Senin, 16 Agustus 2010

NEON NEON AMPERA

NEON-NEON AMPERA

Bowo masih disana, semalam sebelum Januari lembar pertama.
Jelanglah detik pergantian tahun di Ampera, kau akan saksikan Neon-Neon Kota Palembang gemerlap bak manik-manik malam. Di bawahmu, Musi bertabur pelita perahu mondar-mandir serupa kunang-kunang. Sekelilingmu, jubelan manusia yang percaya keajaiban Ampera. Mereka berebut melempar koin ke sungai. Boleh percaya, boleh tidak, jika kau beruntung, koin itu akan menggiring permintaanmu agar terkabul.
“Mitos,” Tin remeh bila Bowo mengagungkan Amperanya. Meski begitu tetap tangannya merogoh dalam tas, lalu jemarinya yang berpacar kuku ungu itu muncul lagi dengan segenggam koin.
Pyur! bila menyentuh cermin air, logam bundar itu berkilau terkena bulan dan Neon-Neon Ampera. Lalu Tin akan berpejam mata sambil telapak tangannya bertemundi dada, khusyu’.
“Kau minta apa?”
“Lulus tes guru kontrak,” mendengarnya Bowo tertegun, itu bukan suara Tin, tak ada Tin, Cuma laki-laki asing di sisi kiri.
“Dan kau?” terlanjur, agar adil ia tanya pula sisi kanan.
“Togelku tembus.”
“Gila! apa kalian belum tahu? Ampera kini lagi tak bertuah.” Persuasinya ironis, mencoba menyimpangkan kepercayaan mereka agar serupa dirinya yang merasa terkhianati Ampera. Tapi yang diajak bicara cuma berpandangan satu sama lain. Kembang api muncrat di udara, merah, kuning, biru, ungu. Ungu warna favorit Tin, sapu tangannya selalu ungu.
“Setiap tahun aku kesini, berharap Ampera merestui cintaku, nyatanya, ia meninggalkanku.”
Oh, dan pahamlah kenapa Bowo begitu. Dua orang itu tahu, semua juga tahu, manusia yang sedang dilanda fanatisme cinta, yang tidak lebih dari sekedar adesi hormon-hormon yang meminta pemuasan usai pubertas, kadang tak bisa membedakan, mana rasio, mana emosi.
“Kenapa? karena kau pengangguran?” Bowo menggeleng.
“Preman, pecandu, gigo….”
“Aku sarjana, reputasiku terjamin!” sambar Bowo cepat menampik dugaan yang kian negatif. “Aku punya mobil, rumah, dan itu halal.”
“Ah, aku tahu, kau pasti impotent.” Laki-laki di sisi kanan tertawa geli, yang di sisi kiri angkat bahu, sekedar setuju.
“Aku normal, puber usia 9 tahun.”
“Kau maniak, masokisme, sadisme, voyeurisme…?”
“Gila apa! aku sehat! jasmani rohani!”
“Nah, itu dia! kau gila!”
“Gila! Aku gila!” Bowo tercenung, seolah berpikir tentang definisi gila. Dan kembali kembang api muncrat di langit Palembang. Neon-Neon Ampera kalah pamor.
“Aku tidak gila, Cuma kesepian.” Desisnya kemudian sambil menatap percik ungu di angkasa. Ungu lagi, kenapa harus warna itu bila tidak ada pemujanya disini, dan andai ada Tin, tentu ia tak kesepian. Padahal malam tahun baru Ampera serupa tengah hari di Labirin Enam Belas Ilir, terkurung dianntara pemilik bibir-bibir merah bergincu dan coklat bernikotin yang tiada jemu mencipta morfrm kebahasan Humani.
“Sungguh kau tak marah bila aku menikah?” Tin masih bersamanya, seminggu lalu menghabiskan senja berlangit Jingga di Ampera, dan ia tak bersuara. Katanya cinta itu butuh pengorbanan, bahkan Shakespeare menulis, and age in love not to have years told, tak selamanya cinta itu saling memiliki. Klise, karena muncul setelah pengorbanan adalah kebencian dan bisakah benci dan cinta bersatu?
“Kau cinta aku?” Tanyanya pahit, dan Tin mengelus rambutnya.
