Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kolam itu akan merugikan. Bukan hanya kemungkinan kanibalisme, tapi rusaknya pematang karena hobi menggali Pleco. Dan yang terpenting, toleransi dengan tetangga yang tak bosan mengeluhkan nyasarnya makhluk-makhluk itu ke tambak mereka, yang katanya mengganggu komunitas yang mereka pelihara, padahal jelas Pleco adalah makhluk herbivora.
Telah diputuskan, sejak pukul satu dinihari tadi, tambak pleco yang telah disat airnya dengan dua pompa, hingga yang tersisa hanyalah bubur lumpur yang selalu berkecipak memuat pleco-pleco yang kaget terkena udara bebas. Matahari sepenggalah. Tiba saatnya sekarang, panen pleco.
Semula ia hanya memelihara satu, lalu dua, tiga, seratus, sejuta. Mungkin tak terhingga. Pasti sudah beranak pinak makhluk itu dalam kolam 6m x 7m yang dikhususkan untuk menampungya. Semoga saja mereka tak saling memakan karena berebut makanan.
Orang-orang sekitar, para tetangga sudah heran sejak dulu pertama ia memelihara makhluk itu. Malah menganggapnya kurang kerjaan, menyediakan kolam khusus, tapi ia tak perduli. Ia mencintai mereka; Hypostomus Plecostomus
Diawali dari rasa miris.
Sisi kemanusiaan.
Atau sekedar menunda kepunahan.
Lebih dari itu, mungkin sebuah pembelajaran hidup, buruk rupa bukan dosa, bukan salasan untuk tak berguna.
Tuhan tak pernah mencipta sesuatu untuk sia-sia.
Tia hari ketika ia berangkat mengajar, selalu saja ia sakit hati, menyaksikan makhluk-makhluk malang itu bergeletakan di jalanan yang dilewatinya, ia ditugaskan di sebuah desa yang masih kental dengan suasana agraris jadi jalanan selalu diapit sungai kecil dikiri kanannya, sarana irigasi persawahan sekitar. Beberapa makhluk mati, membusuk bak ikan asin tak digarami, beberapa masih setengah mati, bergerak, diam, bergerak, pasrah. Dan tentunya masih ada pula yang masih segar menggeletak, tak rela berpisah dengan perairan. Namun akan segera tertuntaskan penderitaan mereka jika ada kendaraaan lewat dan melindasnya hingga daging lembutnya moncrot dari kulitnya yang kasap, penyet, berlepotan, berceceran, membuat perut mual. Tapi kebanyakan orang malah enggan menggencetnya karena takut kulitnya yang kasar keras itu merusak ban, sehinga ia akan tetapdisana, meregang nyawa, menggelepar, hingga akhirnya tak sanggup lagi bergeming, lunglai, mati, mengenaskan.
Karena ia sekedar pemakan lumut dan kotorankah?
Rupanya pun tak ada menariknya untuk jadi hiasan di kotak kaca. Hanya hitam kecoklatan bertotol putih atau coklat keemasan. Mulutnya yang tak seperti kebanyakan ikan, terletak diujung, hampir menyatu dengan abdomennya, semakin menambah seram penampilannya. Mengkonsumsinyapun tak hendak, dagingnya keras tersembunyi di balik sisiknya yang serupa baju besi.
Tak ada kelebihan yang dimilikinya, sehingga ketika para penjala menemukannya dalam jala, mereka lebih sering kesal dan menyingkirkannya begitu saja.
Waktu itu ia sedang berangkat sekolah seperti biasa ketika seorang penjala memunguti hasil tangkapannya. Ia segera menghentikan sepeda motonya, aku harus bertindak, tentu dia ini salah satu oknum yang suka membuat pleco tersiksa, pikirnya.
“Kenapa tidak dikembalikan ke air, kan kasihan.”
Yang ditegurnya memandang aneh, pertanyaan yang sepertinya tak wajar, belum pernah selama ini ia bertemu orang yang menegurnya untuk mengembalikan jenis ikan yang tak diperlukannya ke sungai.apa untungnya? Apalagi seekor pleco?
“Buat apa Pak? Biar mati saja dia, biar habis yang di sungai sana. Didit itu merusak jala saya. Lihat, sampai robek-robek terkena siripnya. Diajuga memakan ikan-ikan lainnya di sunagai.”
Salah! Pleco memakan alga, phytoplankton, zooplankton, bukan ikan. Dia guru Biologi, ia paham itu. Pleco itu makhluk pemalu, hanya sesekali muncul di permukaan untuk mengambil oksigen, jernihnya air sungaipun tak lepas dari campur mulut si pleco (bukan campur tangan!) yang suka melahap kotoran yang kadang kala disinggahkan dengan sengaja. Tapi kenapa orang tak beranggapan positif padanya. Suckermouth cat fish = momok!
“Tapi sampean begini sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan dia juga bisa merasakan sakit. Kita sama-sama makhluk tuhan.”
“Alah pak guru, Cuma ikan tak berguna. Kalau pak guru berkenan, ambil saja, saya tak sempat membantunya kembali ke sungai.” Penjala itu ketus, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Diskriminasi! Ia hanya akan mengambil mujair dan beberapa udang yang nyangkut di jalanya, selebihnya, lagi lagi, keong-keong darat, beberapa sepat dan seekor pleco dibiarkannya terserak. Dan begitulah, mereka lalu akan menemui ajalnya dipanggang mentari. Beruntung kepiting, ia masih bisa berlarian. Jika beruntung ia akan kembali ke air. Sepat beruntung, ia juga cepat mati pun Besusul. Sedang Pleco, ia punya kemampuan bernafas dengan udara, akibatnya penderitaan menuju ajalnya lebih lama.
Tiba-tiba ia ingat, ia selalu menyimpan plastik keresek di jok sepedanya, penjala itu hanya tertawa geli melihatnya memasukkan pleco ke plastiknya, memberinya sedikit air. Juga dilemparkannya kembali ke sungai para besusul dan sepat. Kalau diteruskan begini, bisa terancam punah makhluk-makhluk ini, dulu masa kecilku masih sering kutemukan Gondang, tapi sekarang sudah langka, gerutunya dalam hati.
“Mau dibawa pulang beneran Pak?”
“Ya, buat isi aquarium.” Ia memang punya aquarium di rumah, tapi tak berpenghuni. Dulu Dani yang membelinya ketika sedang musim Lou han. Tapi sejak Dani nge-kos, Lou Hannya sering sakit-sakitan, lalu mati. Jadi penghuni gudanglah aquarium itu.
“Ikan itu cepat berkembang biak pak, mati satu tumbuh seribu.”
“Tak apa-apa, biar nanti cucuku tidak sekedar melihatnya di televisi.”
Ia pulang. Ia melepas seragam dinasnya, mencuci bersih aquarioum, mengisikan air, dan terakhir memasukkan pleco ke dalamnya.
“Kunamai kau Dower.” Usai semuanya, ia meletakkan aquarium di tempatnya dulu di ruang tengah, bersebelahan dengan televisi. Ikan itu naluriah menempelkan moncongnya di kaca, melekat bak sepasang bibir mendower. Ada buncah bahagia menyerbunya.
Obat kesepian.
Istrinya sudah mendahului menghadapNya dua tahun lalu. Tiga anaknya sudah meninggalkan rumah. Utami menikah, ikut suaminya diluar jawa. Tomi dapat beasiswa belajar ke Amerika. Dani, yang masih SMU, Cuma seminggu sekali pulang. Sebentar lagipun dia pensiun.
Jam Sembilan ia kembali berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia merasa aneh dalam pikiranya.
“Aku jatuh cinta, pada sapu-sapu.”
Begitulah awalnya. Ia lalu tergila-gila, hypostomus Plecostomus!
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Acyinoeterygii
Ordo : Siluriformes
Family : Loricarridae
Genus :Hypostomus
Species : H. Plecostomus
Kebanyakan ditemukan di Brazilia, peru, Costarica dan Panama. Bisa mencapai umur 14 tahun dengan panjang 18-24 inchi. Hidup di air tawar dengan ph 6-7dan suhu 72-80.
Tiap melihatnya menggelepar di jalan, buru-buru ia membawanya pulang dan ditampung di bak mandi, begitu banyak berdesak-desak mereka disana, sehinga ketika Dani pulang, diajaknya si bungsu merombak salah satu tambak, separuhnya buat pleco.
Andai istrinya masih ada, ia pasti akan geleng kepala, suaminya berkelakuan penyayang binatang macam Tarzan.
Dani terheran-heran, ayahnya jadi ayah angkat pleco si ikan.
Utami kesal, ia tak mau Pleco dijadikan warisan.
Tomi tak berkomentar, tak ada yang mengabarinya kalau kedudukannya digusur seekor ikan.
Ia tak perduli, ia mencintai mereka: plecomania!
Lalu akhirnya ia pensiun. Luang waktunya membuatnya semakin kecanduan pleco.
Pagi-pagi ia bersepeda pancal, menyusur jalanan yang dilewatinya dulu, mencari pleco-plceo baru. Siang hari, sambil istirahat ia mengamati tingkah laku Dower yang tubuhnya sudah menyesaki aquariumnya. Sore hari ia memanjakan pleco di kolamnya dengan bayam, labu, selada. Ia tahu, begitu banyak pleco disana. Pleco telah beranak pinak. Pleco kawin, bertelur dan menetaskan pleco-pleco naru.
Ia membuat pengumumam, barangsiapa menemukan pleco hidup-hidup dan menyerahkan padanya, ia akan tukar persekor dengan seribu rupiah.
Ia keranjingan: plecoholik!
Dan tiba-tiba suatu pagi, ia menemukan beberapa klangenannya itu bergeletakan di sepanjang pematang kolam. Beberapa mati, beberapa hidup. Ia kumpulkan yang mati, ia kembalikan yang masih bernyawa ke kolam. Tapi esoknya ia temukan lagi, esoknya lagi, dan semakin banyak jumlah pleco yang mati, tak hanya di pematang, tapi di kolampun mengapung pleco-pleco tak bernyawa.
Ia gelisah, seseorang pasti sengaja membantai pleco-pleconya, meletakkanyya disitu agar ia menyaksikannya. Semakin hari semakin menjadi, sepertinya itu bukan tanpa alasan, mungkin sebuah pelampiasan, kesal, protes, atau ancamankah?
Tapi kenapa?
“Karena pleco itu mengganggu bandeng saya.” Enteng Lek Diman menjawab saat ia memergoki tetangga tambaknya itu dengan kesal melempar pleco dari tambak bendengnya ke pematang. Pleco itu menggelepar.
“Bagaimana bisa?”
“Lah apa sampeyan tidak tahu, ikan yang sampeyan pelihara itu suka ngerong? Dan ia membuat jalan tembus ke tambak saya.”
Ia tertegun, ia baru ingat, pleco memang punya hobi meggali terowongan terlebih pada musim kawin, ia akan menjadikan terowongan itu sebagai sarang. Si betina akan bertelur dan yang jantan akan menjaganya sampai menetas.
“Bukan hanya di tambak saya, dia juga nyasar ke tambaknya Parmin, Gunadi, Ahkmad, dan entah siapa lagi, mungkin dia sudah menguasai semua tambak disini.”
“Tapi ikan-ikan ini tidak makan ikan.” Belanya tak kalah garang.
“Memang, tapi rongnya itu, bisa-bisa merusak pematang, lalu ikan-ikan kita akan lari ke tambak orang. Rugi kan?”
Ia diam saja, semula ia senang bisa melakukan sesuatu yang berguna, melestarikan ikan-ikan itu, sebuah langkah kecil untuk mengungkapkan terima kasih pada alam, tapi ternyata ia tak memikirkan dampak lainnya.
“Lagian sampean mau apakan sih ikan tokek itu? Dimakan tidak bisa, dijualpun hasilnya tak laku. Mending dikembalikan ke sungai. Memelihara ikan yang lazim saja pak. Jujur saja saya kasih tahu, teman-teman disini, sudah sangat kesal dengan ikan-ikan bapak. Jangan-jangan kalau sudah habis kesabaran mereka, mereka nekat meracun ikan-ikan bapak. Mereka masih diam karena menghormati bapak sebagai guru…”
Ia tak mau dengarkan kata-kata Lek Diman lagi. Ia pulang. Ia menelepon Tomi.
Ia tidak turun, hanya menyaksikan dari jauh saja keriuhan itu dari tepi kolam. Tomi melarangnya ikut-ikutan bergumul dengan lumpur untuk berburu pleco. Jadi ia mengamati saja para tetangganya yang suka rela, bahkan dengan senang hati menangkapkan pleco-pleconya, mengumpulkannya dalam dobong.
Kadang terjadi keributan. Pleco-pleco berontak saat ditangkap. Harus mandi lumpur mempertahankannya.padahal harusnya Pleco yang nocturnal itu lebih ganoamg ditangkap di siang hari, tapi harus lihai-lihai menangkanya agar terhindar dari goresan sisik dan siripnya.
Api mereka bersemangat melakukannya, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak! Berhasil menangkap satu, mereka memburuyang lain.
Kadang ada, aduh
Kadang ada asyik
Dobong-dobong mulai penuh, dan ia berkali-kali berkomando, “Itu teralu kecil, kembalikan. Nah, ya, itu benar, nanti kita buat pepes pleco, sate pleco, pecel pleco!’
Beberapa hari sebelum ia menemukan pleco-pleco mati ia sudah menghubungi Tomi. Ia sudah tua, sebentar lagi mati jika ia mati siapa yang akan meneruskna langkah menyantuni ikan-ikan itu. Ia tak bisa membayagkan nantinya mereka ayang telah dikumpulkan itu akan dikembalikan ke habitat semula, lalu pemandangan itu akan terulang lagi. Pleco-pleco bergeletakan di jalan, mati. Lalu anak cucunya hanya bisa melihatnya di museum dan film animasi
Tak diduga Tomi malah kegirangan mendengar curhatnya. Sudah lama ia ingin bercerita bahwa selama dia kuliah, ia bekerja part time di sebuah restoran yang menjadikan pleco sebagai salah satu menu andalannya. Pleco tak kalah enak rsanya dengan sepupu jauhnya; lele. Hanya saja dagingnya lebih sedikit, karena porsi tubuh terbanyak hanyalah kulit. Ia jadi ingat banyak pleco yang disia-siakan di kampung halamannya. Ia jadi berniat mengenalkan menu itu pada lidah Indonesia.
“Yang penting adalah kulitnya Pak. Kulit itu ternyata bisa disamak, lalu dijadikan produk yang kualitasnya tak kalah bagus dengan kulit buaya.”
Semula ia tidak setuju. Tomi hanya berpikir dari sisi komersial, bukan kompromi dengan alam, menu pleco, berarti pembantaian besar-besaran.
“Tentu saja tidak Pak. Kita hanya akan memanfaatkan pleco yang cukup umur. Yang lain, yang masih muda akan kita buatkan kolam khusus untuk pembiakan dan penangkaran. Jadi sementara kita mengolah pleco dewasa, kita juga mengembangbiakkan generasi barunya.”
Tomi berencana mengambil cuti bulan depan dan sudah menghubungi temannya di Bojonegoro yang memiliki usaha produksi kerajinan kulit Pleco, tapi keburu Lek Diman protes. Karenanya, ia kembali menemui laki-laki itu setelah dia menelepon Tomi.
“Ya sudah, aku minta tolong sama sampeyan. Carikan orang, biar saya bisa panen ikan-ikan itu. Secepatnya.”
Lek Diman bengong: panen pleco???
“Ya, tapi sementara ambil yang besar dulu. Yang kecil biarkan, menyusul dua atau tiga hari kemudian. Akan kubuatkan kolam khusus dulu buat mereka, tidak disini, tapi di belakang rumah.”
Lagi-lagi Lek Diman benging: buat apa??
*****
Matahari sepenggalah, telah sepuluh dobong penuh Pleco sebesar lengan orang dewasa, tapi sepertinya lebih banyak lagi yang masih berkubang di lumpur kolam. Orang-orangpun belum kehilangan semangat menangkapninya. Mungkin sebuah euphoria peristiwa langka; panen pleco.
Dan dia, diam-diam pulang dengan sebuah kelegaan luar biasa menyeruduk hatinya. Setidaknya hari ini ia bias memperlakukan alam dengan bijaksana.
Tapi baru sampai teras rumah, Tomi menyusul pulang. Ia bersama dua orang. Satu membawa kamera, satu menjabat tangganya. Ia bingung.
“Ada yang mau ketemu Bapak, dari televisi lokal.” Tomi tersenyum.
“Ya pak, yang kami dengar anda bersinisiatif memelikahra ikan-ikan sapu-sapu karena sebelumnya menemukan ikan ajaib, namanya Dower…”
Dower? Ia tak mendengar lagi lanjutan kalimat reporter TV, buru-buru ia masuk rumah dan menengok ke aquarium. Dilihatnya ikan kesayangannya itu diam, diam dan diam.
Ia terpaku, aquarium itu selalu jernih. Dower selalu rajin membersihkannyanya sendiri, tapi ia pun terbiasa dengan asupan kacang dan selada dari empunya. Dan tadi pagi, empunyal memberinya,. Ia sibuk dengan rencana pada kolam.
Hari ini dia panen pleco.
Hari ini dower mati.
Rabu, 25 Agustus 2010
Selasa, 17 Agustus 2010
MARIA SHOPHIE
Tepat di menit ke 16 sblum pukul 9 q tiba disini, tmpat kramat bg q dan shophie. Angin berhmbus membw dingin dr utara. Surya terbelenggu awan putih berarak. Puing2 bngunan ini smakin angker saja. Bambu kuning dulunya pagar, kini menghutan. Patahan kayu bekas meja kursi terserak berbaur dlm hijau rumput dan alang2 tmpat brmain para capung dan kupu2. Sarang laba2 berglantungan. Membuatku slalu berpikir kalo mrk adlah siluman pnghuni tmpat ini, ditambah suara2 aneh dr rimbun bambu. Brada di suasana mistis tmpat ini membuatku slalu brdebar. Bukanx takut, tp menanti shophie masihlah hal yg paling mendidihkan adrenalinku. Tapi tetap saja aku melakukanx.
Agak nyeleneh memang perjanjian ini. Setiap 8 desember, aku dan shophie harus bersua di bekas SMU kami yg tinggal reruntuhan. Sementara jarak dan waktu telah menjadi penghalang yg seolah terburu buru melarikan diri. 17 th brlalu dan cm 1 yg tak brubah.
Cuma bringin di sdt kbn skolah yg msh ko2h brdiri. Ia yg slalu bs memutar mundur roda waktu ke masa lampau saat b dan sophie sepakat merangkai pita film kehidupan penuh darah muda yg mencapai box office dlm memori kami meski tnp stradara setingkat james cameroon atau stephen spielberg, akan tetap hidup sampai maut menjemput.
Shophie yg imut, slalu membuatku tertawa. Shophie my little one, rambutx yg blonde cepak memucatkan wajahx yg asli pucat dg bintik2 merah melanin. Spasang kejora biru yg slalu memancarkan sinar aneh bila q menatapnya. Tapi sophie tak terlalu anggun sbgai wanita. Ayah arkheologx mendidikx menjadi pribadi yg tegas dan tahan banting. Hasilx, seorang shophie yg maskulin meski senyumx slalu membangkitkan gairah lelakiku.
Dan aku menyukaix, smua bagian darix.
Entahlah, sepertinya ada sbuah ikatan,prasaan saling memiliki bila bola mata kami bradu, menggelora, butir2 darah bertubrukan, kaki gemetaran. Cinta? Apa benar q dan shophie memilih kata itu sbgai definisi engganx perceraian tubuh dan jiwa kami?
Tapi kepedihan itu datang, seiring kebersamaan kami di tahun ke3. Gempa meluluh lantakkan gedung, rumah, masjid, dan sekolah kita. Saat itu, 3hari usai gempa, ayah shophie memutuskan kembali ke negeri kincir anginx, dan tentu saja membw shophieku bersamax. Aku terkulai di floresku, remuk redam, tanpa harapan saat shophie kecilku yg mendadak jadi prempuan dwasa membiarkanku mereguk manisx anggur merah kaya madu duniawi yg sharusx terkunci di almari kesucianx. Kami menikmatix hambar. Dan shophie janji akan dtng tiap tahunx di 8 desember, ulangtahunx.
Slembar daun bringin jatuh menyentuh hidungku. Bangku batu yg kududuki trasa beku, sebeku kenangan tntang shophie masa lalu yg mlambaikan tangan ketika cm stangkai mawar putih kuberikan dihari trakhirx. Meski, meski tiap 8 desember ia tetap milikq seutuhnya.
Terdngar deru mobil berhenti. Hatiku melonjak. Ia telah datang, untuk ke 17 kalix. Shophieku! Aku makin gelisah. Padahal akar2 juntai bringin bergoyang mencambukku utk menyambut kekasih.
Ia sdh trn dr taxinya, dg setelan coklat muda. Rambutx tergerai sebahu, Gucci hitam tercangklong di bahu kiri, dan kotak kecil terayun ditangan satux. Agak hati2 ia menapaki rumput dg spatu hak tinggix. Wajahx anggun bak permaisuri yg harus menjaga kharismax.
Akh, ia memang sophie yg asing sejak 10th lalu. Ia bukan Maria Shophie, tp Ny Shophie Benhdie. Tahun lalu ia datang dg perut gendut utk ke3 kalix, membuatku urung melaksanakan niatku. Tapi tdk utk kali ini, aku tak mau mundur. Hasrat kotor krn aku tak pernah cukup puas dg hanya menikmati Shophie di 8 desmbr. Ini yg terbaik bagix, bagiku, bg cinta yg terbentur bidak permainan sang arkheolog. Shophie menikahi Benhdie, rekan ayahx. Dan aku, fauzan, kematus dalam kenangan.
"Zan!"
aku terpaku dalam diam. Tatapan shophie yg brada bbrp meter di dpanku membekukan nadi. Ingin q berontak mendapatkan bibirx, tp trnyt q trlalu menundax hingga tak sadar ialah yg sudah lekat didadaku. Memelukq erat hingga aku bs merasakan nafasx di kulitku dan goncangan kerinduan, air bening di pipi.
"Shophie."
"Zan, kukira kau tak mau datang lagi." ia melepas pelukanx. "Aku mimpi buruk, kita jatuh dari pesawat."
"sssh..." kubungkan kalimatx dg sntuhan telunjukq di bibir merahx. Menatap matanya yg... Oh, Tuhan! Ini membuatku tak sabar. Oh, please.. Jngan buat aku tegang karena menanti menikmati ini!
"kita sudah berjanji kan?" shophie tersenyum, menghapus pipiku yg basah. Kuraih tanganx utk duduk di bangku batuku.
"kau tak bw mobil?" dia mengusap usap wajahku, bibirku.
"dipakai istriku." aku memainkan anak rambutx...
Kami berdua berpandangan sejenak, aku dapat menebak apa yang ada dibenak Sophie. Tentu tak jauh dari yang aku harapkan selama ini. Sebuah pertemuan yang penuh gairah biru. Namun mungkihkah itu? Tidak, batinku mer...onta. Ia istri orang kini, tak jauh bedanya dengan diriku yang sekarang. Bahwa ada dua hati lain yang mengikat hati kami. Sesaat kembali bergetar dalam diriku. Debar hati yang tidak asing lagi. Sepasang matanya mengisyaratkan sesuatu. Hal yang sama seperti di 8 yang telah hilang dari rabaan panca indera kami. Kepasrahan dan juga ada kerinduan yang kuat. Sophie tidak menolak ketika aku mencium bibirnya. Juga tidak menolak takala aku memintanya untuk duduk disampingku. Saling berjuang mengendalikan tembang asmara lama yang sedang berlagu di diri kami masing-masing. Bertatapan. Kami berdua jadi salah tingkah. Kembali Sophie menunduk. Itulah caranya berkata, bahwa ia menginginkan akhir dari episode biru dahulu
" Sophie!", aku berbisik lirih di telinganya.
Perutnya yang membesar beirisikan jabang bayi yang dinantikan lelaki lain, detik itu pula hatiku tersayat sayat.
"Ya?", balasnya tak kalah lirih. Lantas ia menoleh kepadaku. Sepasang mata kami be...rcumbu. Ah, semua dari masa lalu kini hadir dan mencekikku. kesan-kesan yang masih lekat di benakku menghadirkan pesona masa lalunya. Begitu indah dan terasa akrab. Hei, teriaku dalam hati, daster merah jambu yang ia kenakan, bukankah itu adalah warna kesukaannya? Ah, kembali aku tersiksa.
" Zen? " katanya. Dan tanpa menungguku ia lanjutkan ucapannya," apakah cinta sejati itu benar ada?"
Aku tak mampu menjawabnya.
Sebuah bayangan menyentakku, Dan aku terbangun, segera menoleh , Sophia sama sekali tak ada disisiku. Ah, barangkali saja, lantaran sedemikian besar perasaan rinduku kepadanya membuatku jadi bermimpi yang bukan-bukan tentangnya. Tentang Maria Shopieku. Bidadari berdarah daging dari masa laluku yang kini resmi menjadi Sophie .
Benhdie.
Jawabnku singkat tapi menghasilkan tusukan dr matax
"kau slalu memanggilx bgtu? Istriku, sayangku?"
aku angkat bahu. "rasax, skali2 aku dipanggil bgtu olehmu."
..."tidak,kau bkn istriku. Kau kekasihku, sephiaku."
shophie tertawa.dibukax kotak kcil yg td dibwanya. Ah, kue chery. Slalu kue yg sama stiap tahunx. Dan aku, tentu saja q membawakanx sesuatu yg sama pula tiap tahunx, jus tomat. Katax tomat bnyk mengandung lycopen, bikin awet muda. Kusiapkan 2 gelas, untuknya, untukku.
"biar qt slalu muda sayang!" kutuang sgelas buatx.
"kau?"
"aku? Tentu saja q ingn mencicipi kuemu dulu." kuraih sepotong kue bgtu dia meraih gelasx.
"Avnat sudah 10 th. Ia ingin skali ikut kesini. Mungkn dia merasa, disinilah harusx dia berada." shophie bicara kalem, kerongkonganku tersekat, ingin q minum, tp kutahan, aku tak boleh tergoda.
Oh, Mengapa ia bgt bahagia seolah memiliki sbuah tanda mata dariku. Avnat, anakq disimpanx sbgai knangan. "ia dirimu, tak jauh darimu." ia mulai meneguk minumanx.
"tapi kau mencintaix! Si benhdie itu, kau bahagia dgx kan?" kuambil sekue lg, enak! Q kecanduan.
"kau jg bhagia!"
"ya, tentu saja! Aku punya istri, anak..."
"hentikan zan!" shophie membanting gelasx, pecah berserak. Tiba2 perutku mulas. "kau munafik! Aku brani memotong lidahku jika q salah, kau pasti membayangkan aku di tiap tidurmu, merasai istrimu sbgai aku!"
"sudah,"kusentuh ujung dagux, "pertemuan qt bukan utk brdbat hal yg ga penting mcm itu."
"ya," shophie mengelus ujung hidungku dg telunjukx,lalu mengisi gelas satux. Ayo, habiskan sayang, aku mulai bergairah meski perutku kian mulas,melilit, entah salah makan apa q td. "aku kesini krn aku rindu padamu." ia meneguk lg gelasx.
Terserah, aku tak mau komentar. Aku terlalu asyik membayangkan stelah ini dia hanya akan jd milikku, bkn benhdie!
Tapi ya ampun! Perutku! Isix berontak ingin meminta hangat dunia! Brengsek! Apa aku harus meninggalkanx disaat ini? Tidak! Sari tomat itu hampir habis, dan aku mendekati titik kemenanganku, hasrat yg trwujud dlm senyumku ketika shophie membiarkan jari2ku menelusuri wajahx. Oh, brengsek! Pnderitaanku sepertix bertambah, tiba2 pening hebat menyerbu jalinan syarafku.
"zan.."
jemari shophie meraih jemariku, bibirnya mendekati telingaku, tubuhx merangsek padaku, "aku ingin mengatakan sesuatu." bibirx gemetar, segemetarx aku karena pusing dan kram yg mencengkram perutku, mual menggemuruh. Sepert...inya makananku memaksa bebas dari jalan atas, saliva mencair dlm mulutku, aku menggigil, tanganku mencengkram bahu shophie erat. "aku slalu berpikir tentang ini.." kalimatx berdengung di rumah siputku, wajahnya tak berbentuk di mataku, yg ada hanya sakit! Sakit! Perutku menggelegak, bak diaduk aduk samurai dan garpu. Oh, aku tak tahan, panas! Perih!
Sgalax berputar, warna2 berubah kunang, otot2ku kaku mengejang, mataku seolah mau lari dr keranjangx. Stngah sadar, menggigil hebat kusaksikan shophie meneguk lg sari tomatx dg tangan kiri. Tangan kananx, memeluk leherku erat.
Oh, knp ia ms...h tegar padahal...ah, apa tujuanku malah berbalik menyerangku. Aku rasa aku telah mencuci tanganku dg sabun anti kuman, 7 kali bilasan!
"zan!" shophie membuang gelasx dan memelukq seeratx, nafasku sesak, aku merasa sekarat!
Aku dan shophie tersungkur dlm gigil di permukaan bumi berumput. Wajahx lengket di dadaku, nafasx tenang. Knapa? Knapa? Padahal jelas aku sudah mencampurkan racun tikus di sari tomatx, knapa malah aku yg susah payah merasa ajalnya.. Apa aku terlalu jahat pd shophie? Hingga harus lewat aku pedihnya rasa malakul maut menjemputnya? Kesakitanku merajah tulang sungsum. Kurasa ada asin basah melelehi hidung dan mulutku.
"zan, kucampurkan sianida di kuemu."
tiba2 aku ingin ktawa, cinta adalah kejahatan!
"racun tikus!"
...
tubuh kita masih saling berpeluk dlm basah. Aku tak tahu, dia menggigil sendiri atau karena aku tak bisa merasakan lg gerakanku. Diam, tak bth kata, aku meracunix, dia meracuniku. Adil. Dan kami akan pergi bersama sbgai para pendosa!
Akar beringin menjuntai kaku, angin datang mengadu duka, menyatukan dua roh yg melayang ketika tubuh2 mengejang. Cahaya menjadi warna warni dan ada sbuah tangga putih menuju langit.
"zan, maaf."
"shophie, maaf."
Agak nyeleneh memang perjanjian ini. Setiap 8 desember, aku dan shophie harus bersua di bekas SMU kami yg tinggal reruntuhan. Sementara jarak dan waktu telah menjadi penghalang yg seolah terburu buru melarikan diri. 17 th brlalu dan cm 1 yg tak brubah.
Cuma bringin di sdt kbn skolah yg msh ko2h brdiri. Ia yg slalu bs memutar mundur roda waktu ke masa lampau saat b dan sophie sepakat merangkai pita film kehidupan penuh darah muda yg mencapai box office dlm memori kami meski tnp stradara setingkat james cameroon atau stephen spielberg, akan tetap hidup sampai maut menjemput.
Shophie yg imut, slalu membuatku tertawa. Shophie my little one, rambutx yg blonde cepak memucatkan wajahx yg asli pucat dg bintik2 merah melanin. Spasang kejora biru yg slalu memancarkan sinar aneh bila q menatapnya. Tapi sophie tak terlalu anggun sbgai wanita. Ayah arkheologx mendidikx menjadi pribadi yg tegas dan tahan banting. Hasilx, seorang shophie yg maskulin meski senyumx slalu membangkitkan gairah lelakiku.
Dan aku menyukaix, smua bagian darix.
Entahlah, sepertinya ada sbuah ikatan,prasaan saling memiliki bila bola mata kami bradu, menggelora, butir2 darah bertubrukan, kaki gemetaran. Cinta? Apa benar q dan shophie memilih kata itu sbgai definisi engganx perceraian tubuh dan jiwa kami?
Tapi kepedihan itu datang, seiring kebersamaan kami di tahun ke3. Gempa meluluh lantakkan gedung, rumah, masjid, dan sekolah kita. Saat itu, 3hari usai gempa, ayah shophie memutuskan kembali ke negeri kincir anginx, dan tentu saja membw shophieku bersamax. Aku terkulai di floresku, remuk redam, tanpa harapan saat shophie kecilku yg mendadak jadi prempuan dwasa membiarkanku mereguk manisx anggur merah kaya madu duniawi yg sharusx terkunci di almari kesucianx. Kami menikmatix hambar. Dan shophie janji akan dtng tiap tahunx di 8 desember, ulangtahunx.
Slembar daun bringin jatuh menyentuh hidungku. Bangku batu yg kududuki trasa beku, sebeku kenangan tntang shophie masa lalu yg mlambaikan tangan ketika cm stangkai mawar putih kuberikan dihari trakhirx. Meski, meski tiap 8 desember ia tetap milikq seutuhnya.
Terdngar deru mobil berhenti. Hatiku melonjak. Ia telah datang, untuk ke 17 kalix. Shophieku! Aku makin gelisah. Padahal akar2 juntai bringin bergoyang mencambukku utk menyambut kekasih.
Ia sdh trn dr taxinya, dg setelan coklat muda. Rambutx tergerai sebahu, Gucci hitam tercangklong di bahu kiri, dan kotak kecil terayun ditangan satux. Agak hati2 ia menapaki rumput dg spatu hak tinggix. Wajahx anggun bak permaisuri yg harus menjaga kharismax.
Akh, ia memang sophie yg asing sejak 10th lalu. Ia bukan Maria Shophie, tp Ny Shophie Benhdie. Tahun lalu ia datang dg perut gendut utk ke3 kalix, membuatku urung melaksanakan niatku. Tapi tdk utk kali ini, aku tak mau mundur. Hasrat kotor krn aku tak pernah cukup puas dg hanya menikmati Shophie di 8 desmbr. Ini yg terbaik bagix, bagiku, bg cinta yg terbentur bidak permainan sang arkheolog. Shophie menikahi Benhdie, rekan ayahx. Dan aku, fauzan, kematus dalam kenangan.
"Zan!"
aku terpaku dalam diam. Tatapan shophie yg brada bbrp meter di dpanku membekukan nadi. Ingin q berontak mendapatkan bibirx, tp trnyt q trlalu menundax hingga tak sadar ialah yg sudah lekat didadaku. Memelukq erat hingga aku bs merasakan nafasx di kulitku dan goncangan kerinduan, air bening di pipi.
"Shophie."
"Zan, kukira kau tak mau datang lagi." ia melepas pelukanx. "Aku mimpi buruk, kita jatuh dari pesawat."
"sssh..." kubungkan kalimatx dg sntuhan telunjukq di bibir merahx. Menatap matanya yg... Oh, Tuhan! Ini membuatku tak sabar. Oh, please.. Jngan buat aku tegang karena menanti menikmati ini!
"kita sudah berjanji kan?" shophie tersenyum, menghapus pipiku yg basah. Kuraih tanganx utk duduk di bangku batuku.
"kau tak bw mobil?" dia mengusap usap wajahku, bibirku.
"dipakai istriku." aku memainkan anak rambutx...
Kami berdua berpandangan sejenak, aku dapat menebak apa yang ada dibenak Sophie. Tentu tak jauh dari yang aku harapkan selama ini. Sebuah pertemuan yang penuh gairah biru. Namun mungkihkah itu? Tidak, batinku mer...onta. Ia istri orang kini, tak jauh bedanya dengan diriku yang sekarang. Bahwa ada dua hati lain yang mengikat hati kami. Sesaat kembali bergetar dalam diriku. Debar hati yang tidak asing lagi. Sepasang matanya mengisyaratkan sesuatu. Hal yang sama seperti di 8 yang telah hilang dari rabaan panca indera kami. Kepasrahan dan juga ada kerinduan yang kuat. Sophie tidak menolak ketika aku mencium bibirnya. Juga tidak menolak takala aku memintanya untuk duduk disampingku. Saling berjuang mengendalikan tembang asmara lama yang sedang berlagu di diri kami masing-masing. Bertatapan. Kami berdua jadi salah tingkah. Kembali Sophie menunduk. Itulah caranya berkata, bahwa ia menginginkan akhir dari episode biru dahulu
" Sophie!", aku berbisik lirih di telinganya.
Perutnya yang membesar beirisikan jabang bayi yang dinantikan lelaki lain, detik itu pula hatiku tersayat sayat.
"Ya?", balasnya tak kalah lirih. Lantas ia menoleh kepadaku. Sepasang mata kami be...rcumbu. Ah, semua dari masa lalu kini hadir dan mencekikku. kesan-kesan yang masih lekat di benakku menghadirkan pesona masa lalunya. Begitu indah dan terasa akrab. Hei, teriaku dalam hati, daster merah jambu yang ia kenakan, bukankah itu adalah warna kesukaannya? Ah, kembali aku tersiksa.
" Zen? " katanya. Dan tanpa menungguku ia lanjutkan ucapannya," apakah cinta sejati itu benar ada?"
Aku tak mampu menjawabnya.
Sebuah bayangan menyentakku, Dan aku terbangun, segera menoleh , Sophia sama sekali tak ada disisiku. Ah, barangkali saja, lantaran sedemikian besar perasaan rinduku kepadanya membuatku jadi bermimpi yang bukan-bukan tentangnya. Tentang Maria Shopieku. Bidadari berdarah daging dari masa laluku yang kini resmi menjadi Sophie .
Benhdie.
Jawabnku singkat tapi menghasilkan tusukan dr matax
"kau slalu memanggilx bgtu? Istriku, sayangku?"
aku angkat bahu. "rasax, skali2 aku dipanggil bgtu olehmu."
..."tidak,kau bkn istriku. Kau kekasihku, sephiaku."
shophie tertawa.dibukax kotak kcil yg td dibwanya. Ah, kue chery. Slalu kue yg sama stiap tahunx. Dan aku, tentu saja q membawakanx sesuatu yg sama pula tiap tahunx, jus tomat. Katax tomat bnyk mengandung lycopen, bikin awet muda. Kusiapkan 2 gelas, untuknya, untukku.
"biar qt slalu muda sayang!" kutuang sgelas buatx.
"kau?"
"aku? Tentu saja q ingn mencicipi kuemu dulu." kuraih sepotong kue bgtu dia meraih gelasx.
"Avnat sudah 10 th. Ia ingin skali ikut kesini. Mungkn dia merasa, disinilah harusx dia berada." shophie bicara kalem, kerongkonganku tersekat, ingin q minum, tp kutahan, aku tak boleh tergoda.
Oh, Mengapa ia bgt bahagia seolah memiliki sbuah tanda mata dariku. Avnat, anakq disimpanx sbgai knangan. "ia dirimu, tak jauh darimu." ia mulai meneguk minumanx.
"tapi kau mencintaix! Si benhdie itu, kau bahagia dgx kan?" kuambil sekue lg, enak! Q kecanduan.
"kau jg bhagia!"
"ya, tentu saja! Aku punya istri, anak..."
"hentikan zan!" shophie membanting gelasx, pecah berserak. Tiba2 perutku mulas. "kau munafik! Aku brani memotong lidahku jika q salah, kau pasti membayangkan aku di tiap tidurmu, merasai istrimu sbgai aku!"
"sudah,"kusentuh ujung dagux, "pertemuan qt bukan utk brdbat hal yg ga penting mcm itu."
"ya," shophie mengelus ujung hidungku dg telunjukx,lalu mengisi gelas satux. Ayo, habiskan sayang, aku mulai bergairah meski perutku kian mulas,melilit, entah salah makan apa q td. "aku kesini krn aku rindu padamu." ia meneguk lg gelasx.
Terserah, aku tak mau komentar. Aku terlalu asyik membayangkan stelah ini dia hanya akan jd milikku, bkn benhdie!
Tapi ya ampun! Perutku! Isix berontak ingin meminta hangat dunia! Brengsek! Apa aku harus meninggalkanx disaat ini? Tidak! Sari tomat itu hampir habis, dan aku mendekati titik kemenanganku, hasrat yg trwujud dlm senyumku ketika shophie membiarkan jari2ku menelusuri wajahx. Oh, brengsek! Pnderitaanku sepertix bertambah, tiba2 pening hebat menyerbu jalinan syarafku.
"zan.."
jemari shophie meraih jemariku, bibirnya mendekati telingaku, tubuhx merangsek padaku, "aku ingin mengatakan sesuatu." bibirx gemetar, segemetarx aku karena pusing dan kram yg mencengkram perutku, mual menggemuruh. Sepert...inya makananku memaksa bebas dari jalan atas, saliva mencair dlm mulutku, aku menggigil, tanganku mencengkram bahu shophie erat. "aku slalu berpikir tentang ini.." kalimatx berdengung di rumah siputku, wajahnya tak berbentuk di mataku, yg ada hanya sakit! Sakit! Perutku menggelegak, bak diaduk aduk samurai dan garpu. Oh, aku tak tahan, panas! Perih!
Sgalax berputar, warna2 berubah kunang, otot2ku kaku mengejang, mataku seolah mau lari dr keranjangx. Stngah sadar, menggigil hebat kusaksikan shophie meneguk lg sari tomatx dg tangan kiri. Tangan kananx, memeluk leherku erat.
Oh, knp ia ms...h tegar padahal...ah, apa tujuanku malah berbalik menyerangku. Aku rasa aku telah mencuci tanganku dg sabun anti kuman, 7 kali bilasan!
"zan!" shophie membuang gelasx dan memelukq seeratx, nafasku sesak, aku merasa sekarat!
Aku dan shophie tersungkur dlm gigil di permukaan bumi berumput. Wajahx lengket di dadaku, nafasx tenang. Knapa? Knapa? Padahal jelas aku sudah mencampurkan racun tikus di sari tomatx, knapa malah aku yg susah payah merasa ajalnya.. Apa aku terlalu jahat pd shophie? Hingga harus lewat aku pedihnya rasa malakul maut menjemputnya? Kesakitanku merajah tulang sungsum. Kurasa ada asin basah melelehi hidung dan mulutku.
"zan, kucampurkan sianida di kuemu."
tiba2 aku ingin ktawa, cinta adalah kejahatan!
"racun tikus!"
...
tubuh kita masih saling berpeluk dlm basah. Aku tak tahu, dia menggigil sendiri atau karena aku tak bisa merasakan lg gerakanku. Diam, tak bth kata, aku meracunix, dia meracuniku. Adil. Dan kami akan pergi bersama sbgai para pendosa!
Akar beringin menjuntai kaku, angin datang mengadu duka, menyatukan dua roh yg melayang ketika tubuh2 mengejang. Cahaya menjadi warna warni dan ada sbuah tangga putih menuju langit.
"zan, maaf."
"shophie, maaf."
PENARI PENARI
Kutolak ajakan Hanh menari malam ini, kukatakan padanya seorang teman dari masa laluku ingin bertemu aku, namanya Raden Ayu Cahya Berliani, putri keraton berdarah biru.
Aku akan menemuinya di Meteora, tepat jam 8 malam. Meski begitu aku sudah di sana setengah jam sebelumnya. Sudah lama aku sejak aku tak kerja lagi di sini, tak pernah aku mampir. Ray pasti sudah merindukanku. Begitu melihatku dia langsung menyapa.
“Hai penari!” aku risih dipanggil begitu. Andai aku ini Deny Malik atau Nungki Kusumawati tak apalah, tapi aku adalah aku, tiada pantas aku menggunakan nama besar ‘penari’. Tapi Ray selalu memanggilku begitu, si Aussi yang kulit putihnya sering buat aku iri.
“Beri aku minuman halal!” teriakku mengimbangi musik di tingkah ritma yang menghipnotis agar kepala menjadi bak pendulum. Seketika sepasang alis waitress cute itu menyatu, tanda berpikir keras, mungkin sebuah pertanyaan, kenapa Tamara dengan minuman halal, pikirnya itu merupakan sesuatu yang kurang normal. “Aku mau menjamu seseorang, teman special dan dia orang baik-baik. Dia akan datang sebentar lagi, jadi kuharap, kau sebagai seseorang yang mengutamakan pelayanan terbaik…”
“Orang baik tetapi datang ke tempat semacam ini?” Ray sepertinya tak tahan utnuk tidak bertanya
“Bukankah aku dan kau juga orang baik? Tapi kenapa kau dan aku berada disini?”
“Okelah!” Ray angkat tangan. “2 orange juice, buat sang penari dan teman spesialnya!” akhirnya dia undur diri juga, aku lega. Ia dating lagi membawa minumanku, tapi tak bertanya lagi. Cuma tersenyum.
Masih mengikuti detak nadi musik, kunikmati orange juiceku. Sebenarnya aku ingin minum, tapi demi menghormati tamuku, sebaiknya kutahan keinginanku. Kuarahkan pandang menyekeliling, tepat saat itu kulihat dia, CB. Dan mungkin sebuah telepati terjalin, diapun melihat ke arahku.
Bak purnama mencorong di kerumunan bayangan tonggak-tonggak setan, ia datang juga padaku. Pasti kesedihannya begitu dalam, sehingga ia lupa kalau telah membuangku sekian tahun dari kehidupan sucinya. Tapi bukan itu masalahnya, hanya kukira perempuan sederajat dia takkan sudi bertandang ke tempat macam ini. Didikan priyayinya pastilah mengharamkan dansa dan Martini yang 100% halal buatku, kecuali kalau dia memilih jalan kiri.
“Hai CB!” kusapa ia seperti dulu aku biasa memanggilnya, “Kukira kau tak jadi datang.”
“Tami.” Sedetik usai ia menyambut nama kecilku, ia menghambur ke pelukanku. Kusambut, tapi tak semesra dulu. Aku sudah hilang rasa padanya. Meski ia tak banyak berubah dalam tujuh tahun perjalanan hidup, toh ia selalu berada di kurva keberuntungan. Masih ia cantik, anggun, mempesona… seutuhnya keajaiban wanita. Tapi sepertinya secuilpun aku tak mencintainya lagi.
“Bisa kita bicara di luar saja, aku pusing di sini.” Sudah ku duga itu. Oleh karena itu sudah kusiapkan mobilku, kuturuti ia jalan-jalan di kotaku. Lampu-lampu berpendar, mengalahkan wajah bulan tanggal 13.Ttak ada mendung selapispun yang merintangi pandangan bumi ke langit, sama seperti aku dan CB, dulu.
*****
Aku dan kau, penari-penari, IKJ 1997. Sekarangpun kita masih sama-sama menari. Bedanya, sebelum menari kau berendam cem-ceman kembang setaman, lulur mangir dijampi mantra-mantra, aku; garam mandi dan busa, sambil merem melek mendengarkan J-Lo bersalsa.
“Kau banyak berubah Tam.” Taruhan ia sedang memperhatikanku dari rambut ke kaki. Yah. Pasti itu.
“Tak ada yang tak berubah di kehidupan ini, kecuali Tuhan, karena Dialah sumber perubahan itu.”
“Tapi kau masih menari kan?”
“Tidak!” maaf aku bohong. Sebenarnya masih, tapi tergantung minat, tepatnya peminat. Satu lagi beda kita, jika kau menari karena apresiasi seni, maka aku menari demi exploitasi diri.
“Tapi kau masih sahabatku Tam?” masihkan?” Ah, retoris sekali pertanyaannya. Masih, atau tidak ya?
Jujur. Aku dulu bahkan jatuh cinta padamu dulu Berlian. Kukira kau juga mau karena kau pertama tak menolakku saat malam-malam dingin usai mengerjakan paper, kadang di kostku, atau di kostmu. Sekali dua kali, lama-lama ketagihan. Kau malah meminta. Bukan dosa, tapi semacam simbiosis mutualisme.
“Kau mau menolongku kan?”
Mau andai aku tak patah hati karena lalu kau menikah di semester VI dengan lelaki pilihan orang tuamu, priyayi juga tentunya. Aku juga masih mau menolongmu andai lalu kau masih mau menyentuhku tapi kau tidak mau lagi. Kau dingin padaku sehingga aku ingin putus kuliah dan pulang ke kotaku. Alih profesi dari mahasiswa ke Disk Jockey.
“Please deh, Tam!” harusnya aku telah terbiasa pada keinginannya untuk memonopoli diriku dengan segala permintaannya, tapi kalimat itu sudah membuatku trauma, karena itu jugalah yang dia ucapkan saat hendak menikah. Dan betapa aku ingin meludahinya, juga pada mempelai laki-lakinya itu, Raden Surya Dinara.
“Perempuan itu juga penari.” Keluhnya mengiba. Aku jadi sadar kalau ia bena-benar butuh bantuanku. Ironisnya, ia 99,9% sempurna jadi perhiasan dunia, tapi suaminya yang priyayi itu memilih ingkar. Kini tugaskulah untuk menyelidiki perselingkuhan suaminya selama ia jadi duta bangsa ke Paris, ia akan menari di sana.
“Bagaimana kalau perempuan itu aku?” Aku cengengesan, “Aku kan penari, eh, mantan penari!”
“Impossible!” tawanya lepas, “Aku jadi ingat waktu aku mau nikah dan kau menangis. Surya pikir kau tak rela aku dimiliki olehnya hingga dia mau menikahi kita dua-duanya. Gila! Padahal memang kau tak rela kan? Andai ia tahu siapa kau!” tiba-tiba aku sesak nafas.
“Andai ia juga tahu siapa kau!” tawanya lenyap mendadak, semendadak kuinjak rem hingga berdecit.
“Tam, jangan marah! Aku…….”
“Jika kau bisa menikmatinya dengan Surya, kenapa aku tidak?”
“Kau serius Tam?”
“Kau jangan egois begitu! Kita pernah janji apapun milikmu juga milikku bukan?” gugatku tajam.
“Tapi bukan Surya Tam, bukan suamiku.”
“So what kalau dia? Kau tak rela?” CB tak bicara lagi, matanya berkaca-kaca. Aku jadi ingin tertawa sudah berhasil memompa adrenalinnya. “Dasar manja! Kenapa sih gitu saja nangis! Aku cuma bercanda. Mana tega aku padamu.” Kuraih kepalanya dan kuberi kecupan di dahi, meski tanpa perasaan. Mungkin hanya secuil iba. “Ya sudah, akan kujaga dia baik-baik. Kupastikan penari itu takkan berani lagi ganggu kau.” Ia diam, tak bisa membalas canda kejamku.
Dalam diam, kutertawa dalam hati. Ah, hidup memang aneh. Seperempat jam berlalu, kuantar dia ke hotel tempat dia menginap.
“Tak mampir dula Tam?”
“Aku ada urusan.”
Kuikuti ia menghilang ke dalam sana, lepas sudah aku dari neraka saat kuluncurkan kembali mobilku di jalanan kotaku. 10 menit kemudian HPku menyalak, Ray.
“Penari, pacarmu di sini!”
“Suruh dia pergi, akukan tidak kerja di situ lagi. Katakan padanya aku takkan pulang sampai pukul 6 esok pagi.”
Ray, undur diri, kupencet nomor lain.
“Hahn, I’m sorry honey, I’ll come to you, I wanna be with”
“I am waiting.”
*****
Apartemenku aman saja selama ini. Jika ada orang lain masuk, kupastikan dialah pelakunya. Cuma ia yang punya duplikat kunciku. Saat kulangkahkan kaki, terdengar suara shower di tingkah lantunan lirih, you know I can’t smile without you, can’t…..
Gombal! Sok melankolis! Aku langsung ke kamar. Aku ngantuk usai semalaman begadang bersama si Jepang Hanh. Biasanya aku akan molor sampai tengah hari, baru sarapan. Begitu ketemu kasur, kurasa nikmat yang luar biasa, tapi entah baru berapa detik berlalu, kurasa sentuhan lelaki di pipiku, tangan dingin bau sabun wangi dan shampoo di rambut yang masih setengah basah. Ia yang tempan, menyebalkan!
“Pagi cantik!” aku menggeliat, menguap, hendak meneruskan tidur tapi tak jadi, kucium bau kopi buatan tangannya.
“Aku ke tempatmu semalaman. Ray bilang kau sudah pindah.”
“Apa harus minta ijin padamu dulu?” kuteguk kopinya, lalu ku taruh di meja. “Dan berapa kali harus kukatan padamu, jangan datang ke tempatmu bekerja.”
“Lho, kenapa? Padahal aku suka melihatmu jadi DJ, aksimu OK!”
“Aku Cuma tak ingin dan tak suka Ray mengatakan kau pacarku.”
Kudengar tawa lebar, kutinggalkan tempat tidur menuju kamar mandi. Kubiarkan curahan air dingin membuang kantukku.
“Apa salahnya?” ia berseru dari luar pintuku. “Atau kau sudah tak suka jadi pacarku.”
Aku diam. Tentu saja aku suka. Sejak dulu aku sudah suka padanya sejak kita bertemu pertama kali di acara pertunangan temanku Raden Ayu Cahya Berliana. Ialah yang pertama kali memperkenalkanku bagaimana untuk jadi wanita sejati, tepatnya sehari sebelum pesta pernikahan temanku CB dengannya 5 tahun lalu. Awalnya aku merasa dikhianati tapi akhirnya aku menikmati. Kupikir, akulah pengkhianat itu sendiri.
