia melarangku memberi tahu pak Bing, takut membuatnya shock, tapi ia menitipkan surat terakhirnya padaku.
Tak perlu kuceritakan lagi itu pada Pak Bing, pasti taura sudah menulisnya dalam suratnya. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus kusampaikan, sebungkus tepung tawar yang dibawa Taura langsung dari tanah kelahiran Pak Bing.
“Taura sempat ke Lubuk Linggau sebelum ia pergi. Ia bertemu dengan keluarga Bapak dan meminta ini.Katanya peristiwa yang dulu belum afdol kalau hanya memakai kanji, jadi sekarang ia berikan tepung tawar yang asli. Sekali lagi ia minta maaf, semoga Pak Bing berkenan.”
Pak Bing berkaca-kaca. Ia meletakkan suratnya, menjumput tepung dan mengusapkannya ke wajahnya. Adegan 15 tahun lalu terulang, tapi tanpa Taura.
“Aku selalu memaafkanmu anakku.” Desahnya diantara isak yang tertahan. Tepat saai itu ponselku menjerit.
“Maaf pak, pekerjaan menunggu, saya minta diri.”
“Ah, ya The. Tapi secepatnya kau luangkan waktumu. Temani aku ke makam Taura.”
“Ya Pak saya usahakan.”
“Terima kasih The.”
“Ya pak, maaf tak bisa lama-lama.”
Jika lama-lama aku bisa ikut menangis!
Usai kujabat tangan Pak Bing yang mulai mengeriput dimakan usia, kutinggalkan rumah itu. Aku lega, sudah kusampaikan amanat Taura, semoga ia bisa tenang disisiNya.
Senin, 16 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Welcome Back to Neverland!!!
Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...
-
Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menul...
-
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba m...
-
Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kol...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar