Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menulis juga soal anak-anak. senang sekali jika bisa menciptakan kelas yang menyenangkan buat mereka. jadi......... akan selalu ada dokumentasi dalam kegiatan mereka. serius, tapi santai......
kadang, puas sekali jika bisa memasuki dunia mereka tapi lalu membawa mereka ke dunia kita.
tak banyak kata.... bingung sendiri kalau menulis yang beginian. mending klik aja yang lainnya, oke..... bye.
Minggu, 26 September 2010
kalau anak SMA KARANGBINANGUN KELAS X4 2009-2010 belajar membuat origami????
iseng sih... tiba-tiba muncul ide untuk menjadikan origami sebagai materi text prosedure buat anak-anak kelas X. mungkin agak sulit karena belum pernah mengajar kelas X sebelumnya, tapi ternyata ide juga selalu muncul untuk membuat anak-anak betah di kelas, karena selalu ada kebebasan untuk berkreasi.
siswa X4.......lumayan gamoang diatur,
pertama, buat beberapa kelompok siswa, tiap kelompok mungkin berisi 4 sampai 5 siswa. sediakan kertas lipat warna-warni, dan tulis beberapa macam origami di papan, misal burung merak, katak, kucing, dan lain-lain.
mereka sudah cukup antusias dengan pembagian kelompok dan pilihan origaminya. setelah itu bolehlah kertas lipat warna-warni dibagikan. mungkin situasi di kelas akan terkesan seperti di TK, anak-anak yang ribut dengan lipat melipat kertas.
tapi.... tentu saja kegiatan ini adalah kegiatan bersyarat. mereka toh tidak hanya akan melipat origaminya, tapi juga harus menulis langkah-langkah dalam melipat sebagai STEPS. bukan hanya itu, setelah mereka menuliskannya, mereka juga harus menceritakannya sebagai sebuah monolog di depan kelas. dan memperagakan bagaiman membuat origami tersebut.
Nah, pembelajaran sebuah text prosedur, dengan susunan generic structure GOAL, MATERIAL dan STEPS bisa dipelajari dalam kegiatan berikut. silahkan dicobaaa......
siswa X4.......lumayan gamoang diatur,
pertama, buat beberapa kelompok siswa, tiap kelompok mungkin berisi 4 sampai 5 siswa. sediakan kertas lipat warna-warni, dan tulis beberapa macam origami di papan, misal burung merak, katak, kucing, dan lain-lain.
mereka sudah cukup antusias dengan pembagian kelompok dan pilihan origaminya. setelah itu bolehlah kertas lipat warna-warni dibagikan. mungkin situasi di kelas akan terkesan seperti di TK, anak-anak yang ribut dengan lipat melipat kertas.
tapi.... tentu saja kegiatan ini adalah kegiatan bersyarat. mereka toh tidak hanya akan melipat origaminya, tapi juga harus menulis langkah-langkah dalam melipat sebagai STEPS. bukan hanya itu, setelah mereka menuliskannya, mereka juga harus menceritakannya sebagai sebuah monolog di depan kelas. dan memperagakan bagaiman membuat origami tersebut.
Nah, pembelajaran sebuah text prosedur, dengan susunan generic structure GOAL, MATERIAL dan STEPS bisa dipelajari dalam kegiatan berikut. silahkan dicobaaa......
Rabu, 15 September 2010
KACAMATA CLEOPATRA
Kupoleskan lip ice colour kissing orange sebagai finishing touch, mentholatumnya menyegarkan. Perlahan warna orange lembut membias di bibirku, serasi dengan bolero rajut harajukuku. Masih pukul 18.50, Theo janji menjemputku tepat pukul 19.00. Masih ada 10 menit lagi waktuku mematut diri. Si mata elang itu mengajakku menghadiri ulang tahun ketua kelasnya.
Sekali lagi kupandang cermin yang membingkai seraut wajah dengan rambut ala Cleopatra. Tapi sepertinya ia tak secantik Cleopatra dalam sejarah. Wajahnya datar, tak secuil senyum menghiasi bibirnya yang bersemu orange. Wajah itu mencoba tersenyum tapi sepertinya tak rela. Bahkan ketika memaksakan diri hingga gigi gemerutukpun sang senyum masih enggan, yang muncul malah sebuah seringaian menakutkan Jangan-jangan Cleopatra sudah berevolusi menjadi medusa.
Ini pasti gara-gara benda itu, yang membuat sang Cleopatra hilang wibawa, rasa bangga yang selalu mencuat setiap kali orang-orang memuji betapa lentiknya matanya.
Aku benci wajah itu! Mengenakan benda itu seolah mengalungkan beban seberat 10 ton ke leherku. Aku benci kacamata! Ia membuatku merasa menjadi Bety La Fea, si lugu, bo’on, kuper, katrok, bla bla bla lain-lain sederet predikat menyebalkan.
“Pakai lensa kontak aja pa, aku ogah pakai kacamata. Aku kan pikun, bisa-bisa aku bakal lupa naruhnya,” tolakku ketika papa mengajakku memilih kacamata di optik langganannya.
“Itu masalahnya, karena kamu pelupa maka sebaiknya pakai kacamata saja. Bayangkan, kalau kamu pakai lensa kontak, terus kamu lupa mencopotnya sebelum tidur, bisa-bisa malah infeksi.”
“Tapi nanti kalau aku lupa naruh kacamatanya?”
“Kasih rantai saja, kaya bu Hebrink di TV itu, beres!”
Ogah! Tapi tetap saja aku kalah. Papa tetap membelikanku kacamata. Kata dokter, mata kanan dan kiriku sama-sama minus 3. Sebenarnya aku tidak pernah mengeluh tentang mataku tapi papa curiga pada hobi baruku, dekat-dekat dengan layar TV kalau ada film yang pakai terjemahan, dan mengkonsumsi jus wortel 3x sehari. Beliau memaksaku periksa. Hasilnya sebuah kacamata berframe cokelat muda bertengger di wajahku, Cleopatra berkacamata.
“Cleo!” Nah, suara mama, pasti Theo sudah datang. Oh ya, sebaiknya jangan heran kalau mama memanggilku Cleo, karena namaku memang Cleopatra. Aku lahir 5 tahun setelah papa mama menikah. Mereka menginginkan aku nantinya secantik pharaoh itu. Padahal menurutku masih banyak perempuan cantik selain Cleopatra, Lady Diana atau Jessica Alba misalnya, tapi mama ngeyel menamaiku Cleopatra. Alasannya, Cleopatra adalah lambang kesetiaan. Well, aku bangga menyandang nama besar itu. Tentu saja sebelum aku berkacamata.
“Cleo!” seruan mama kedua kali. Sekali lagi kutatap cermin. Wajah di sana tersenyum ceria. Cleopatra tanpa kacamata. Mark Antony, eh, Dimas Theo tak boleh menunggu lama-lama. Di ruang tamu ku kapten basket itu menatapku takjub, membuatku blingsatan, taruhan wajahku pasti merah.
“Wow, ratuku cantik! Lho, kacamatanya mana?”
“Gak usah pakai ah, ribet!”
“Pakai saja. Aku suka kamu pakai kacamata, kesannya, kamu gadis yang pintar.
“Kamu mau membandingkan aku dengan Nana?” Nana itu teman sekelasku. Si bintang kelas, murid teladan, si ekor kuda berkacamata. Theo tertawa lebar.
“Buah jambu buah semangka”
“Ih apa’an sih, malah berpantun”
“Ratuku tetaplah sang Cleopatra”
“Awas kalau kamu macam-macam!”
Theo nyengir. Tapi malam itu, demi Mark “Dimas Theo” Anthony, Cleopatra ikhlas berkacamata.
*****
Aku mondar-mandir. Ruang kelas ke ruang ganti, ke kantin, bolak-balik aku bongkar isi tas dan lokerku. Theo membuntutiku seperti kacung sambil menggerutu panjang lebar. Amnesia temporariku kambuh. Aku lupa menaruh kacamataku dimana.
“Capek aku Cleo! Coba kamu ingat-ingat lagi dimana menaruhnya tadi.”
Kugaruh kepalaku yang tidak gatal. Seolah bisa menguatkan kerja otakku menggali memori, tapi ingatanku terbatas pada jam pertama ada materi Speaking dibab. Bahasa dan jam ke 3 Olahraga. Seingatku sebelum main basket, aku menaruhnya di kotaknya, di tas. Tapi, ternyata sekarang benda itu tak ada. “Jangan-jangan di Lab. Biasanya kamu ribet melepas kacamata kalau pakai headset.” Biasanya aku malah ga pake kacamata kalau ke Lab Bahasa. Sebulan berkacamata, aku masih gerah memakainya paling kalau ada menulis atau ke kantin.
“Ya sudah, kita ke Lab saja”
Masih mengenakan seragam olahragaku dan Theo yang mengorbankan pelajaran Matematikanya demi menemaniku, kita menuju Lab. Sepertinya tidak ada kegiatan siswa disana, tapi pintu Lab terbuka, muncul Pak Hari, laboran Lab Bahasa, Nana dibelakangnya.
“Cleo ada yang ketinggalan juga? Kenapa anak muda sekarang hobi pikun ya”tusk Pak hari.
“Nana ketinggalan apa Pak?” tapi sepertinya pertanyaanku tak perlu jawaban karena aku tahu Nana sedang memegang sebuah benda, kacamataku, “Lho, itukan kacamataku. Bener juga ketinggalan di Lab,” kuambil kacamata itu dari tangan Nana.
“Tapi Cleo, itu kacamataku,” bantah Nana hendak mengambil kacamata itu kembali, tapi aku menepisnya.
“Punyaku Na, warnanya, mereknya, punyaku,”
“Cleo, tadi kacamatanya ada di meja Nana” Pak Hari angkat bicara.
“Tapi Pak, kacamata yang ini asli, yang punya Nana pasti tiruannya,”
Tiba-tiba Nana tertegun memandangku, lalu mencoba tersenyum.
“Ya sudah, ma’af ya Cleo,” si ekor kuda itu berbalik dan langsung melangkah, pun Pak Hari.Segera kupakai kacamataku, lalu kusadari Theo masih disana terdiam.
“Kenapa?”
“Kamu kok gitu, seolah-olah kalimatmu tadi menyiratkan kalau Nana takkan mampu membeli kacamata yang sama dengan kacamatamu,”
“Tapi Theo, kacamata ini memang mahal, sementara kita tahu, bagaimana kehidupan Nana, Ayahnya sakit, ibunya tukang cuci, SPPnya saja selalu telat, jadi mana mungkin dia mampu kalau yang tiruannya sih mungkin.”
“Tapi sebaiknya kamu minta ma’af pada Nana, ia pasti tersinggung.”
“Gak mau, aku tidak salah kok.”
“Awas lho, jangan sampai kamu menyesal karena rasa bersalah berkepanjangan, lalu bunuh diri seperti Cleopatra yang asli.”
“Memang Cleopatra mati bunuh diri ya?” tanyaku polos.
“Ya, dia sengaja membiarkan dirinya dipatuk ular berbisa. Apa kau mau aku mencarikan ular berbisa buatmu. Secepatnya aku menghubungi Panji Si Pawang Buaya itu.”
“Akh! Kamu jahat!” Theo berlari menghindariku yang hendak menjitaknya. Aku mengejarnya ke kelasku, lalu mencubitinya gemes. Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa Cleo?
“Kepalaku pusing.”
*****
Sore itu hujan rintik-rintik ketika aku pulang dari tempat praktek Dokter mata. Papa menyuruhku periksa lagi. Jangan-jangan minusku bertambah karena aku selalu merasakan pusing semingguan ini jika mengenakan kacamataku. Bisa jadi itu karena ukurannya sudah tidak sesuai lagi dengan minusku. Tapi Dokternya sedang ada operasi, jadi prakteknya tutup.
Habis maghrib aku berniat membaca Buku tiga serial Percy Jackson dan Dewa Dewi Olympia, tapi baru sampai di halaman ke dua, pusing menyerangku lagi. Tiba-tiba aku ingat, sering pusing adalah tanda-tanda tumor otak, hiks……jangan-jangan……
“Theo ….. hiks……” tak tertahankan sedihku segera kutelpon Theo.
“Lho, ada apa? Telepon kok nangis?” Diseberang Theo bingung.
“Jangan-jangan aku pusing-pusing karena tumor otak deh. Hidupku tak lama lagi.”
“Hush. Aneh-aneh saja. Itu gara-gara kamu malas pakai kacamata.”
“Kan aku sudah pakai terus.”
“Jangan-jangan itu memang kacamata Nana, jadi kamu tidak cocok.”
“Mungkin….” Jujur semingguan ini sejak kejadian di Lab, aku memang agak ga enak pada Nana. Aku tak yakin aku meninggalkan kacamataku di Lab, meski sampai sekarang aku belum tahu keberadaan kacamataku. Satu hal lagi, Nana tidak pakai kacamata setelah kejadian itu. Jadi mungkin kacamata ini memang miliknya. “Theo….” Aku ragu.
“Ya.”
“Besok antar aku ke rumah Nana ya”
“Lho, bukannya kamu ketemu dia tiap hari?”
“Dia sudah tidak masuk sekolah 2 hari ini, sakit.”
“Siip.”
HUFFhh. Lega aku, semoga ini benar-benar kacamata Nana, sepertinya lensanya memang lebih tebal dari milikku. Tapi dimana kacamataku ya,bisa-bisa Papa marah besar kalau kacamata itu benar-benar hilang.
“Cleo, ada temanmu” tiba-tiba Mama muncul di pintu kamarku.
“Siapa Ma?”
“Nana”
“Nana?” echoku dengan nada tak percaya.
“Cepat keluar, dia tidak mau masuk, katanya sedang tergesa-gesa.”
Aku buru-buru berlari ke depan, dan menemukan Nana dengan baju setengah basah. Hujan masih gerimis satu-satu.
“Nana? Ayo masuk dulu, kamu ga bawa payung?”
“Tidak Cleo, aku terburu-buru. Aku cuma mau mengembalikan ini” Nana menyorongkan sesuatu padaku.
“Kacamatamu.”
“Kemataku maksudnya.”
“Ya, itu kacamataku kamu meninggalkannya dikantin, tapi Mbah kantin mengira itu punyaku, jadi ia menyimpannya, sementara yang di Lab, itu memang kacamataku. Maaf ya Cleo, tanpa sengaja kemarin saat aku mencobanya jatuh, kacanya pecah, tapi sudah kuganti kok. Ternyata memang kacamata kita sama Framenya. Dokter Ravi yang menghadiahkan padaku, ibuku juga padanya. Coba saja Cleo.”
“Dokter Ravi? Itu dokterku juga” menuruti kata Nana kupakai kacamata itu. Rasanya ringan, sepertinya ini memang kacamataku. “Bener Na, kacamataku. Pantesan aku selalu pusing kalau pakai kacamatamu, maaf ya kemarin kata-kataku agak kasar.”
“Tidak apa-apa, sudah biasa kok.”
“Ya sudah, sebentar kuambilkan kacamataku.”
“Tak usah Cleo. Sekarang aku tidak membutuhkannya lagi.”
“Matamu sembuh, kamu berobat dimana?” Nana tidak menjawab, hanya tersenyum.
“Aku pulang ya,” seperti dibius aku membiarkan Nana menghilang dibalik gerimis. Aku baru sadar ketika gerimis menderas dan setitik muncrat ke lensa kacamataku , benar-benar kacamataku.
*****
Pulang sekolah aku dan Theo langsung ke rumah Nana. Ada bendera kuning di mulut gang rumah Nana, kelihatannya ada yang baru saja berpulang. Dan didepan rumah Nana banyak orang berkumpul, jangan-jangan…….
Theo memarkir mobilnya agak jauh.
“Jangan-jangan ayah Nana, kamu turun duluan ya, aku nunggu disini dulu” Tanpa menjawab Theo segera turun dan menuju rumah Nana. Ia bercakap-cakap dengan seseorang disana sambil sekali-sekali memandang ke arahku. Tak sampai 3 menit dia sudah kembali.
“Siapa yang meninggal Theo?” Tanyaku tak sabar.
“Nana”
“Nana ?”
“Ya, dia kecelakaan kemarin, tabrakan mobil saat hendak menyeberang jalan dari apotik, menebus resep obatnya.” Pasti gara-gara dia tidak memakai kacamatanya. Ini salahku. “Ya sudah, kamu turun, kita kembalikan kacamata Nana, sekalian Takziah.”
Kurogoh tasku, mengambil kacamata Nana dalam kotak, kuberikan pada Theo.
“Lho, ini kacamata Nana? Lalu yang kamu pakai?”
“Ini kacamataku sendiri.”
“Baru? Atau kamu menemukannya di toilet rumahmu?”
“Tidak, Nana yang mengembalikannya. Katanya kacamataku tertinggal di kantin. Mbak kantin mengira itu punya Nana, jadi dikembalikan ke Nana.”
“Kapan Nana ke rumahmu?”
“Tadi sore, setelah aku telpon kamu,”
“Habis maghrib kan?” aku mengangguk , kulihat Theo menatapku miris, aneh,”
“Kenapa?”
“Nana meninggal setelah Ashar,”
Beberapa detik masih kulihat Theo bicara, tapi tak kudengar suaranya. Tiba-tiba semua berputar pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap hitam!
Sekali lagi kupandang cermin yang membingkai seraut wajah dengan rambut ala Cleopatra. Tapi sepertinya ia tak secantik Cleopatra dalam sejarah. Wajahnya datar, tak secuil senyum menghiasi bibirnya yang bersemu orange. Wajah itu mencoba tersenyum tapi sepertinya tak rela. Bahkan ketika memaksakan diri hingga gigi gemerutukpun sang senyum masih enggan, yang muncul malah sebuah seringaian menakutkan Jangan-jangan Cleopatra sudah berevolusi menjadi medusa.
Ini pasti gara-gara benda itu, yang membuat sang Cleopatra hilang wibawa, rasa bangga yang selalu mencuat setiap kali orang-orang memuji betapa lentiknya matanya.
Aku benci wajah itu! Mengenakan benda itu seolah mengalungkan beban seberat 10 ton ke leherku. Aku benci kacamata! Ia membuatku merasa menjadi Bety La Fea, si lugu, bo’on, kuper, katrok, bla bla bla lain-lain sederet predikat menyebalkan.
“Pakai lensa kontak aja pa, aku ogah pakai kacamata. Aku kan pikun, bisa-bisa aku bakal lupa naruhnya,” tolakku ketika papa mengajakku memilih kacamata di optik langganannya.
“Itu masalahnya, karena kamu pelupa maka sebaiknya pakai kacamata saja. Bayangkan, kalau kamu pakai lensa kontak, terus kamu lupa mencopotnya sebelum tidur, bisa-bisa malah infeksi.”
“Tapi nanti kalau aku lupa naruh kacamatanya?”
“Kasih rantai saja, kaya bu Hebrink di TV itu, beres!”
Ogah! Tapi tetap saja aku kalah. Papa tetap membelikanku kacamata. Kata dokter, mata kanan dan kiriku sama-sama minus 3. Sebenarnya aku tidak pernah mengeluh tentang mataku tapi papa curiga pada hobi baruku, dekat-dekat dengan layar TV kalau ada film yang pakai terjemahan, dan mengkonsumsi jus wortel 3x sehari. Beliau memaksaku periksa. Hasilnya sebuah kacamata berframe cokelat muda bertengger di wajahku, Cleopatra berkacamata.
“Cleo!” Nah, suara mama, pasti Theo sudah datang. Oh ya, sebaiknya jangan heran kalau mama memanggilku Cleo, karena namaku memang Cleopatra. Aku lahir 5 tahun setelah papa mama menikah. Mereka menginginkan aku nantinya secantik pharaoh itu. Padahal menurutku masih banyak perempuan cantik selain Cleopatra, Lady Diana atau Jessica Alba misalnya, tapi mama ngeyel menamaiku Cleopatra. Alasannya, Cleopatra adalah lambang kesetiaan. Well, aku bangga menyandang nama besar itu. Tentu saja sebelum aku berkacamata.
“Cleo!” seruan mama kedua kali. Sekali lagi kutatap cermin. Wajah di sana tersenyum ceria. Cleopatra tanpa kacamata. Mark Antony, eh, Dimas Theo tak boleh menunggu lama-lama. Di ruang tamu ku kapten basket itu menatapku takjub, membuatku blingsatan, taruhan wajahku pasti merah.
“Wow, ratuku cantik! Lho, kacamatanya mana?”
“Gak usah pakai ah, ribet!”
“Pakai saja. Aku suka kamu pakai kacamata, kesannya, kamu gadis yang pintar.
“Kamu mau membandingkan aku dengan Nana?” Nana itu teman sekelasku. Si bintang kelas, murid teladan, si ekor kuda berkacamata. Theo tertawa lebar.
“Buah jambu buah semangka”
“Ih apa’an sih, malah berpantun”
“Ratuku tetaplah sang Cleopatra”
“Awas kalau kamu macam-macam!”
Theo nyengir. Tapi malam itu, demi Mark “Dimas Theo” Anthony, Cleopatra ikhlas berkacamata.
*****
Aku mondar-mandir. Ruang kelas ke ruang ganti, ke kantin, bolak-balik aku bongkar isi tas dan lokerku. Theo membuntutiku seperti kacung sambil menggerutu panjang lebar. Amnesia temporariku kambuh. Aku lupa menaruh kacamataku dimana.
“Capek aku Cleo! Coba kamu ingat-ingat lagi dimana menaruhnya tadi.”
Kugaruh kepalaku yang tidak gatal. Seolah bisa menguatkan kerja otakku menggali memori, tapi ingatanku terbatas pada jam pertama ada materi Speaking dibab. Bahasa dan jam ke 3 Olahraga. Seingatku sebelum main basket, aku menaruhnya di kotaknya, di tas. Tapi, ternyata sekarang benda itu tak ada. “Jangan-jangan di Lab. Biasanya kamu ribet melepas kacamata kalau pakai headset.” Biasanya aku malah ga pake kacamata kalau ke Lab Bahasa. Sebulan berkacamata, aku masih gerah memakainya paling kalau ada menulis atau ke kantin.
“Ya sudah, kita ke Lab saja”
Masih mengenakan seragam olahragaku dan Theo yang mengorbankan pelajaran Matematikanya demi menemaniku, kita menuju Lab. Sepertinya tidak ada kegiatan siswa disana, tapi pintu Lab terbuka, muncul Pak Hari, laboran Lab Bahasa, Nana dibelakangnya.
“Cleo ada yang ketinggalan juga? Kenapa anak muda sekarang hobi pikun ya”tusk Pak hari.
“Nana ketinggalan apa Pak?” tapi sepertinya pertanyaanku tak perlu jawaban karena aku tahu Nana sedang memegang sebuah benda, kacamataku, “Lho, itukan kacamataku. Bener juga ketinggalan di Lab,” kuambil kacamata itu dari tangan Nana.
“Tapi Cleo, itu kacamataku,” bantah Nana hendak mengambil kacamata itu kembali, tapi aku menepisnya.
“Punyaku Na, warnanya, mereknya, punyaku,”
“Cleo, tadi kacamatanya ada di meja Nana” Pak Hari angkat bicara.
“Tapi Pak, kacamata yang ini asli, yang punya Nana pasti tiruannya,”
Tiba-tiba Nana tertegun memandangku, lalu mencoba tersenyum.
“Ya sudah, ma’af ya Cleo,” si ekor kuda itu berbalik dan langsung melangkah, pun Pak Hari.Segera kupakai kacamataku, lalu kusadari Theo masih disana terdiam.
“Kenapa?”
“Kamu kok gitu, seolah-olah kalimatmu tadi menyiratkan kalau Nana takkan mampu membeli kacamata yang sama dengan kacamatamu,”
“Tapi Theo, kacamata ini memang mahal, sementara kita tahu, bagaimana kehidupan Nana, Ayahnya sakit, ibunya tukang cuci, SPPnya saja selalu telat, jadi mana mungkin dia mampu kalau yang tiruannya sih mungkin.”
“Tapi sebaiknya kamu minta ma’af pada Nana, ia pasti tersinggung.”
“Gak mau, aku tidak salah kok.”
“Awas lho, jangan sampai kamu menyesal karena rasa bersalah berkepanjangan, lalu bunuh diri seperti Cleopatra yang asli.”
“Memang Cleopatra mati bunuh diri ya?” tanyaku polos.
“Ya, dia sengaja membiarkan dirinya dipatuk ular berbisa. Apa kau mau aku mencarikan ular berbisa buatmu. Secepatnya aku menghubungi Panji Si Pawang Buaya itu.”
“Akh! Kamu jahat!” Theo berlari menghindariku yang hendak menjitaknya. Aku mengejarnya ke kelasku, lalu mencubitinya gemes. Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa Cleo?
“Kepalaku pusing.”
*****
Sore itu hujan rintik-rintik ketika aku pulang dari tempat praktek Dokter mata. Papa menyuruhku periksa lagi. Jangan-jangan minusku bertambah karena aku selalu merasakan pusing semingguan ini jika mengenakan kacamataku. Bisa jadi itu karena ukurannya sudah tidak sesuai lagi dengan minusku. Tapi Dokternya sedang ada operasi, jadi prakteknya tutup.
Habis maghrib aku berniat membaca Buku tiga serial Percy Jackson dan Dewa Dewi Olympia, tapi baru sampai di halaman ke dua, pusing menyerangku lagi. Tiba-tiba aku ingat, sering pusing adalah tanda-tanda tumor otak, hiks……jangan-jangan……
“Theo ….. hiks……” tak tertahankan sedihku segera kutelpon Theo.
“Lho, ada apa? Telepon kok nangis?” Diseberang Theo bingung.
“Jangan-jangan aku pusing-pusing karena tumor otak deh. Hidupku tak lama lagi.”
“Hush. Aneh-aneh saja. Itu gara-gara kamu malas pakai kacamata.”
“Kan aku sudah pakai terus.”
“Jangan-jangan itu memang kacamata Nana, jadi kamu tidak cocok.”
“Mungkin….” Jujur semingguan ini sejak kejadian di Lab, aku memang agak ga enak pada Nana. Aku tak yakin aku meninggalkan kacamataku di Lab, meski sampai sekarang aku belum tahu keberadaan kacamataku. Satu hal lagi, Nana tidak pakai kacamata setelah kejadian itu. Jadi mungkin kacamata ini memang miliknya. “Theo….” Aku ragu.
“Ya.”
“Besok antar aku ke rumah Nana ya”
“Lho, bukannya kamu ketemu dia tiap hari?”
“Dia sudah tidak masuk sekolah 2 hari ini, sakit.”
“Siip.”
HUFFhh. Lega aku, semoga ini benar-benar kacamata Nana, sepertinya lensanya memang lebih tebal dari milikku. Tapi dimana kacamataku ya,bisa-bisa Papa marah besar kalau kacamata itu benar-benar hilang.
“Cleo, ada temanmu” tiba-tiba Mama muncul di pintu kamarku.
“Siapa Ma?”
“Nana”
“Nana?” echoku dengan nada tak percaya.
“Cepat keluar, dia tidak mau masuk, katanya sedang tergesa-gesa.”
Aku buru-buru berlari ke depan, dan menemukan Nana dengan baju setengah basah. Hujan masih gerimis satu-satu.
“Nana? Ayo masuk dulu, kamu ga bawa payung?”
“Tidak Cleo, aku terburu-buru. Aku cuma mau mengembalikan ini” Nana menyorongkan sesuatu padaku.
“Kacamatamu.”
“Kemataku maksudnya.”
“Ya, itu kacamataku kamu meninggalkannya dikantin, tapi Mbah kantin mengira itu punyaku, jadi ia menyimpannya, sementara yang di Lab, itu memang kacamataku. Maaf ya Cleo, tanpa sengaja kemarin saat aku mencobanya jatuh, kacanya pecah, tapi sudah kuganti kok. Ternyata memang kacamata kita sama Framenya. Dokter Ravi yang menghadiahkan padaku, ibuku juga padanya. Coba saja Cleo.”
“Dokter Ravi? Itu dokterku juga” menuruti kata Nana kupakai kacamata itu. Rasanya ringan, sepertinya ini memang kacamataku. “Bener Na, kacamataku. Pantesan aku selalu pusing kalau pakai kacamatamu, maaf ya kemarin kata-kataku agak kasar.”
“Tidak apa-apa, sudah biasa kok.”
“Ya sudah, sebentar kuambilkan kacamataku.”
“Tak usah Cleo. Sekarang aku tidak membutuhkannya lagi.”
“Matamu sembuh, kamu berobat dimana?” Nana tidak menjawab, hanya tersenyum.
“Aku pulang ya,” seperti dibius aku membiarkan Nana menghilang dibalik gerimis. Aku baru sadar ketika gerimis menderas dan setitik muncrat ke lensa kacamataku , benar-benar kacamataku.
*****
Pulang sekolah aku dan Theo langsung ke rumah Nana. Ada bendera kuning di mulut gang rumah Nana, kelihatannya ada yang baru saja berpulang. Dan didepan rumah Nana banyak orang berkumpul, jangan-jangan…….
Theo memarkir mobilnya agak jauh.
“Jangan-jangan ayah Nana, kamu turun duluan ya, aku nunggu disini dulu” Tanpa menjawab Theo segera turun dan menuju rumah Nana. Ia bercakap-cakap dengan seseorang disana sambil sekali-sekali memandang ke arahku. Tak sampai 3 menit dia sudah kembali.
“Siapa yang meninggal Theo?” Tanyaku tak sabar.
“Nana”
“Nana ?”
“Ya, dia kecelakaan kemarin, tabrakan mobil saat hendak menyeberang jalan dari apotik, menebus resep obatnya.” Pasti gara-gara dia tidak memakai kacamatanya. Ini salahku. “Ya sudah, kamu turun, kita kembalikan kacamata Nana, sekalian Takziah.”
Kurogoh tasku, mengambil kacamata Nana dalam kotak, kuberikan pada Theo.
“Lho, ini kacamata Nana? Lalu yang kamu pakai?”
“Ini kacamataku sendiri.”
“Baru? Atau kamu menemukannya di toilet rumahmu?”
“Tidak, Nana yang mengembalikannya. Katanya kacamataku tertinggal di kantin. Mbak kantin mengira itu punya Nana, jadi dikembalikan ke Nana.”
“Kapan Nana ke rumahmu?”
“Tadi sore, setelah aku telpon kamu,”
“Habis maghrib kan?” aku mengangguk , kulihat Theo menatapku miris, aneh,”
“Kenapa?”
“Nana meninggal setelah Ashar,”
Beberapa detik masih kulihat Theo bicara, tapi tak kudengar suaranya. Tiba-tiba semua berputar pandanganku berkunang-kunang, lalu gelap hitam!
HARI HARAN DAN UANG KEREWENG
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba mencari pekerjaan kesana kemari.Dalam perjalanan, ia melihat seorang lelaki tergeletak di jalan sedang mengerang kesakitan. Laki-laki itu terluka.
“Tolong aku anak muda” rintihnya kesakitan
“Apa yang terjadi pak?”
“Aku dirampok, aduh!” setelah mengucapkan kata itu, laki-laki itu pingsan. Hari haran membawanya ke rumah dan merawatnya hingga sembuh. Laki-laki itu bernama Krisnamurti, ia seorang pengusaha bakpau yang terkenal di kota. Setelah sembuh, ia berniat pulang. Ia tahu Hari Haran yang baik hati itu sedang membutuhkan pekerjaan, ia hendak mengajaknya ke kota bersamanya.
“Terimakasih Hari Haran. Sebagai ucapan terima kasihku, ikutlah aku ke kota, aku akan memberimu pekerjaan menjaga salah satu toko bakpauku.”
Maka berangkatlah Hari Haran ke kota bersama Pak krisnamurti. Dia diberi amanat menjaga salah satu cabang toko bakpaunya yang baru saja berdiri. Ternyata nama Pak krisnamurti sudah tersohor dimana-mana sehingga orang-orang tidak meragukan kualitas bakapau yang dijualnya.
Tapi karena toko Hari haran masih baru, maka pembelinya belum terlalu banyak. Hari haran gencar berpromosi dan ramah melayani pembeli yang dating. Ia selalu tersenyum meski ada pembeli yang cerewet. Orang-orang jadi suka dengan hariHaran dan selalu membeli bakpau di tokonya. Bahkan orang yang dulunya tidak suka dengan bakpau jadi penasaran membeli. Toko Hari Haran semakin hari semakin ramai pembeli.
Pak krisnamurti senang sekali memiliki karyawan seperti hari Haran. Pemuda itu tak hanya cermat dan ulet dalam berdagang, ia pun jujur. Tak hanya itu, ia juga bersemangat meraih cita-citanya. Jika siang hari ia sibuk di took, maka malam hari ia gunakan untuk membaca buku. Pak krisnamurti juga tahu hari Haran selalu menabung uangnya dan tidak berfoya-foya membeli sesuatu yang tak ada gunanya.
Tapi saying, Negara lalu dilanda krisis moneter. Semua harga naik, BBm naik, sembako naik. Orang-orang jadi hemat berbelanja. Took bakpau hari Haran pun terkena dampaknya. Pembeli berkurang. Tiap hari jumlah bakpau yang dijual jumlahnya dikurangi, tapi tetao saja ada sisa, akhirnya mubadzir dan basi.
Suatu hari, Hari Haran sedang terkantuk-kantuk di tokonya yang sepi ketika dating seorang nenek dengan cucunya yang sedang menangis.
“Apakah kau Hari Haran?”
“Iya nek, kenapa?”
“Kata orang kau baik hati.”
“Ah nenek, biasa saja. Jangan memujiku seperti itu, nanti aku jadi sombong. Allah tidak suka manusia yang sombong. Apakah nenek mau membeli bakpau?” Tanya Hari Haran.
“Ya, cucuku ingin sekali makan bakpau, tapi aku tidak punya uang.” Kata nenek itu memelas, “Maukah kau memberinya sebuah saja.”
Tanpa menjawab, Hari Haran segera membungkuskan 5 buah bakpau dan memberikannya pada cucu nenek itu.
“Nah adik kecil, terimalah. Bakpau ini enak lho, ada yang isi kacang hijau, coklat, kehu, kau pasti suka.” Katanya pada cucu si nenek,
“Tapi, tapi tidakkah itu terlalu banyak? Dengan apa aku harus membayar?” nenek itu ketakutan.
“Nek ini tidak usah bayar, anggap saja ini hadiah dariku utnk adik kecil ini.”
“Apa kau tidak takut akan dimarahi pemilik toko?”
“Tidak, aku akan bilang akulah yang membeli bakpau itu.”
“Kalau begitu aku bayar pakai ini saja.” Nenek itu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, ternyata sebuah uang dari pecahan genteng yang dibentuk bulat, biasanya disebut uang kereweng. “Anggaplah ini hadiah dariku, simpan baik-baik.”
Hari Haran Cuma tersenyum, tapi diterimanya uang kereweng itu. Si nenek segera mengajak cucunya pergi. Sepertinya cucunya sangat senang mendapatkan bakpau yang diinginkannya. Hari Haran menyimpan uang kerewengnya dalam tabungannya.
Ternyata keesokan harinya nenek itu datang lagi bersama cucunya. Lagi-lagi ia mengatakan ingin membeli bakpau tapi tak punya uang. Hari Haran dengan senang hati memberinya Cuma-Cuma dan nenek itu membayarnya dengan uang kereweng. Hari Haran sudah senang, karena nenek itu selalu berdo’a untuknya,
“Semoga Allah membalas budi baikmu Hari,”
“Amin.”
Hingga terkumpullah uang kereweng itu dalam tabungan Hari Haran. Sampai akhirnya suatu hari tibalah waktu ujian dan Hari Haran harus pergi selama beberapa hari. Dengan berat hati ia memberitahu si nenek kalau besok ia tidak berjualan.
“Nek, mulai besok aku tidak berjualan, sementara akan digantikan orang lain, aku harus ikut ujian.”
“Tapi apakah aku masih bisa membeli bakpau dengan uang kereweng?” kata nenek sedih.
“Jangan nek, penjualnya bisa marah. Begini saja, ini aku ada uang sedikit. Nenek pakai saja uang ini untuk membeli bakpau selama aku pergi.” Hari Haran menyerahkan senbagian tabungannya pada nenek. Nenek menerimanya dengan gembira. “Oh ya nek, doakan aku lulus ujian ya.”
“Tentu Hari, aku akan mendoakanmu.”
Maka berangkatlah Hari Haran ke tempat ujian dilaksanakan. Dia harus berada 2 minggu lamanya disana. Pak Krisnamurti memberinya sedikit uang sebagai bekal. Semula Hari Haran menolaknya, tapi Pak Krisnamurti bersikeras. Ia berharap Hari Haran bisa lulus dengan baik. Sementara Hari Haran menitipkan tabungan uang kerewengnya pada Pak Krisnamurti.
Seminggu mengikuti ujian, tiba-tiba ada kabar buruk. Toko bakpau pusat milik pak Krisnamurti terbakar hingga tak bersisa. Pak Krisnamurti jadi sedih dan sakit karena memikirkan usahanya yang bangkrut. Mendengar hal itu Hari Haran jadi sedih. Ia ingin menengok pak Krisnamurti tapi ia belum selesai ujian.
Ketika ujian selesai ia bergegas ke rumah Pak Krisnamurti. Ternyata penyakitnya begitu parah sehingga ia hanya bisa tergolek di tempat tidur. Demi pengobatannya, Pak Krisnamurti bahkan menjual beberapa tokonya. Pak Krisnamurti menjadi sangat miskin sekarang.
Hari Haran sangat ingin membantu, tapi ia juga sudah tak punya uang. Tabungannya habis untuk membayar ujian. Padahal ia sudah menganggap Pak Krisnamurti seperti orang tuanya sendiri. Sedih rasanya melihatnya terbaring sakit tak berdaya.
Hari Haran diberitahu temannya kalau ada seorang tabib manjur di negara tetangga yang bisa mengobati segala macam penyakit. Ia memberitahu pak Krisnamurti tentang itu.
“Hari, sebenarnya aku juga telah mendengarnya. Aku memang berniat kesana, tapi aku tak punya uang. Aku ingin memakai uangmu, tapi kau tak ada. Jadi aku menunggumu pulang untuk minta ijin.”
Hari Haran terkejut, seingatnya ia sudah tak punya uang lagi.
“Tapi saya tak punya uang pak.”
“Apa kau lupa Hari, sebelum kau pergi ujian, kau menitipkan tabunganmu padaku. Aku masih menyimpannya. Bolehkah aku meminjamnya untuk biaya berobat? Jika aku sehat nanti aku akan mengembalikannya”
Hari Haran tersipu dan bingung. Ia ingat ia memang menitipkan tabungannya dari kaleng bekas susu pada Pak Krisnamurti, tapi isinya bukan uang, tapi kereweng pemberian nenek yang datang meminta bakpau.
“Tapi…”
“Tolonglah Hari, aku membutuhkan bantuanmu. Aku menyimpan tabunganmu di bawah kolongku, ambillah.”
Hari Haran mengambil kaleng dari bawah kolong tempat tidur Pak Krsinamurti dengan bingung. Ia khawatir Pak Krisnamurti akan kecewa jika tahu kalau didalam kaleng itu hanyalah kereweng dan bukan uang.
Hari Haran dengan gemetar mengambil kaleng tabungannya yang sepertinya lebih berat disbanding ketika dia menyerahkannya pada Pak Krisnamurti dulu. Sambil menahan nafas ia membuka tutup kaleng tabungannya, dan langsung terkejut melihat isinya. Bukan uang kereweng, tapi koin-koin emas yang berkilauan.
“Aku heran kau menabung begitu banyak.” Kata Pak Krisnamurti. Hari haran hanya diam. Dalam hati ia mengucap syukur pada Allah yang maha kuasa. Dia mengganti apa yang diberikan Hari Haran pada nenek peminta bakpau.
“Ya Pak, semoga uang ini bias dipakai berobat dan bapak bisa sembuh seperti sedia kala.”
Akhirnya dengan koin emas tersebut Pak Krisnamurti berobat ke tabib. Ia kembali sembuh dan bias merintis kembali usaha bakpaunya yang bangkrut. Sementara Hari Haran lilus ujian dengan nilai terbaik dan diangkat menjadi seorang pegawai bank di ibukota.
Namun sayang, ketika hari Haran kembali ke tokonya yang dulu untuk mencari keberadaan nenek peminta bakpau, ternyata tak seorangpun mengaku mengenalnya.
“Tolong aku anak muda” rintihnya kesakitan
“Apa yang terjadi pak?”
“Aku dirampok, aduh!” setelah mengucapkan kata itu, laki-laki itu pingsan. Hari haran membawanya ke rumah dan merawatnya hingga sembuh. Laki-laki itu bernama Krisnamurti, ia seorang pengusaha bakpau yang terkenal di kota. Setelah sembuh, ia berniat pulang. Ia tahu Hari Haran yang baik hati itu sedang membutuhkan pekerjaan, ia hendak mengajaknya ke kota bersamanya.
“Terimakasih Hari Haran. Sebagai ucapan terima kasihku, ikutlah aku ke kota, aku akan memberimu pekerjaan menjaga salah satu toko bakpauku.”
Maka berangkatlah Hari Haran ke kota bersama Pak krisnamurti. Dia diberi amanat menjaga salah satu cabang toko bakpaunya yang baru saja berdiri. Ternyata nama Pak krisnamurti sudah tersohor dimana-mana sehingga orang-orang tidak meragukan kualitas bakapau yang dijualnya.
Tapi karena toko Hari haran masih baru, maka pembelinya belum terlalu banyak. Hari haran gencar berpromosi dan ramah melayani pembeli yang dating. Ia selalu tersenyum meski ada pembeli yang cerewet. Orang-orang jadi suka dengan hariHaran dan selalu membeli bakpau di tokonya. Bahkan orang yang dulunya tidak suka dengan bakpau jadi penasaran membeli. Toko Hari Haran semakin hari semakin ramai pembeli.
Pak krisnamurti senang sekali memiliki karyawan seperti hari Haran. Pemuda itu tak hanya cermat dan ulet dalam berdagang, ia pun jujur. Tak hanya itu, ia juga bersemangat meraih cita-citanya. Jika siang hari ia sibuk di took, maka malam hari ia gunakan untuk membaca buku. Pak krisnamurti juga tahu hari Haran selalu menabung uangnya dan tidak berfoya-foya membeli sesuatu yang tak ada gunanya.
Tapi saying, Negara lalu dilanda krisis moneter. Semua harga naik, BBm naik, sembako naik. Orang-orang jadi hemat berbelanja. Took bakpau hari Haran pun terkena dampaknya. Pembeli berkurang. Tiap hari jumlah bakpau yang dijual jumlahnya dikurangi, tapi tetao saja ada sisa, akhirnya mubadzir dan basi.
Suatu hari, Hari Haran sedang terkantuk-kantuk di tokonya yang sepi ketika dating seorang nenek dengan cucunya yang sedang menangis.
“Apakah kau Hari Haran?”
“Iya nek, kenapa?”
“Kata orang kau baik hati.”
“Ah nenek, biasa saja. Jangan memujiku seperti itu, nanti aku jadi sombong. Allah tidak suka manusia yang sombong. Apakah nenek mau membeli bakpau?” Tanya Hari Haran.
“Ya, cucuku ingin sekali makan bakpau, tapi aku tidak punya uang.” Kata nenek itu memelas, “Maukah kau memberinya sebuah saja.”
Tanpa menjawab, Hari Haran segera membungkuskan 5 buah bakpau dan memberikannya pada cucu nenek itu.
“Nah adik kecil, terimalah. Bakpau ini enak lho, ada yang isi kacang hijau, coklat, kehu, kau pasti suka.” Katanya pada cucu si nenek,
“Tapi, tapi tidakkah itu terlalu banyak? Dengan apa aku harus membayar?” nenek itu ketakutan.
“Nek ini tidak usah bayar, anggap saja ini hadiah dariku utnk adik kecil ini.”
“Apa kau tidak takut akan dimarahi pemilik toko?”
“Tidak, aku akan bilang akulah yang membeli bakpau itu.”
“Kalau begitu aku bayar pakai ini saja.” Nenek itu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, ternyata sebuah uang dari pecahan genteng yang dibentuk bulat, biasanya disebut uang kereweng. “Anggaplah ini hadiah dariku, simpan baik-baik.”
Hari Haran Cuma tersenyum, tapi diterimanya uang kereweng itu. Si nenek segera mengajak cucunya pergi. Sepertinya cucunya sangat senang mendapatkan bakpau yang diinginkannya. Hari Haran menyimpan uang kerewengnya dalam tabungannya.
Ternyata keesokan harinya nenek itu datang lagi bersama cucunya. Lagi-lagi ia mengatakan ingin membeli bakpau tapi tak punya uang. Hari Haran dengan senang hati memberinya Cuma-Cuma dan nenek itu membayarnya dengan uang kereweng. Hari Haran sudah senang, karena nenek itu selalu berdo’a untuknya,
“Semoga Allah membalas budi baikmu Hari,”
“Amin.”
Hingga terkumpullah uang kereweng itu dalam tabungan Hari Haran. Sampai akhirnya suatu hari tibalah waktu ujian dan Hari Haran harus pergi selama beberapa hari. Dengan berat hati ia memberitahu si nenek kalau besok ia tidak berjualan.
“Nek, mulai besok aku tidak berjualan, sementara akan digantikan orang lain, aku harus ikut ujian.”
“Tapi apakah aku masih bisa membeli bakpau dengan uang kereweng?” kata nenek sedih.
“Jangan nek, penjualnya bisa marah. Begini saja, ini aku ada uang sedikit. Nenek pakai saja uang ini untuk membeli bakpau selama aku pergi.” Hari Haran menyerahkan senbagian tabungannya pada nenek. Nenek menerimanya dengan gembira. “Oh ya nek, doakan aku lulus ujian ya.”
“Tentu Hari, aku akan mendoakanmu.”
Maka berangkatlah Hari Haran ke tempat ujian dilaksanakan. Dia harus berada 2 minggu lamanya disana. Pak Krisnamurti memberinya sedikit uang sebagai bekal. Semula Hari Haran menolaknya, tapi Pak Krisnamurti bersikeras. Ia berharap Hari Haran bisa lulus dengan baik. Sementara Hari Haran menitipkan tabungan uang kerewengnya pada Pak Krisnamurti.
Seminggu mengikuti ujian, tiba-tiba ada kabar buruk. Toko bakpau pusat milik pak Krisnamurti terbakar hingga tak bersisa. Pak Krisnamurti jadi sedih dan sakit karena memikirkan usahanya yang bangkrut. Mendengar hal itu Hari Haran jadi sedih. Ia ingin menengok pak Krisnamurti tapi ia belum selesai ujian.
Ketika ujian selesai ia bergegas ke rumah Pak Krisnamurti. Ternyata penyakitnya begitu parah sehingga ia hanya bisa tergolek di tempat tidur. Demi pengobatannya, Pak Krisnamurti bahkan menjual beberapa tokonya. Pak Krisnamurti menjadi sangat miskin sekarang.
Hari Haran sangat ingin membantu, tapi ia juga sudah tak punya uang. Tabungannya habis untuk membayar ujian. Padahal ia sudah menganggap Pak Krisnamurti seperti orang tuanya sendiri. Sedih rasanya melihatnya terbaring sakit tak berdaya.
Hari Haran diberitahu temannya kalau ada seorang tabib manjur di negara tetangga yang bisa mengobati segala macam penyakit. Ia memberitahu pak Krisnamurti tentang itu.
“Hari, sebenarnya aku juga telah mendengarnya. Aku memang berniat kesana, tapi aku tak punya uang. Aku ingin memakai uangmu, tapi kau tak ada. Jadi aku menunggumu pulang untuk minta ijin.”
Hari Haran terkejut, seingatnya ia sudah tak punya uang lagi.
“Tapi saya tak punya uang pak.”
“Apa kau lupa Hari, sebelum kau pergi ujian, kau menitipkan tabunganmu padaku. Aku masih menyimpannya. Bolehkah aku meminjamnya untuk biaya berobat? Jika aku sehat nanti aku akan mengembalikannya”
Hari Haran tersipu dan bingung. Ia ingat ia memang menitipkan tabungannya dari kaleng bekas susu pada Pak Krisnamurti, tapi isinya bukan uang, tapi kereweng pemberian nenek yang datang meminta bakpau.
“Tapi…”
“Tolonglah Hari, aku membutuhkan bantuanmu. Aku menyimpan tabunganmu di bawah kolongku, ambillah.”
Hari Haran mengambil kaleng dari bawah kolong tempat tidur Pak Krsinamurti dengan bingung. Ia khawatir Pak Krisnamurti akan kecewa jika tahu kalau didalam kaleng itu hanyalah kereweng dan bukan uang.
Hari Haran dengan gemetar mengambil kaleng tabungannya yang sepertinya lebih berat disbanding ketika dia menyerahkannya pada Pak Krisnamurti dulu. Sambil menahan nafas ia membuka tutup kaleng tabungannya, dan langsung terkejut melihat isinya. Bukan uang kereweng, tapi koin-koin emas yang berkilauan.
“Aku heran kau menabung begitu banyak.” Kata Pak Krisnamurti. Hari haran hanya diam. Dalam hati ia mengucap syukur pada Allah yang maha kuasa. Dia mengganti apa yang diberikan Hari Haran pada nenek peminta bakpau.
“Ya Pak, semoga uang ini bias dipakai berobat dan bapak bisa sembuh seperti sedia kala.”
Akhirnya dengan koin emas tersebut Pak Krisnamurti berobat ke tabib. Ia kembali sembuh dan bias merintis kembali usaha bakpaunya yang bangkrut. Sementara Hari Haran lilus ujian dengan nilai terbaik dan diangkat menjadi seorang pegawai bank di ibukota.
Namun sayang, ketika hari Haran kembali ke tokonya yang dulu untuk mencari keberadaan nenek peminta bakpau, ternyata tak seorangpun mengaku mengenalnya.
Senin, 13 September 2010
AN HOUR UNJOMBLO
“Ini namanya senjata makan tuan!”
“Tenanglah, semua pasti ada solusinya”
“Tak ada solusi, yang ada cari mati!”
“Slow down key, berpikir jernih”
Klak klok, klak klok, Ku on/off kan lampu belajarku, bohlam menyala padam, bolak-balik, sebolak balik hatiku berpihak, jujur atau bohong sih?
Kebohongan tak akan menang, sekali kau berbohong, maka kau harus menutupinya dengan kebohongan yang lain. Kebohongan seperti tabungan, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit.
Tapai kalau jujur, Airin bisa sedih karena gagal jadian sama Fian. Harus bohong demi kebaikan, demi persahabatan.
Tak ada namanya berbohong demi kebaikan, dan persahabatan yang dinodai kebohongan tidak akan bertahan lama.
Aiih…..pusing! bohong atau jujur sih?
Aku bangkit, harus ada yang aku lakukan, dan itu bukan bermain bohlam. Kumasukkan laptop ke dalam ransel. Kutinggalkan kamar dengan harapan di luar sana aku akan mendapatkan pencerahan.
“Ma, aku nyari hotspot di alun-alun” pamitku pada mama yang lagi dipijit Mbak Ruti.
“Jangan sore-sore pulangnya, papa mengajak kita makan malam di luar.”
“Sip bos!” masih jam 3 sore, paling tidak jam 5 aku pulang.
Sejak di alun-alun bisa akses hotspot, tiap sore di sana selalu ramai orang-orang yang ingin memanfaatkannya. Ada sebuah tempat favorit, bangku batu di bawah pohon keres di sudut barat daya, biasanya aku di situ, bersama beberapa orang asing lainnya. Tidak saling kenal, hanya duduk diam menatap monitor masing-masing tersenyum tertawa sendiri, asyik berkelana di dunia maya, tapi kelihatannya sore ini aku sendirian saja.
Baru saja kubuka laptopku, ponselku berdendang, Airin?
“Key, dimana?”
‘Ehm…” aku celingukan kiri kanan, jangan-jangan Airin ada di sekitarku, “Lagi jalan sama Dewa.” Huff, kupastikan tak ada dia, Bisa gawat kalau dia memergoki di sini.
“Dimana?”
“Ada dech, mau tahu aja” kupastikan juga suaraku tenang, tak ada tanda-tanda kebohongan.
“Takut aku bergabung ya?”
“Ssst.. aku sedang membicarakan acara kita.”
“Oooh….”
“Dia sepertinya ga mau nih”
“Ya udah, selamat merayu saja ya, bye.”
“Bye….”
Telpon ditutup, lega rasanya, tapi kulihat gelombang kebohonganku telah berubah jadi tsunami yang siap menelanku.
“Aku sudah suka dia sejak kelas X, aku tidak menyangka dia juga menyukaiku,” Airin sangat bahagia ketika Fian menampakkan sinyal-sinyal asmara. Cowok berambut cepak itu mengajak dinner nanti malam, tapi secepatnya raut Airin berubah sedih. “Tapi aku tidak mau kamu merasa terabaikan. Kita kan punya kesepakatan,” kalimat Airin memang bernada sedih tapi sebenarnya akulah yang paling sedih. Kesepakatan itu kita buat sejak SMP, jika salah satu belum punya pacar, maka yang lainpun tidak boleh punya pacar. Itu sebenarnya tak adil untuk saat ini, untuk Airin. Dia cantik, elegan, semua cowok mengincarnya, sedang aku cuma si gendut, kutu buku, tidak ada menariknya. Terbukti selama ini aku jadi penghalang Airin untuk menerima salah satu cowok pengagumnya. Betapa jahatnya aku!
“Kesepakatan itu tidak berlaku lagi.”
“Tidak Key, kamu tidak boleh berkorban demi aku.”
“Maksudku, kesepakatan itu kita akhiri saja. Sebenarnya aku juga sedang dekat dengan seseorang.”
“Apa?” Airin mendelik. “Kamu sudah jadian? Jahat kamu!”
“Belum baru PDKT. Aku ingin cerita padamu, tapi waktunya belum tepat, tapi sekarang sepertinya inilah saat yang tepat.”
“Akh, nakal kamu!” Airin meninju pundakku, dia tidak pernah tahu di dadaku baru saja timbul sebuah tunas kebohongan, “Siapa dia, teman sekolah kita juga?”
“Tidak, teman di facebook,” tunas itu mulai berduri, menusuk jantungku.
“Dunia maya?” semangat Airin hilang, dia memang paling benci hobiku yang satu itu, “Pacar cyber? Kenapa sih….”
“Tidak, kita sudah ketemuan kok!”
“Wow, great! Cakep ga?”
“Ya iyalah….”
“Ya sudah kalau begitu besok ajak dia makan malam barengan aku dan Fian.”
“Tapi….” gawat!
“Double date!”
“Tapi…..” parah!
“Tapi apa?” Airin menatapku tajam, “Jangan bilang kau cuma bohong, ku berkhayal punya pacar, sengaja hanya untuk membuatku senang dan tidak merasa bersalah jika aku jalan sama Fian!” semburnya telak, “Aku benci teman pembohong!”
“Tidak, aku tidak bohong.”
“Ya, sudah. Sampai nanti malam,” Airin menciumku tepat bel berbunyi, tanda istirahat kedua berakhir. Dia berlari ke kelasnya XI IPS2 dengan semangat penuh cinta. Sebaliknya, dengan gontai aku kembali ke kelasku, XI IPA1.
Double date! Ini gila. Percakapan tadi siang itulah yang membuatku resah tiada kepalang. Harus kutemukan si Dewa itu.
Jujur saja, memang ada nama Dewa di friendlist facebookku, tapi Dewa itu entah siapa aku tidak tahu. Aku mengenalnya entah di mig33, nimbus, atau mxit, aku bahkan lupa. Aku asal comot namanya tadi karena sesaat sebelum Airin datang kita sedang chat di Ebuddy.
Apa aku harus mengontrak Dewa yang itu untuk jadi pacar? That’s impossible! Aku bahkan tak yakin namanya benar-benar Dewa seperti pengakuannya, apa ia masih muda atau sudah jadi om-om kumisan (hii! parah!).
Tapi bagaimana kucari Dewa, pacar untuk 2 jam saja! Tuhan beri aku jalan, ini demi kebaikan persahabatan.
+ Bagaimana kalau mengontrak salah satu teman chatting yang sudah pernah kopi darat?
- Tidak bisa. Nanti dia pasti siar-siar di facebook kalau aku mencari pacar sewaan, malu dong!
+ Bagaimana kalau teman SMP?
- Tidak mungkin, temanku SMP adalah teman Airin juga, mereka pasti saling kenal.
+ Bagaimana kalau cowok di sebelahmu?
(di sebelah ada cowok lagi browsing, baru datang 5 menit yang lalu)
- Tidak, tidak kenal.
+ Kamu parah, pembohong yang payah!
- Ya!
“Kenapa mbak?” cowok itu kaget, rupanya “ya” kuserukan tantang.
“Tidak apa-apa, maaf,” nyengir aku jadinya. Buru-buru kututup laptopku, sebaiknya aku segera pulang lalu tidur, sebelumnya aku telepon Airin, pura-pura sakit mendadak.
+ Dasar pembohong!
- Biar saja!
“Ssst…. diam!” tiba-tiba ada yang menggamit lenganku begitu aku berjalan 2 langkah. Lalu setengah menyeretku mengikuti langkahnya. “Tenang, aku bukan orang jahat. Aku cuma mau minta tolong, sebentar saja.” Masih bengong tidak tahu apa maksudnya dengan minta tolong, aku menurut. Habisnya ketika kulirik sekilas, ia seorang cowok….. mirip…. mirip….
“Jadi ini yang namanya Toni?
Toni? Maaf, namaku bukan Toni… eh, eh, dia tidak sedang berbicara denganku kan? Tapi pada sepasang cowok cewek yang sepertinya sedang bermesraan. Si cewek kelihatan sangat terkejut dan cowoknya (pastinya si Toni) cuma heran.
“Revan? Kamu di sini? Kamu sudah pulang? Kapan?” cewek itu salah tingkah. Ooo… sepertinya aku paham. Cewek itu adalah pacar Revan, cowokku- cowok yang sedang menggandengku mesra, tiba tiba tergianf di benakku, Oo kamu ketahuan, pacaran lagi…. (versi dangdutnya Uut Permatasari).
“Ya, dan sepertinya aku mendapatkan hal yang tidak menyenangkan.”
“Tapi, Re, aku bisa jelaskan, ini tidak seperti yang kamu bayangkan.” Huu, klise, menjiplak kata-kata di sinetron. Ah, ga bisa lebih kreatif dikit apa?
“Maaf, Lira.” Oh, namanya Lira, “Aku sudah punya dia. Kamu salah kok kalau menilai aku bersih. Aku juga sama sepertimu. Aku juga sama sepertimu,” Revan memandangku mesra, sementara Lira memandangku dengan tatapan yang seolah berkata: Apa tidak salah memilih cewek gendut macam itu? Masa aku dibandingkan sama dia?
Hem, harusnya Lira sadar aku membalas tatapannya: Heh, cewek gendut pun punya hak punya pacar tampan seperti Tomy Kurniawan (nah, aku baru ingat wajahnya mirip siapa).
“Sebaliknya kamu jangan ganggu dia lagi,” tegasku.
“Ya, baiklah Lira. Kita selesai, ayo kita pergi”
“Rey! Rey!” masih kudengar teriakan Lira, tapi sepertinya Reyvan tak peduli. Ia lagi-lagi setengah menyeretku, dalam diam. Belum sampai cukup di situ. Karena Lira terus mengejar, ia memaksaku naik mobilnya dan segera tancap gas meninggalkan tempat itu. Aku duduk diam seperti tergendam.
“Thanks ya. Kamu mau menolongku,” 10 menit setelahnya baru dia angkat bicara. Aku tahu dia sedang terluka.
“Cewek begitu memang kudu diberi pelajaran,” hiburku “Dia tidak pantas buatmu,” ehem… dengan kata lain: akulah yang pantas buatmu, weleh.
“Kutraktir makan ya sebagai rasa terima kasih. Namaku Revan.”
“Sudah tahu. Aku Keyla.” Kami berjabatan. Tiba-tiba aku dapat ide. “Enggak, aku tidak mau makan. Aku minta tolong saja. Bisa ga?”
“Apa?”
“Kamu…..”
“Hah?”
Double date itu, candlelight dinner. Airin bertanya macam-macam tapi sepertinya Revan cukup mahir berperan seperti Dewa. Namun aku tak mau menyiksanya lama-lama, lagi pula Revan hanya punya waktu 1 jam untukku. Itu sudah sangat lama dibanding aku cuma membantunya beberapa menit.
Sebelum makanan utama datang, aku buru-buru pamit pada Airin dan Fian. Alasannya, aku dan Dewa mau nonton KCB 2”.
“Maaf, ya,” tukas Dewa-Revan-penolongku sopan. Taruhan Airin pasti heran karena aku bisa menggaet cowok secakep Revan. Tapi sepertinya dia sudah terlihat nyaman dengan Fian.
Tapi tentu saja, tak ada KCB2. Adanya kami berpisah, di perempatan jalan dia menurunkan aku dari Avansanya.
“Thanks ya, pacar sewaan” aku melongok dari balik jendela mobil. Ia tidak turun.
“Sama-sama pacar sewaan, kalau butuh aku lagi telepon aku”
“Kurasa tidak. Selamat jalan.” Kulambaikan tangan.
“Kalau begitu aku saja yang menelponmu”
“Kau kan tidak punya no ponselku.”
Kita tertawa berbarengan.
“Ah, ya, Ya sudahlah selamat tinggal
Avansa itu meninggalkanku sendiri. Aku tersenyum, aku jomblo lagi. Besok aku harus jujur pada Airin, aku putus dengan Revan. Aku Cuma jadian satu jam.
“Tenanglah, semua pasti ada solusinya”
“Tak ada solusi, yang ada cari mati!”
“Slow down key, berpikir jernih”
Klak klok, klak klok, Ku on/off kan lampu belajarku, bohlam menyala padam, bolak-balik, sebolak balik hatiku berpihak, jujur atau bohong sih?
Kebohongan tak akan menang, sekali kau berbohong, maka kau harus menutupinya dengan kebohongan yang lain. Kebohongan seperti tabungan, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit.
Tapai kalau jujur, Airin bisa sedih karena gagal jadian sama Fian. Harus bohong demi kebaikan, demi persahabatan.
Tak ada namanya berbohong demi kebaikan, dan persahabatan yang dinodai kebohongan tidak akan bertahan lama.
Aiih…..pusing! bohong atau jujur sih?
Aku bangkit, harus ada yang aku lakukan, dan itu bukan bermain bohlam. Kumasukkan laptop ke dalam ransel. Kutinggalkan kamar dengan harapan di luar sana aku akan mendapatkan pencerahan.
“Ma, aku nyari hotspot di alun-alun” pamitku pada mama yang lagi dipijit Mbak Ruti.
“Jangan sore-sore pulangnya, papa mengajak kita makan malam di luar.”
“Sip bos!” masih jam 3 sore, paling tidak jam 5 aku pulang.
Sejak di alun-alun bisa akses hotspot, tiap sore di sana selalu ramai orang-orang yang ingin memanfaatkannya. Ada sebuah tempat favorit, bangku batu di bawah pohon keres di sudut barat daya, biasanya aku di situ, bersama beberapa orang asing lainnya. Tidak saling kenal, hanya duduk diam menatap monitor masing-masing tersenyum tertawa sendiri, asyik berkelana di dunia maya, tapi kelihatannya sore ini aku sendirian saja.
Baru saja kubuka laptopku, ponselku berdendang, Airin?
“Key, dimana?”
‘Ehm…” aku celingukan kiri kanan, jangan-jangan Airin ada di sekitarku, “Lagi jalan sama Dewa.” Huff, kupastikan tak ada dia, Bisa gawat kalau dia memergoki di sini.
“Dimana?”
“Ada dech, mau tahu aja” kupastikan juga suaraku tenang, tak ada tanda-tanda kebohongan.
“Takut aku bergabung ya?”
“Ssst.. aku sedang membicarakan acara kita.”
“Oooh….”
“Dia sepertinya ga mau nih”
“Ya udah, selamat merayu saja ya, bye.”
“Bye….”
Telpon ditutup, lega rasanya, tapi kulihat gelombang kebohonganku telah berubah jadi tsunami yang siap menelanku.
“Aku sudah suka dia sejak kelas X, aku tidak menyangka dia juga menyukaiku,” Airin sangat bahagia ketika Fian menampakkan sinyal-sinyal asmara. Cowok berambut cepak itu mengajak dinner nanti malam, tapi secepatnya raut Airin berubah sedih. “Tapi aku tidak mau kamu merasa terabaikan. Kita kan punya kesepakatan,” kalimat Airin memang bernada sedih tapi sebenarnya akulah yang paling sedih. Kesepakatan itu kita buat sejak SMP, jika salah satu belum punya pacar, maka yang lainpun tidak boleh punya pacar. Itu sebenarnya tak adil untuk saat ini, untuk Airin. Dia cantik, elegan, semua cowok mengincarnya, sedang aku cuma si gendut, kutu buku, tidak ada menariknya. Terbukti selama ini aku jadi penghalang Airin untuk menerima salah satu cowok pengagumnya. Betapa jahatnya aku!
“Kesepakatan itu tidak berlaku lagi.”
“Tidak Key, kamu tidak boleh berkorban demi aku.”
“Maksudku, kesepakatan itu kita akhiri saja. Sebenarnya aku juga sedang dekat dengan seseorang.”
“Apa?” Airin mendelik. “Kamu sudah jadian? Jahat kamu!”
“Belum baru PDKT. Aku ingin cerita padamu, tapi waktunya belum tepat, tapi sekarang sepertinya inilah saat yang tepat.”
“Akh, nakal kamu!” Airin meninju pundakku, dia tidak pernah tahu di dadaku baru saja timbul sebuah tunas kebohongan, “Siapa dia, teman sekolah kita juga?”
“Tidak, teman di facebook,” tunas itu mulai berduri, menusuk jantungku.
“Dunia maya?” semangat Airin hilang, dia memang paling benci hobiku yang satu itu, “Pacar cyber? Kenapa sih….”
“Tidak, kita sudah ketemuan kok!”
“Wow, great! Cakep ga?”
“Ya iyalah….”
“Ya sudah kalau begitu besok ajak dia makan malam barengan aku dan Fian.”
“Tapi….” gawat!
“Double date!”
“Tapi…..” parah!
“Tapi apa?” Airin menatapku tajam, “Jangan bilang kau cuma bohong, ku berkhayal punya pacar, sengaja hanya untuk membuatku senang dan tidak merasa bersalah jika aku jalan sama Fian!” semburnya telak, “Aku benci teman pembohong!”
“Tidak, aku tidak bohong.”
“Ya, sudah. Sampai nanti malam,” Airin menciumku tepat bel berbunyi, tanda istirahat kedua berakhir. Dia berlari ke kelasnya XI IPS2 dengan semangat penuh cinta. Sebaliknya, dengan gontai aku kembali ke kelasku, XI IPA1.
Double date! Ini gila. Percakapan tadi siang itulah yang membuatku resah tiada kepalang. Harus kutemukan si Dewa itu.
Jujur saja, memang ada nama Dewa di friendlist facebookku, tapi Dewa itu entah siapa aku tidak tahu. Aku mengenalnya entah di mig33, nimbus, atau mxit, aku bahkan lupa. Aku asal comot namanya tadi karena sesaat sebelum Airin datang kita sedang chat di Ebuddy.
Apa aku harus mengontrak Dewa yang itu untuk jadi pacar? That’s impossible! Aku bahkan tak yakin namanya benar-benar Dewa seperti pengakuannya, apa ia masih muda atau sudah jadi om-om kumisan (hii! parah!).
Tapi bagaimana kucari Dewa, pacar untuk 2 jam saja! Tuhan beri aku jalan, ini demi kebaikan persahabatan.
+ Bagaimana kalau mengontrak salah satu teman chatting yang sudah pernah kopi darat?
- Tidak bisa. Nanti dia pasti siar-siar di facebook kalau aku mencari pacar sewaan, malu dong!
+ Bagaimana kalau teman SMP?
- Tidak mungkin, temanku SMP adalah teman Airin juga, mereka pasti saling kenal.
+ Bagaimana kalau cowok di sebelahmu?
(di sebelah ada cowok lagi browsing, baru datang 5 menit yang lalu)
- Tidak, tidak kenal.
+ Kamu parah, pembohong yang payah!
- Ya!
“Kenapa mbak?” cowok itu kaget, rupanya “ya” kuserukan tantang.
“Tidak apa-apa, maaf,” nyengir aku jadinya. Buru-buru kututup laptopku, sebaiknya aku segera pulang lalu tidur, sebelumnya aku telepon Airin, pura-pura sakit mendadak.
+ Dasar pembohong!
- Biar saja!
“Ssst…. diam!” tiba-tiba ada yang menggamit lenganku begitu aku berjalan 2 langkah. Lalu setengah menyeretku mengikuti langkahnya. “Tenang, aku bukan orang jahat. Aku cuma mau minta tolong, sebentar saja.” Masih bengong tidak tahu apa maksudnya dengan minta tolong, aku menurut. Habisnya ketika kulirik sekilas, ia seorang cowok….. mirip…. mirip….
“Jadi ini yang namanya Toni?
Toni? Maaf, namaku bukan Toni… eh, eh, dia tidak sedang berbicara denganku kan? Tapi pada sepasang cowok cewek yang sepertinya sedang bermesraan. Si cewek kelihatan sangat terkejut dan cowoknya (pastinya si Toni) cuma heran.
“Revan? Kamu di sini? Kamu sudah pulang? Kapan?” cewek itu salah tingkah. Ooo… sepertinya aku paham. Cewek itu adalah pacar Revan, cowokku- cowok yang sedang menggandengku mesra, tiba tiba tergianf di benakku, Oo kamu ketahuan, pacaran lagi…. (versi dangdutnya Uut Permatasari).
“Ya, dan sepertinya aku mendapatkan hal yang tidak menyenangkan.”
“Tapi, Re, aku bisa jelaskan, ini tidak seperti yang kamu bayangkan.” Huu, klise, menjiplak kata-kata di sinetron. Ah, ga bisa lebih kreatif dikit apa?
“Maaf, Lira.” Oh, namanya Lira, “Aku sudah punya dia. Kamu salah kok kalau menilai aku bersih. Aku juga sama sepertimu. Aku juga sama sepertimu,” Revan memandangku mesra, sementara Lira memandangku dengan tatapan yang seolah berkata: Apa tidak salah memilih cewek gendut macam itu? Masa aku dibandingkan sama dia?
Hem, harusnya Lira sadar aku membalas tatapannya: Heh, cewek gendut pun punya hak punya pacar tampan seperti Tomy Kurniawan (nah, aku baru ingat wajahnya mirip siapa).
“Sebaliknya kamu jangan ganggu dia lagi,” tegasku.
“Ya, baiklah Lira. Kita selesai, ayo kita pergi”
“Rey! Rey!” masih kudengar teriakan Lira, tapi sepertinya Reyvan tak peduli. Ia lagi-lagi setengah menyeretku, dalam diam. Belum sampai cukup di situ. Karena Lira terus mengejar, ia memaksaku naik mobilnya dan segera tancap gas meninggalkan tempat itu. Aku duduk diam seperti tergendam.
“Thanks ya. Kamu mau menolongku,” 10 menit setelahnya baru dia angkat bicara. Aku tahu dia sedang terluka.
“Cewek begitu memang kudu diberi pelajaran,” hiburku “Dia tidak pantas buatmu,” ehem… dengan kata lain: akulah yang pantas buatmu, weleh.
“Kutraktir makan ya sebagai rasa terima kasih. Namaku Revan.”
“Sudah tahu. Aku Keyla.” Kami berjabatan. Tiba-tiba aku dapat ide. “Enggak, aku tidak mau makan. Aku minta tolong saja. Bisa ga?”
“Apa?”
“Kamu…..”
“Hah?”
Double date itu, candlelight dinner. Airin bertanya macam-macam tapi sepertinya Revan cukup mahir berperan seperti Dewa. Namun aku tak mau menyiksanya lama-lama, lagi pula Revan hanya punya waktu 1 jam untukku. Itu sudah sangat lama dibanding aku cuma membantunya beberapa menit.
Sebelum makanan utama datang, aku buru-buru pamit pada Airin dan Fian. Alasannya, aku dan Dewa mau nonton KCB 2”.
“Maaf, ya,” tukas Dewa-Revan-penolongku sopan. Taruhan Airin pasti heran karena aku bisa menggaet cowok secakep Revan. Tapi sepertinya dia sudah terlihat nyaman dengan Fian.
Tapi tentu saja, tak ada KCB2. Adanya kami berpisah, di perempatan jalan dia menurunkan aku dari Avansanya.
“Thanks ya, pacar sewaan” aku melongok dari balik jendela mobil. Ia tidak turun.
“Sama-sama pacar sewaan, kalau butuh aku lagi telepon aku”
“Kurasa tidak. Selamat jalan.” Kulambaikan tangan.
“Kalau begitu aku saja yang menelponmu”
“Kau kan tidak punya no ponselku.”
Kita tertawa berbarengan.
“Ah, ya, Ya sudahlah selamat tinggal
Avansa itu meninggalkanku sendiri. Aku tersenyum, aku jomblo lagi. Besok aku harus jujur pada Airin, aku putus dengan Revan. Aku Cuma jadian satu jam.
PINO DAN PONI
Pino dan Poni adalah sepasang anak beruang kembar. Mereka sangat mirip, yang beda hanyalah Pino lebih gendut dari Poni.
Suatu hari ibu panda menyuruh Pino dan Poni pergi ke rumah nenek. Mereka membawa oleh-oleh untuk nenek.
“Pino, karena kau lebih gendut, maka kau yang membawa kapuk, nenek membutuhkannya untuk mengisi bantal.” Kata ibu beruang sambil menunjukkan sekarung kapas pada Pino.
“Ya Bu.” Pino menjawab dengan patuh.
“Dan kau Poni, kau membawa garam saja. Nenek juga butuh untuk menggarami ikan agar nanti musim panas dia tidak perlu menangkap ikan lagi.” Ibu beruang juga memberikan satu karung garam pada Poni
“Ya Bu.” Poni mengangguk.
“Kalian harus cepat kembali ke rumah sebelum malam. Kelihatannya hujan akan turun.”
Lalu, berangkatlah dua ekor beruang itu ke rumah nenek. Sepanjang jalan Pino bernyanyi dengan riang sambil menggendong sekarung kapas di punggungnya. Sementara Poni., karena bebannya lebih berat, ia jadi sering tertinggal di belakang. Sesekali Pino berhenti untuk menunggu saudaranya itu. Lama-lama Poni jadi capai. Ia kesal dan iri.
“Pino, berhenti sebentar!” teriaknya. Pino segera berhenti. Poni menurunkan bebannya, keringatnya bercucuran.
“Tapi kita harus cepat sampai ke rumah Nenek. Lihat, langit sudah mendung, mungkin sebentar lagi hujan.”
“Ya aku tahu. Tapi Poni, sepertinya ibu tidak adil. Dia memberimu beban yang lebih ringan, padahal kamu gendut. Sementara aku yang kurus harus membawa beban seberat ini. Bagaimanan kalau kita tukar barang saja, kau membawa garamku ini, sedang aku membawa kapasmu.”
“Apa Ibu tidak akan marah?”
“Ibu kan tidak tahu.”
Pino menuruti saja kata kakaknya. Ganti ia yang membawa garam dan Pino yang membawa kapas. Sekarang gantian Poni yang bernyanyi riang karena bebannya jadi ringan. Sementara Pino bolak-balik berhenti karena bebannya terlalu berat.
Tiba-tiba hujan turun. Awalnya gerimis tapi semakin deras. Pino dan Poni berteduh di bawah pohon, tapi tetap saja mereka kehujanan. Mereka jadi basah kuyup.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Pino mengajak Poni melanjutkan perjalanan. Tapi baru beberapa langkah Poni berhenti.
“Pino, barang bawaan kita tidak tertukar kan?”
“Tidak kak,” Pino menggeleng, “Aku membawa garam dan kakak membawa kapas.”
“Tapi kenapa sekarang bebanku sepertinya sangat berat ya.”
“Aku tidak kak, malah lebih ringan.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian mereka sampai ke rumah nenek. Disana nenek menyuguhkan segelas coklat hangat.
“Poni, kamu kelihatannya lelah sekali.” Tanya nenek.
“Ya Nek, bebanku berat sekali, padahal tadi sebelum hujan sangat ringan.” Jawab Pino.
“Ya Nek, ini aneh sekali. Bebanku yang tadinya berat, setelah hujan malah menjadi ringan.” Poni juga bicara.
“Kalian pasti menukar bawaan tadi, ya tidak?” Nenek bertanya lagi.
“Kok nenek tahu?” Pino dan Poni menjawab bersama. Mereka jadi heran.
“Tadi ibu menelepon nenek ketika kalian berangkat. Dia bilang Pino membawa kapas dan Poni membawa garam.”
“Ya Nek, tapi di tengah jalan kak Pino menukarnya. Aku yang membawa garam, dia yang mebawa kapas.” Kata Poni.
“Nah, tadi di jalan kalian kehujanan kan?”
“Kok nenek tahu lagi?”
“Ya ya ya. Kalian tahu tidak, kalau garam terkena air ia akan mencair, itu berarti beban Pino akan berkurang dan menjadi lebih ringan. Tapi jika kapas terkena air, ia akan menyerap air itu sehingga beban Poni semakin berat. Ibu kalian sudah mengatur begitu, jadi jika nanti kehujanan, maka Pinolah yang membawa beban lebih berat dati Poni.”
“Oooh..” Poni dan Pino mengangguk-angguk.
“Lain kali Pino tidak boleh iri dengan adikmu ya.”
“Ya Nek. Pino maafkan kakak ya.”
“Ya Kak.”
Pino dan Poni bersalaman. Ketika pulang, nenek menghadiahkan mereka sepasang ikan salmon segar.
Suatu hari ibu panda menyuruh Pino dan Poni pergi ke rumah nenek. Mereka membawa oleh-oleh untuk nenek.
“Pino, karena kau lebih gendut, maka kau yang membawa kapuk, nenek membutuhkannya untuk mengisi bantal.” Kata ibu beruang sambil menunjukkan sekarung kapas pada Pino.
“Ya Bu.” Pino menjawab dengan patuh.
“Dan kau Poni, kau membawa garam saja. Nenek juga butuh untuk menggarami ikan agar nanti musim panas dia tidak perlu menangkap ikan lagi.” Ibu beruang juga memberikan satu karung garam pada Poni
“Ya Bu.” Poni mengangguk.
“Kalian harus cepat kembali ke rumah sebelum malam. Kelihatannya hujan akan turun.”
Lalu, berangkatlah dua ekor beruang itu ke rumah nenek. Sepanjang jalan Pino bernyanyi dengan riang sambil menggendong sekarung kapas di punggungnya. Sementara Poni., karena bebannya lebih berat, ia jadi sering tertinggal di belakang. Sesekali Pino berhenti untuk menunggu saudaranya itu. Lama-lama Poni jadi capai. Ia kesal dan iri.
“Pino, berhenti sebentar!” teriaknya. Pino segera berhenti. Poni menurunkan bebannya, keringatnya bercucuran.
“Tapi kita harus cepat sampai ke rumah Nenek. Lihat, langit sudah mendung, mungkin sebentar lagi hujan.”
“Ya aku tahu. Tapi Poni, sepertinya ibu tidak adil. Dia memberimu beban yang lebih ringan, padahal kamu gendut. Sementara aku yang kurus harus membawa beban seberat ini. Bagaimanan kalau kita tukar barang saja, kau membawa garamku ini, sedang aku membawa kapasmu.”
“Apa Ibu tidak akan marah?”
“Ibu kan tidak tahu.”
Pino menuruti saja kata kakaknya. Ganti ia yang membawa garam dan Pino yang membawa kapas. Sekarang gantian Poni yang bernyanyi riang karena bebannya jadi ringan. Sementara Pino bolak-balik berhenti karena bebannya terlalu berat.