“Jika kau bosan jadi pacarku, aku siap menjadi suamimu.”
“Maaf, aku tidak mau terikat.”
“Aku menyukai prinsipmu, itu kenapa aku jatuh cinta padamu.”
“Bukan karena kau ingin memanfaatkan aku kan?” tapi kutelan saja kalimatku itu, tak sampai hati aku mengatakannya padanya. Aku jatuh cinta padanya, cinta bukanlah pemanfaatan. Ini simbiosis, sama seperti aku dan Berlian dulu, hanya ini berbeda. Ini yang seharusnya terjadi. Ini normal.
“Istrimu kemana?”
“Ke Paris, menari.”
“Kau aneh memang. Istrimu penari, tapi ingin menari bersamaku.”
“Ah, dia penari panggung, tapi nol di tempat tidur. Kau penari yang asli, dia itu lesbi.”
Aku ingin tertawa, tapi tak tahu alasannya, entah bahagia atau terluka.
Usai mandi ia mengajakku menari sampai jelang surya mati. Biasanya akan menyenangkan tapi kali ini terasa hambar.
Entah, mungkin di suatu tempat di bilangan kota Pahlawan ini, CB sedang menari juga, entah bersama siapa. Ia juga bohong mengatakan kepergiannya ke Paris tadi siang, karena ia baru akan berangkat dua hari lagi.
Masih dalam pelukan raden Surya Dinara aku dibelai ragu, apakah sebenarnya putri keraton itu sudah tahu kalau sebenarnya penari yang dicarinya adalah aku.
Aku akan menemuinya di Meteora, tepat jam 8 malam. Meski begitu aku sudah di sana setengah jam sebelumnya. Sudah lama aku sejak aku tak kerja lagi di sini, tak pernah aku mampir. Ray pasti sudah merindukanku. Begitu melihatku dia langsung menyapa.
“Hai penari!” aku risih dipanggil begitu. Andai aku ini Deny Malik atau Nungki Kusumawati tak apalah, tapi aku adalah aku, tiada pantas aku menggunakan nama besar ‘penari’. Tapi Ray selalu memanggilku begitu, si Aussi yang kulit putihnya sering buat aku iri.
“Beri aku minuman halal!” teriakku mengimbangi musik di tingkah ritma yang menghipnotis agar kepala menjadi bak pendulum. Seketika sepasang alis waitress cute itu menyatu, tanda berpikir keras, mungkin sebuah pertanyaan, kenapa Tamara dengan minuman halal, pikirnya itu merupakan sesuatu yang kurang normal. “Aku mau menjamu seseorang, teman special dan dia orang baik-baik. Dia akan datang sebentar lagi, jadi kuharap, kau sebagai seseorang yang mengutamakan pelayanan terbaik…”
“Orang baik tetapi datang ke tempat semacam ini?” Ray sepertinya tak tahan utnuk tidak bertanya
“Bukankah aku dan kau juga orang baik? Tapi kenapa kau dan aku berada disini?”
“Okelah!” Ray angkat tangan. “2 orange juice, buat sang penari dan teman spesialnya!” akhirnya dia undur diri juga, aku lega. Ia dating lagi membawa minumanku, tapi tak bertanya lagi. Cuma tersenyum.
Masih mengikuti detak nadi musik, kunikmati orange juiceku. Sebenarnya aku ingin minum, tapi demi menghormati tamuku, sebaiknya kutahan keinginanku. Kuarahkan pandang menyekeliling, tepat saat itu kulihat dia, CB. Dan mungkin sebuah telepati terjalin, diapun melihat ke arahku.
Bak purnama mencorong di kerumunan bayangan tonggak-tonggak setan, ia datang juga padaku. Pasti kesedihannya begitu dalam, sehingga ia lupa kalau telah membuangku sekian tahun dari kehidupan sucinya. Tapi bukan itu masalahnya, hanya kukira perempuan sederajat dia takkan sudi bertandang ke tempat macam ini. Didikan priyayinya pastilah mengharamkan dansa dan Martini yang 100% halal buatku, kecuali kalau dia memilih jalan kiri.
“Hai CB!” kusapa ia seperti dulu aku biasa memanggilnya, “Kukira kau tak jadi datang.”
“Tami.” Sedetik usai ia menyambut nama kecilku, ia menghambur ke pelukanku. Kusambut, tapi tak semesra dulu. Aku sudah hilang rasa padanya. Meski ia tak banyak berubah dalam tujuh tahun perjalanan hidup, toh ia selalu berada di kurva keberuntungan. Masih ia cantik, anggun, mempesona… seutuhnya keajaiban wanita. Tapi sepertinya secuilpun aku tak mencintainya lagi.
“Bisa kita bicara di luar saja, aku pusing di sini.” Sudah ku duga itu. Oleh karena itu sudah kusiapkan mobilku, kuturuti ia jalan-jalan di kotaku. Lampu-lampu berpendar, mengalahkan wajah bulan tanggal 13.Ttak ada mendung selapispun yang merintangi pandangan bumi ke langit, sama seperti aku dan CB, dulu.
*****
Aku dan kau, penari-penari, IKJ 1997. Sekarangpun kita masih sama-sama menari. Bedanya, sebelum menari kau berendam cem-ceman kembang setaman, lulur mangir dijampi mantra-mantra, aku; garam mandi dan busa, sambil merem melek mendengarkan J-Lo bersalsa.
“Kau banyak berubah Tam.” Taruhan ia sedang memperhatikanku dari rambut ke kaki. Yah. Pasti itu.
“Tak ada yang tak berubah di kehidupan ini, kecuali Tuhan, karena Dialah sumber perubahan itu.”
“Tapi kau masih menari kan?”
“Tidak!” maaf aku bohong. Sebenarnya masih, tapi tergantung minat, tepatnya peminat. Satu lagi beda kita, jika kau menari karena apresiasi seni, maka aku menari demi exploitasi diri.
“Tapi kau masih sahabatku Tam?” masihkan?” Ah, retoris sekali pertanyaannya. Masih, atau tidak ya?
Jujur. Aku dulu bahkan jatuh cinta padamu dulu Berlian. Kukira kau juga mau karena kau pertama tak menolakku saat malam-malam dingin usai mengerjakan paper, kadang di kostku, atau di kostmu. Sekali dua kali, lama-lama ketagihan. Kau malah meminta. Bukan dosa, tapi semacam simbiosis mutualisme.
“Kau mau menolongku kan?”
Mau andai aku tak patah hati karena lalu kau menikah di semester VI dengan lelaki pilihan orang tuamu, priyayi juga tentunya. Aku juga masih mau menolongmu andai lalu kau masih mau menyentuhku tapi kau tidak mau lagi. Kau dingin padaku sehingga aku ingin putus kuliah dan pulang ke kotaku. Alih profesi dari mahasiswa ke Disk Jockey.
“Please deh, Tam!” harusnya aku telah terbiasa pada keinginannya untuk memonopoli diriku dengan segala permintaannya, tapi kalimat itu sudah membuatku trauma, karena itu jugalah yang dia ucapkan saat hendak menikah. Dan betapa aku ingin meludahinya, juga pada mempelai laki-lakinya itu, Raden Surya Dinara.
“Perempuan itu juga penari.” Keluhnya mengiba. Aku jadi sadar kalau ia bena-benar butuh bantuanku. Ironisnya, ia 99,9% sempurna jadi perhiasan dunia, tapi suaminya yang priyayi itu memilih ingkar. Kini tugaskulah untuk menyelidiki perselingkuhan suaminya selama ia jadi duta bangsa ke Paris, ia akan menari di sana.
“Bagaimana kalau perempuan itu aku?” Aku cengengesan, “Aku kan penari, eh, mantan penari!”
“Impossible!” tawanya lepas, “Aku jadi ingat waktu aku mau nikah dan kau menangis. Surya pikir kau tak rela aku dimiliki olehnya hingga dia mau menikahi kita dua-duanya. Gila! Padahal memang kau tak rela kan? Andai ia tahu siapa kau!” tiba-tiba aku sesak nafas.
“Andai ia juga tahu siapa kau!” tawanya lenyap mendadak, semendadak kuinjak rem hingga berdecit.
“Tam, jangan marah! Aku…….”
“Jika kau bisa menikmatinya dengan Surya, kenapa aku tidak?”
“Kau serius Tam?”
“Kau jangan egois begitu! Kita pernah janji apapun milikmu juga milikku bukan?” gugatku tajam.
“Tapi bukan Surya Tam, bukan suamiku.”
“So what kalau dia? Kau tak rela?” CB tak bicara lagi, matanya berkaca-kaca. Aku jadi ingin tertawa sudah berhasil memompa adrenalinnya. “Dasar manja! Kenapa sih gitu saja nangis! Aku cuma bercanda. Mana tega aku padamu.” Kuraih kepalanya dan kuberi kecupan di dahi, meski tanpa perasaan. Mungkin hanya secuil iba. “Ya sudah, akan kujaga dia baik-baik. Kupastikan penari itu takkan berani lagi ganggu kau.” Ia diam, tak bisa membalas canda kejamku.