“Tentu, bila tidak, untuk apa setiap tahun aku pulang bersamamu ke Ampera, bukankah lebih menyenangkan lesehan di Malioboro.” Bowo jadi ingat Malioboro kencan pertama, UGM, gudeg, keratin, bagaimanapun, sosok berambut ikal bulat didepannya ini lebih mewakili Yogyakarta dibanding semuanya. “Dan, andai bisa kupinta, aku ingin kita kawin lari saja.” Ditatapnya bola-bola kejora gadis jawa itu, ada pias yang sulit diterjemahkan, tapi ketika mulai ada kaca-kaca di sana, Bowo tak tahan untuk tidak mendamaikannya dalam pelukan.
“Tapi kehidupanku bukan hanya sekarang. Bakaku menanti fanaku, sebagai anak aku tak ingin disebut durhaka.” Papar Tin sok religius, padahal setelahnya ia malah menempelkan plat munafik di dahinya sendiri karena malam itu, sepulang Ampera, ia mengajak Bowo bercinta, esoknya, esoknya lagi.
Empat malam menjelang tahun baru, Bowo kehabisan rasa percaya diri. Negoisasi dengan kepercayaan itu sendiri telah tak menggairahkan karena tercemari ide keposesivan yang menumbuhkan pemberontakan dalam Id-nya, meski telah sempat ia cicipi wewangian yang ditawarkan makhluk sebangsa hawa itu.
“Aku juga sayang kau Tin, tapi aku tak takut dosa.” Bowo meraba sakunya, mencari koin sisa telepon, masih tersisa secuil percayanya pada Ampera, mungkin masih tersisa juga cinta pada Tin. Dua hari lagi pernikahan Tin digelar, pasti semua orang sibuk mencari putri pingitannya itu, dan Bowo berani bertaruh, mereka takkan menemukannya kecuali Musi dipompa habis airnya.
“Hei, kau bilang Ampera tak lagi bertuah.” Bowo menoleh. Laki-laki di kanannya rupanya, ia seolah mengingatkan kalau Bowo menjilat ludahnya sendiri, tapi pandangannya seolah memastikan kalau Bowo benar-benar gila.
“Memang, tapi bukan berarti aku tak meminta.”
“Apa yang kau minta?”
“Mudah, aku ingin polisi tidak menangkapku, sebab telah kubunuh pacarku dan kutenggelamkan Tin di bawah sana. Mungkin esok atau lusa orang-orang akan menemukannya dan mengira ia bunuh diri atau over dosis. Is stress karena akan dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki yang bahkan tak pernah dikenal sebelumnya.” Bowo enteng, sambil dikeluarkannya selembar sapu tangan dan botol plastic wadah obat. Ia menciumnya mesra. Sapu tangan itu bernoda, kenangan saat memetik bunga pertama Tin, dan obat itu, sisa yang belum sempat dijejalkan ke mulut gadis itu, “Kutambahkan ini, pasti lebih cepat terkabul.”
Dan meluncurkan 2 benda bersejarah itu ke sungai Musi yang segera menyambutnya dalam gelombang yang meriakkan bayangan bulan dan Neon-Neon Ampera. Bowo melepas nafas lega. Laki-laki di kanannya geleng-geleng kepala.
“Gila.”
“Aku memang gila.” Bowo tersenyum menepuk pundaknya,” semoga kau cepat kaya, pasanglah nomor ini 10, 01, 19, 80, utak-atiklah sendiri, pasti menang.” Dan segera Bowo mengambil langkah. Yang ditinggal menggumakan angka-angka yang didengarnya barusan dan tersenyum penuh harap. Sementara Bowo berharap melupakan angka itu, ulang tahun Tin.
Beberapa detiklagi pergantian tahun. Kembang api semakin ceria ditingkah hiruk pikuk manusia. Koin-koin berkilau, seiring jeritan terompet-terompet parau yang menggelitik indra dengar.
Lima …. Empat…. semua mata menatap langit, merah, kuning, biru, ungu, sepertinya tak ada yang buta hitung malam ini.
Tiga … dalam kilau Neon-Neon Ampera, permukaan Mulai pecah ketika timbul tenggelam seraut wajah yang seolah memantang bulan, rambutnya ikal cantik.
Dua …. Matanya bulan cantik, bergaun ungu, ungu warna kesayangan Tin, Tin gadis kesayangan Bowo.
Satu … selamat datang 2003-ku, selamat jalan Tin-ku.
Bowo terus berjalan. Ia tersenyum. Ia terpuaskan.


Buat Bowo, maaf, sad ending!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome Back to Neverland!!!

Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...