Tiba-tiba hujan turun. Awalnya gerimis tapi semakin deras. Pino dan Poni berteduh di bawah pohon, tapi tetap saja mereka kehujanan. Mereka jadi basah kuyup.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Pino mengajak Poni melanjutkan perjalanan. Tapi baru beberapa langkah Poni berhenti.
“Pino, barang bawaan kita tidak tertukar kan?”
“Tidak kak,” Pino menggeleng, “Aku membawa garam dan kakak membawa kapas.”
“Tapi kenapa sekarang bebanku sepertinya sangat berat ya.”
“Aku tidak kak, malah lebih ringan.”
Mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian mereka sampai ke rumah nenek. Disana nenek menyuguhkan segelas coklat hangat.
“Poni, kamu kelihatannya lelah sekali.” Tanya nenek.
“Ya Nek, bebanku berat sekali, padahal tadi sebelum hujan sangat ringan.” Jawab Pino.
“Ya Nek, ini aneh sekali. Bebanku yang tadinya berat, setelah hujan malah menjadi ringan.” Poni juga bicara.
“Kalian pasti menukar bawaan tadi, ya tidak?” Nenek bertanya lagi.
“Kok nenek tahu?” Pino dan Poni menjawab bersama. Mereka jadi heran.
“Tadi ibu menelepon nenek ketika kalian berangkat. Dia bilang Pino membawa kapas dan Poni membawa garam.”
“Ya Nek, tapi di tengah jalan kak Pino menukarnya. Aku yang membawa garam, dia yang mebawa kapas.” Kata Poni.
“Nah, tadi di jalan kalian kehujanan kan?”
“Kok nenek tahu lagi?”
“Ya ya ya. Kalian tahu tidak, kalau garam terkena air ia akan mencair, itu berarti beban Pino akan berkurang dan menjadi lebih ringan. Tapi jika kapas terkena air, ia akan menyerap air itu sehingga beban Poni semakin berat. Ibu kalian sudah mengatur begitu, jadi jika nanti kehujanan, maka Pinolah yang membawa beban lebih berat dati Poni.”
“Oooh..” Poni dan Pino mengangguk-angguk.
“Lain kali Pino tidak boleh iri dengan adikmu ya.”
“Ya Nek. Pino maafkan kakak ya.”
“Ya Kak.”
Pino dan Poni bersalaman. Ketika pulang, nenek menghadiahkan mereka sepasang ikan salmon segar.
DRAMA KASTA DECCA PHIA
Phia
Berburu sejatimu, aku terlibat sepi, Bersaksi teliti, cukup kusiksa diri
Jadi bagaimanakah caraku kukenali engkau?de javukah? Gelap kuyup
Kita dulu belum menapak baligh, Kau belum mimpi didekap bidadari
Cinta jahar, bola dan boneka
Lalu aku buta, menggembala di ladangku yang hilang domba
Tak kasat mata pula engkau, terbang di labirin-labirin hati empunya siapa
Hari-hari lolos, Wangi patah hati menguntitku jadi mata air yang meggerimis di kebun kenangan
Masih aku mimpi menangkap makam
Dan kita pulang, Kuharap domba-dombaku yang hilang jadi puisi dimatamu
Decca
Padahal setahun lalu, ladang gerimis terjejak kaki saudara tua
Melantun habis galau lalu secangkir rindu, Pada talu pada ragu dan pada sejatimu
Ingatkah selepas lalu, kau pulang meninggalkan sekawanan kerontang yang kau kenangi kaki-kakinya?
Mereka menghalau air mata dibawah mimpi reresah kaca, Sekelebatpun sejatinya raib dari jabat, diantara gelap, kuyup dan jejat domba tua yang kau rajut jadi puisimu
Tiga menit lalu, Kau, aku, tinggalkan kota,
Tinggalkan sejatinya puisi-puisi, yang kutunggu jadi rajutan tinta di bukumu
Phia
Jadi apa hendakmu sejatinya?
Sumpahi aku agar meracau tentang makna yang enggan ditafsir rasakah?
Rerayumu bak parade sembilu, hijabnya tak tertahankan
Bisikan kekasih lama meruat resah buat cintaku padamu
Lantakkan senyum, bilur terpajan di isakan
Jemariku beku, rimaku layu jika tak kudamparkan padamu azimat retakku
Maka dimanakah berlabuhnya sayatan dekapku Yang sempat kau janjikan akan meratu di tiap saujanamu?
Decca
Kenapa harus kau taburkan padaku, sayat balur azimatmu dengan detaknya sepilar semu…? Sedang kilah melagu dengu pada hijab
Setahun lalu sengaja kau samarkan pada temaram beku jejemarimu
Aduh, aku tak mau melantun cintamu… Sejatiku khilaf saujanamu
Phia
Rindu merambat pada jejari, Lara menggumpal, terseok, merunut sepanjang sepi yang dibordir pada sejengkal kerlingmu nakal.
Aku aus dibantai rindu, Kerontang dikrikiti rengkuhmu, mengepompong di raham setengah matang
Sampai malam lalu terjaga, meramu lara di dermaga tak bertuan
Lubang semakin menganga semakin gersang dikebiri teluhmu dari kejauhan
Decca
Lara terpantik menyembelih katamu, mencoba cekal ketam memapar sauh ditengah dermagamu, deru…
Niatan melapuh gersang terpekik kau kafani serojaku
Dihampar seberang, laun kau nikmati matiku
Phia
Dan kau inginkan jawabkukah?
Ia yang bak pulau tak berhabitat meringkuk sendiri kehilangan Tanya,
Memejannya dalam lempeng kepercayaan masa silam
Susuri waktu, yang enggan berlari enggan jemu
Kisruh bilik hati seolah merugi, dendam sendiri dituai juntai rasa di ceruk nurani
Semai benci yang semakin lama semakin menyanjungi
Sepertinya dia telah pergi tapi entah kemana
Hanya kuingat dia memberiku pesan, tunggu aku 1000 tahun lagi
Decca
Saujana tak rela mendua sejoli
Merebak aroma jejat sesah sejuta hasrat
Ah, canda nian kau di tepi renjana, saujana…. Saujana….
Senyummu manis menipu daya
Phia
Senyumku tak berujung pada bayu
Tiada tafsir dapat merujuknya dan mendung semakin sanjung matahari
Lautan berontak, tapi tetap ia air belaka, mana kuat ia meracuni wana di hatiku?
Decca
Tiga laksa sesoca, Meskipun hanya tetes air yang memendar jingga
Gacuh katanya membisik, meronta sembilu yang kian lapuk…
Menyela hatinya yang tampuk di dua biduk
Ah…Rimbanya masih menyana,
Kemana surya masihlah surya, Kemana bayu masihlah bayu
Sedang kau sendiri disana, meracun hati, menampik sejuk sejuta gayatri
Phia
Bayu selamanya merongrongku!!!
Decca
Tak!! Baiknya kau mafhumkan aku, terjerat dalam remuk redam rasaku
Phia
Tapi aku menyapa dari kedalaman halimun
Gerimis sesiangan dan awan kelabu yang 24 jam memberesi hari dengan keluhan cucian yang enggan berkarat
Aku datang memberi gerimis pada kiamat tanpa ayat, membantai sepi sepi lantun saujanamu
Entah batu Entah kerikil Entah apa, tapi sepertinya dia ciptaNya yang sanggup kuajak bersandiwara
Dinding rapuh tanpa rasa, tangis terbahak, tawa terisak Jadi pelampung yang akan selamatkan kau dari hiasan peta waktu yang pernah kau gambar di kenang neurosamu
Hening gapai jarakku denganmu, kurenangi tapi sepertinya sungsummu beku kuajak menatap bulan
Sauhku harap berlabuh memulas serpih berlianmu yang robek siulnya tapi bak genderang kosong kau kawinkan sunyi dengan sepi saja
Sudah hilang caramu mencincang banal di kerling kejora
Mungkin aku yang harus terjaga menghadirkan halilintar di setiap tirai sepanjang cakrawalamu agar terkatup sudah bingkisan kematian rasa yang kau ceburkan ke kolamku
Decca
Bak pualam kau menyandiwara memgatas namakan kematian yang kubingkis indah di sesal renjana
Mencoba melupa rangkahku, melebur tawa di atas kejora
Sedang saat itu kau saput awan kelam yang melintas di atas dahiku
Duh, lagi kau haturkan kealpaan di jantung kenestapaan kita, mencoba menyandiwaraNya di atas laksa yang terjaga
Phia
Percakapan kau dan aku serasa melelehkan aura
Remahlah aku mendulang kata pada sebuah ketakutan aku beralih pandang
Menyisir waktu dimana kerinduan meronda jarak
Kerapkali hati mengunci redam rasa yang ditawarkan senyap jiwa
Dan ketika surya datang tumpah segala remuk redam, embun terusir
Lalu pada siapa aku lantakkan resah? sedang sebukit cinta belum mampu rinai di lembah jingga
Decca
Benarkah sembilu ragu kembali menyemayam tantri?
Tersibak rerayu sebukit cintamu yang hendak merinai
Tak terusik gontai, namun nanar memburu, jiwa membeku, ranummu melagu
Kau tak sadar lembayung telah menanti setetes embun telah membasah dedaunan
Antara rinai dan sinarnya kan naik perlahan
Phia
Seperti paham, ombak berkata tentang kerinduan tentang sebuah rasa pada lautan
Ketika kau tak lagi sadari, Kau buat lukisan hatiku di pasir hilang bentuk kala gelombang menebah
Dan kau asyik senyum simpul pada kepiting mungil yang cubit telapakmu
Decca
Puan, kau curi rasa pada harap gendam loka
Lunglai raga pejam wajahmu menyinai menyibak selimut hati rapat menjejat kala itu
Namun waktu hanya sementara kutunggui kau di ujung sana
Phia
Apa sedang kau ungkap munafikmu? Bukankah telah kau nyatakan mentah-mentah kalau semua rasa rindu dendam saujanamu tak merujuk padaku?
Kau membuatku terhenti di langkah setengah hariku, terpacak diam
Dan memunguti serpih ingatan tentangmu yang tak rela aku remuk redamkan saat kukatakan, selamat tinggal
Lalu aku harus apa? Menambal sulam ia kah, hingga utuh lagi di sela neuronku
Atau menyimpannya di dasar cerebrum dan satu saat nanti merubahnya jadi cemeti agar kau lebih leluasa mempertemukan aku dengan kalahku
Atau kacaukan saja arah angin!
Tapi bagaimana bisa jika serpihmu adalah kaca yang didalamnya kutemukan diriku
Decca
Kelontang ranah berpijak, mendua gontai menukik luruh
Merajam hati, menggoda sepi yang membungkus serbuk syaraf sepatu
Kalbuku tinggal seperdelapan, penuhnya menguap dihasut silat berdua
Hujat katanya cendikia, tampar ceritanya bijaksana
Aih, kelontang itu semua, Kau jejatpun aku tak percaya
Phia
Dari titik itu kau selalu memandang hingga ku terpekur di lantai salah resah
Padahal disana matahari masih berputar, Daun-daun hijau
Tapi manusia semakin rabun mengeja isi hati durga
Tak cukup menemanimu menujuku
Meski berabad lamanya, Jarakku dan kau, titik itu kejam
Buta warna, dusta, iri
Atau sebaiknya kau buta saja?
Decca
Serpih seroja papar mendesir
Buih lautan kau serui perlahan memijak lara rasa sembilu teratap
Bisanya pelan kau toreh lewat bisikmu sayat melejit tinggalkan kotaku
Hampa, tak cukup…..
Phia
Rindu menggubah mimpi, lara menyadur janji
Penant terkubur di surya sela siangmerajuk
Barangkali tak cukup sejuta duri murni
Lelap tak terjamah di mata hati
Tanya saja pada ilalang, sampai dimana petualangan ini akan berlabuh di satu titik beku nan jadikan darahmu berhenti aliri raga
Decca
Apa daya kini langkahku telah jauh meninggalkan diri dalam kota yang tak pernah mimpi menghirup secuil hidup hingar pekik tanpa kata
Mendusta cinta wahai kau saujana
Tipu hati laksa sesoca, Tipu raga dendam senada
Ah.. Memang mendusta cinta kau saujana
Mentari di ufuk lama menyana
Phia
Kenapa kau mulai lagi? Sedang renjana enggan berdamai dengan kelana
Lalu kenapa tak beranjak pulang saja, atau jangan-jangan kau pikir ceritamu seyojana tatap dewa?
Gelarkan malu pada nurani, Unduh remah-remah pedih di tandu kelakar
Decca
Pergi saja kau saujana, Pohon-pohon telah redup dan berbunga di tepi jalan yang tak lagi berdebu
Lembayung senja dikerubungi lengkungnya mendung, separuh merah separuh ungu separuh lagi kelabu
Kemarau mendingin, anginpun hening, di jalanan selatan rupanya dirimu
Seolah menutup mata dan pucat menjadikan dinginku kini malam yang menggigit
Serta hujan ini terasa sangat kering
Tak kudengar lagi suara lantang seru seru namaku
Tak kulihat lagi senyummu bertebar dalam fajar
Yang seringkali manis menatap wajahku
Disanalah kau. bersandar
Di rongga-rongganya kudengar suaramu senyummu biru
Phia
Jadi ingat siang itu kau katakana ingin kembali menjemput kata-kata
Kidung ini mungkin suatu karma mentah penciptaan masa lalu yang terulang tapi berbalik arah tetirah
Biarlah dusta merajah rindukan pelipur lara
Jeram hati mendosa
Usah berpatah
Kita sudah kalah
Decca
Adalah paras dalam kepekatan malam seribu dihiasi manis hatimu
Ketika di rumah desa di saat bertemu sejuta basah menerangi kalbu
Adalah hati dalam semangkuk cahaya bernafaskan cinta jingga yang tak dapat kuungkap
Hingga kelukan lidah tak berkojah sebab sejuta kelabu menyelimuti hati dan jiwa
Tatkala terbit fajar sepanjang jalan lintas jalur, tak dapat melupa kelabu birumu
Cinta pertamaku
Phia
Keramat berpulang membawa manisan ditabur tanpa nyawa
Untai suci, tapi hati tak lagi berbagi dengan sukma
Galur merebak di jeram-jeram alur cerita hilang ditengah klimaks yang tak mengesankan
Ungu penaku merasuki imaginasi
Rahasia kalbu terbujur di kertas putih berabjad tertata makna
Ajaibnya kata-kata tetap tak membuatmu terjamah
Decca Phia
19 VS 26
Decca
Duniaku biru
Phia
Duniaku ungu
Decca Phia
Blue VS true
Berburu sejatimu, aku terlibat sepi, Bersaksi teliti, cukup kusiksa diri
Jadi bagaimanakah caraku kukenali engkau?de javukah? Gelap kuyup
Kita dulu belum menapak baligh, Kau belum mimpi didekap bidadari
Cinta jahar, bola dan boneka
Lalu aku buta, menggembala di ladangku yang hilang domba
Tak kasat mata pula engkau, terbang di labirin-labirin hati empunya siapa
Hari-hari lolos, Wangi patah hati menguntitku jadi mata air yang meggerimis di kebun kenangan
Masih aku mimpi menangkap makam
Dan kita pulang, Kuharap domba-dombaku yang hilang jadi puisi dimatamu
Decca
Padahal setahun lalu, ladang gerimis terjejak kaki saudara tua
Melantun habis galau lalu secangkir rindu, Pada talu pada ragu dan pada sejatimu
Ingatkah selepas lalu, kau pulang meninggalkan sekawanan kerontang yang kau kenangi kaki-kakinya?
Mereka menghalau air mata dibawah mimpi reresah kaca, Sekelebatpun sejatinya raib dari jabat, diantara gelap, kuyup dan jejat domba tua yang kau rajut jadi puisimu
Tiga menit lalu, Kau, aku, tinggalkan kota,
Tinggalkan sejatinya puisi-puisi, yang kutunggu jadi rajutan tinta di bukumu
Phia
Jadi apa hendakmu sejatinya?
Sumpahi aku agar meracau tentang makna yang enggan ditafsir rasakah?
Rerayumu bak parade sembilu, hijabnya tak tertahankan
Bisikan kekasih lama meruat resah buat cintaku padamu
Lantakkan senyum, bilur terpajan di isakan
Jemariku beku, rimaku layu jika tak kudamparkan padamu azimat retakku
Maka dimanakah berlabuhnya sayatan dekapku Yang sempat kau janjikan akan meratu di tiap saujanamu?
Decca
Kenapa harus kau taburkan padaku, sayat balur azimatmu dengan detaknya sepilar semu…? Sedang kilah melagu dengu pada hijab
Setahun lalu sengaja kau samarkan pada temaram beku jejemarimu
Aduh, aku tak mau melantun cintamu… Sejatiku khilaf saujanamu
Phia
Rindu merambat pada jejari, Lara menggumpal, terseok, merunut sepanjang sepi yang dibordir pada sejengkal kerlingmu nakal.
Aku aus dibantai rindu, Kerontang dikrikiti rengkuhmu, mengepompong di raham setengah matang
Sampai malam lalu terjaga, meramu lara di dermaga tak bertuan
Lubang semakin menganga semakin gersang dikebiri teluhmu dari kejauhan
Decca
Lara terpantik menyembelih katamu, mencoba cekal ketam memapar sauh ditengah dermagamu, deru…
Niatan melapuh gersang terpekik kau kafani serojaku
Dihampar seberang, laun kau nikmati matiku
Phia
Dan kau inginkan jawabkukah?
Ia yang bak pulau tak berhabitat meringkuk sendiri kehilangan Tanya,
Memejannya dalam lempeng kepercayaan masa silam
Susuri waktu, yang enggan berlari enggan jemu
Kisruh bilik hati seolah merugi, dendam sendiri dituai juntai rasa di ceruk nurani
Semai benci yang semakin lama semakin menyanjungi
Sepertinya dia telah pergi tapi entah kemana
Hanya kuingat dia memberiku pesan, tunggu aku 1000 tahun lagi
Decca
Saujana tak rela mendua sejoli
Merebak aroma jejat sesah sejuta hasrat
Ah, canda nian kau di tepi renjana, saujana…. Saujana….
Senyummu manis menipu daya
Phia
Senyumku tak berujung pada bayu
Tiada tafsir dapat merujuknya dan mendung semakin sanjung matahari
Lautan berontak, tapi tetap ia air belaka, mana kuat ia meracuni wana di hatiku?
Decca
Tiga laksa sesoca, Meskipun hanya tetes air yang memendar jingga
Gacuh katanya membisik, meronta sembilu yang kian lapuk…
Menyela hatinya yang tampuk di dua biduk
Ah…Rimbanya masih menyana,
Kemana surya masihlah surya, Kemana bayu masihlah bayu
Sedang kau sendiri disana, meracun hati, menampik sejuk sejuta gayatri
Phia
Bayu selamanya merongrongku!!!
Decca
Tak!! Baiknya kau mafhumkan aku, terjerat dalam remuk redam rasaku
Phia
Tapi aku menyapa dari kedalaman halimun
Gerimis sesiangan dan awan kelabu yang 24 jam memberesi hari dengan keluhan cucian yang enggan berkarat
Aku datang memberi gerimis pada kiamat tanpa ayat, membantai sepi sepi lantun saujanamu
Entah batu Entah kerikil Entah apa, tapi sepertinya dia ciptaNya yang sanggup kuajak bersandiwara
Dinding rapuh tanpa rasa, tangis terbahak, tawa terisak Jadi pelampung yang akan selamatkan kau dari hiasan peta waktu yang pernah kau gambar di kenang neurosamu
Hening gapai jarakku denganmu, kurenangi tapi sepertinya sungsummu beku kuajak menatap bulan
Sauhku harap berlabuh memulas serpih berlianmu yang robek siulnya tapi bak genderang kosong kau kawinkan sunyi dengan sepi saja
Sudah hilang caramu mencincang banal di kerling kejora
Mungkin aku yang harus terjaga menghadirkan halilintar di setiap tirai sepanjang cakrawalamu agar terkatup sudah bingkisan kematian rasa yang kau ceburkan ke kolamku
Decca
Bak pualam kau menyandiwara memgatas namakan kematian yang kubingkis indah di sesal renjana
Mencoba melupa rangkahku, melebur tawa di atas kejora
Sedang saat itu kau saput awan kelam yang melintas di atas dahiku
Duh, lagi kau haturkan kealpaan di jantung kenestapaan kita, mencoba menyandiwaraNya di atas laksa yang terjaga
Phia
Percakapan kau dan aku serasa melelehkan aura
Remahlah aku mendulang kata pada sebuah ketakutan aku beralih pandang
Menyisir waktu dimana kerinduan meronda jarak
Kerapkali hati mengunci redam rasa yang ditawarkan senyap jiwa
Dan ketika surya datang tumpah segala remuk redam, embun terusir
Lalu pada siapa aku lantakkan resah? sedang sebukit cinta belum mampu rinai di lembah jingga
Decca
Benarkah sembilu ragu kembali menyemayam tantri?
Tersibak rerayu sebukit cintamu yang hendak merinai
Tak terusik gontai, namun nanar memburu, jiwa membeku, ranummu melagu
Kau tak sadar lembayung telah menanti setetes embun telah membasah dedaunan
Antara rinai dan sinarnya kan naik perlahan
Phia
Seperti paham, ombak berkata tentang kerinduan tentang sebuah rasa pada lautan
Ketika kau tak lagi sadari, Kau buat lukisan hatiku di pasir hilang bentuk kala gelombang menebah
Dan kau asyik senyum simpul pada kepiting mungil yang cubit telapakmu
Decca
Puan, kau curi rasa pada harap gendam loka
Lunglai raga pejam wajahmu menyinai menyibak selimut hati rapat menjejat kala itu
Namun waktu hanya sementara kutunggui kau di ujung sana
Phia
Apa sedang kau ungkap munafikmu? Bukankah telah kau nyatakan mentah-mentah kalau semua rasa rindu dendam saujanamu tak merujuk padaku?
Kau membuatku terhenti di langkah setengah hariku, terpacak diam
Dan memunguti serpih ingatan tentangmu yang tak rela aku remuk redamkan saat kukatakan, selamat tinggal
Lalu aku harus apa? Menambal sulam ia kah, hingga utuh lagi di sela neuronku
Atau menyimpannya di dasar cerebrum dan satu saat nanti merubahnya jadi cemeti agar kau lebih leluasa mempertemukan aku dengan kalahku
Atau kacaukan saja arah angin!
Tapi bagaimana bisa jika serpihmu adalah kaca yang didalamnya kutemukan diriku
Decca
Kelontang ranah berpijak, mendua gontai menukik luruh
Merajam hati, menggoda sepi yang membungkus serbuk syaraf sepatu
Kalbuku tinggal seperdelapan, penuhnya menguap dihasut silat berdua
Hujat katanya cendikia, tampar ceritanya bijaksana
Aih, kelontang itu semua, Kau jejatpun aku tak percaya
Phia
Dari titik itu kau selalu memandang hingga ku terpekur di lantai salah resah
Padahal disana matahari masih berputar, Daun-daun hijau
Tapi manusia semakin rabun mengeja isi hati durga
Tak cukup menemanimu menujuku
Meski berabad lamanya, Jarakku dan kau, titik itu kejam
Buta warna, dusta, iri
Atau sebaiknya kau buta saja?
Decca
Serpih seroja papar mendesir
Buih lautan kau serui perlahan memijak lara rasa sembilu teratap
Bisanya pelan kau toreh lewat bisikmu sayat melejit tinggalkan kotaku
Hampa, tak cukup…..
Phia
Rindu menggubah mimpi, lara menyadur janji
Penant terkubur di surya sela siangmerajuk
Barangkali tak cukup sejuta duri murni
Lelap tak terjamah di mata hati
Tanya saja pada ilalang, sampai dimana petualangan ini akan berlabuh di satu titik beku nan jadikan darahmu berhenti aliri raga
Decca
Apa daya kini langkahku telah jauh meninggalkan diri dalam kota yang tak pernah mimpi menghirup secuil hidup hingar pekik tanpa kata
Mendusta cinta wahai kau saujana
Tipu hati laksa sesoca, Tipu raga dendam senada
Ah.. Memang mendusta cinta kau saujana
Mentari di ufuk lama menyana
Phia
Kenapa kau mulai lagi? Sedang renjana enggan berdamai dengan kelana
Lalu kenapa tak beranjak pulang saja, atau jangan-jangan kau pikir ceritamu seyojana tatap dewa?
Gelarkan malu pada nurani, Unduh remah-remah pedih di tandu kelakar
Decca
Pergi saja kau saujana, Pohon-pohon telah redup dan berbunga di tepi jalan yang tak lagi berdebu
Lembayung senja dikerubungi lengkungnya mendung, separuh merah separuh ungu separuh lagi kelabu
Kemarau mendingin, anginpun hening, di jalanan selatan rupanya dirimu
Seolah menutup mata dan pucat menjadikan dinginku kini malam yang menggigit
Serta hujan ini terasa sangat kering
Tak kudengar lagi suara lantang seru seru namaku
Tak kulihat lagi senyummu bertebar dalam fajar
Yang seringkali manis menatap wajahku
Disanalah kau. bersandar
Di rongga-rongganya kudengar suaramu senyummu biru
Phia
Jadi ingat siang itu kau katakana ingin kembali menjemput kata-kata
Kidung ini mungkin suatu karma mentah penciptaan masa lalu yang terulang tapi berbalik arah tetirah
Biarlah dusta merajah rindukan pelipur lara
Jeram hati mendosa
Usah berpatah
Kita sudah kalah
Decca
Adalah paras dalam kepekatan malam seribu dihiasi manis hatimu
Ketika di rumah desa di saat bertemu sejuta basah menerangi kalbu
Adalah hati dalam semangkuk cahaya bernafaskan cinta jingga yang tak dapat kuungkap
Hingga kelukan lidah tak berkojah sebab sejuta kelabu menyelimuti hati dan jiwa
Tatkala terbit fajar sepanjang jalan lintas jalur, tak dapat melupa kelabu birumu
Cinta pertamaku
Phia
Keramat berpulang membawa manisan ditabur tanpa nyawa
Untai suci, tapi hati tak lagi berbagi dengan sukma
Galur merebak di jeram-jeram alur cerita hilang ditengah klimaks yang tak mengesankan
Ungu penaku merasuki imaginasi
Rahasia kalbu terbujur di kertas putih berabjad tertata makna
Ajaibnya kata-kata tetap tak membuatmu terjamah
Decca Phia
19 VS 26
Decca
Duniaku biru
Phia
Duniaku ungu
Decca Phia
Blue VS true
Langganan:
Postingan (Atom)
Welcome Back to Neverland!!!
Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...
-
Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menul...
-
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba m...
-
Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kol...