Dalam diam, kutertawa dalam hati. Ah, hidup memang aneh. Seperempat jam berlalu, kuantar dia ke hotel tempat dia menginap.
“Tak mampir dula Tam?”
“Aku ada urusan.”
Kuikuti ia menghilang ke dalam sana, lepas sudah aku dari neraka saat kuluncurkan kembali mobilku di jalanan kotaku. 10 menit kemudian HPku menyalak, Ray.
“Penari, pacarmu di sini!”
“Suruh dia pergi, akukan tidak kerja di situ lagi. Katakan padanya aku takkan pulang sampai pukul 6 esok pagi.”
Ray, undur diri, kupencet nomor lain.
“Hahn, I’m sorry honey, I’ll come to you, I wanna be with”
“I am waiting.”
*****
Apartemenku aman saja selama ini. Jika ada orang lain masuk, kupastikan dialah pelakunya. Cuma ia yang punya duplikat kunciku. Saat kulangkahkan kaki, terdengar suara shower di tingkah lantunan lirih, you know I can’t smile without you, can’t…..
Gombal! Sok melankolis! Aku langsung ke kamar. Aku ngantuk usai semalaman begadang bersama si Jepang Hanh. Biasanya aku akan molor sampai tengah hari, baru sarapan. Begitu ketemu kasur, kurasa nikmat yang luar biasa, tapi entah baru berapa detik berlalu, kurasa sentuhan lelaki di pipiku, tangan dingin bau sabun wangi dan shampoo di rambut yang masih setengah basah. Ia yang tempan, menyebalkan!
“Pagi cantik!” aku menggeliat, menguap, hendak meneruskan tidur tapi tak jadi, kucium bau kopi buatan tangannya.
“Aku ke tempatmu semalaman. Ray bilang kau sudah pindah.”
“Apa harus minta ijin padamu dulu?” kuteguk kopinya, lalu ku taruh di meja. “Dan berapa kali harus kukatan padamu, jangan datang ke tempatmu bekerja.”
“Lho, kenapa? Padahal aku suka melihatmu jadi DJ, aksimu OK!”
“Aku Cuma tak ingin dan tak suka Ray mengatakan kau pacarku.”
Kudengar tawa lebar, kutinggalkan tempat tidur menuju kamar mandi. Kubiarkan curahan air dingin membuang kantukku.
“Apa salahnya?” ia berseru dari luar pintuku. “Atau kau sudah tak suka jadi pacarku.”
Aku diam. Tentu saja aku suka. Sejak dulu aku sudah suka padanya sejak kita bertemu pertama kali di acara pertunangan temanku Raden Ayu Cahya Berliana. Ialah yang pertama kali memperkenalkanku bagaimana untuk jadi wanita sejati, tepatnya sehari sebelum pesta pernikahan temanku CB dengannya 5 tahun lalu. Awalnya aku merasa dikhianati tapi akhirnya aku menikmati. Kupikir, akulah pengkhianat itu sendiri.
“Jika kau bosan jadi pacarku, aku siap menjadi suamimu.”
“Maaf, aku tidak mau terikat.”
“Aku menyukai prinsipmu, itu kenapa aku jatuh cinta padamu.”
“Bukan karena kau ingin memanfaatkan aku kan?” tapi kutelan saja kalimatku itu, tak sampai hati aku mengatakannya padanya. Aku jatuh cinta padanya, cinta bukanlah pemanfaatan. Ini simbiosis, sama seperti aku dan Berlian dulu, hanya ini berbeda. Ini yang seharusnya terjadi. Ini normal.
“Istrimu kemana?”
“Ke Paris, menari.”
“Kau aneh memang. Istrimu penari, tapi ingin menari bersamaku.”
“Ah, dia penari panggung, tapi nol di tempat tidur. Kau penari yang asli, dia itu lesbi.”
Aku ingin tertawa, tapi tak tahu alasannya, entah bahagia atau terluka.
Usai mandi ia mengajakku menari sampai jelang surya mati. Biasanya akan menyenangkan tapi kali ini terasa hambar.
Entah, mungkin di suatu tempat di bilangan kota Pahlawan ini, CB sedang menari juga, entah bersama siapa. Ia juga bohong mengatakan kepergiannya ke Paris tadi siang, karena ia baru akan berangkat dua hari lagi.
Masih dalam pelukan raden Surya Dinara aku dibelai ragu, apakah sebenarnya putri keraton itu sudah tahu kalau sebenarnya penari yang dicarinya adalah aku.
KERETA
Aku konstipasi, ini sangat menyiksa! Minuman berserat sudah. Papaya, pisang, wortel, bengkuang, sudah kulahap semua. Tapi belum juga keturutan hasrat alamiku itu. Padahal biasanya tiap pagi aku selalu mendaftar ke kelakang. Kata orang tua dulu, kalau tidak bisa melaksanakan “ini” di suatu tempat, berarti tidak kerasan.
Aku memang tidak kerasan, meski ini rumah nenekku, ibu dari bapakku. 3 hari saja cukup disini. Aku ingin pulang. Harus hari ini.
Stasiun Sedadi pukul 06.15. Aku dan Bapak memilih naik kereta api dari stasiun kecil ini ke stasiun Bojonegoro, baru dilanjut naik bis ke Lamongan. Bisa menghemat waktu dan biaya kalau dibanding naik bis saja yang harus oper beberapa kali di beberapa terminal, Purwodadi-Blora, Blora-Cepu, Cepu-Bojonegoro, Bojonegoro-Lamongan. Naik patas, bapakku masuk angin, maklum orang udik.
Tapi sepertinya KRD yang akan kami naiki bakal telat. Sebuah kereta Executive masih mangkrak di stasiun sejak setengah jam lalu. Katanya ada kerusakan di mesin loko. Harus menunggu loko pengganti dari stasiun sebelumnya untuk bisa melanjutkan perjalanan. Penumpangnya pada turun, berjalan-jalan di sekitar stasiun, menambah padat antrian penumpang di peron stasiun kecil ini.
“Pulangnya ditunda besok saja Nduk. Lha wong liburnya masih panjang saja kok.” Bulik Pur menjejalkan entah apa lagi ke dalam kardus yang seyogyanya kubawa pulang sebagai oleh-oleh. Padahal bawaanku sudah cukup berat.
Aku Cuma nyengir saja pada sepupu bapakku itu, satu-satunya keluarga yang mengantar kami ke stasiun. Semalam kami tidur di rumahnya, dari stasiun hanya berjalan sekitar 50 langkah ke arah utara, lalu belok kanan, ada masjid. Nah, di sebelah timr masjid itulah rumahnya.
“Paling sebentar lagi lokonya juga datang.” Sanggahku yang disusul pengumuman dari pengeras suara stasiun yang menyatakan bahwa loko pengganti sedang dalam perjalanan dari stasiun Godong menuju Sedadi. Para penumpang kereta executive buru-buru naik, karena kereta akan segera diberangkatkan jika loko pengganti sudah terpasang. Dan… belum selesai pengumumannya, dan bahwa KRD masih akan telat dalam 45 menit ke depan. Aduhhh!!!
“Apa naik kereta ini saja?” usul bulik Pur.
“Maksudnya?” bapak yang sejak tadi membaca Koran menukas.
“Ya ikut kereta executive ini saja. Aku bisa nego sama pegawai stasiun.”
“Illegar passenger Bulik?” desisku.
“Jangan bicara bahasa Inggris, aku ora mudeng (aku tidak paham). Gimana? Aku bilangkan ya.”
“Illegal passenger itu penumpang illegal Bulik.”
“Ya tidak, kalian toh tetap membayar karcis kok . memang lebih mahal dari KRD, tapi jika dibanding naik bis, biayanya sama kok.”
Bapak berpikir sebentar, mungkin menghitung-hitung dalam hati. Aku tahu dia tidak suka jalan kiri. Sementara itu terdengar gemuruh dari arah barat, lokonya terlihat dari kejauhan. Aku jadi membayangkan naik kereta executive. Selama ini biasanya aku Cuma naik KRD, kereta ekonomi, dengan asongan bersliweran.
Tapi bapak menggeleng.
“Ga usah, menunggu KRD saja, yang sah-sah sajalah.”
“Ya sudah, aku pulang dulu, memandikan anaknya Mat dulu. Nanti kesini lagi, toh KRDnya telat kan?” Bulik Pur balik langkah, tapi belum genap sepuluh langkah dia berjalan, ia berbalik.
“Barangkali nanti tak sempat balik. Anaknya Mat biasanya nakal.” Katanya sambil memeluk dan cipika cipiki denganku, :Ati-ati ya Nduk, Mas. Salam buat Mbak Um.”
Dan akhirnya ia benar-benar pergi, meninggalkan kami yang sabar menunggu KRD.
“Terlalu beresiko kalau naik kereta ini. Kalau ketahuan tidak bawa karcis, bisa-bisa didenda. Malah tekor. Maunya untung malah buntung.”
“Terserah, yang penting pulang hari ini.”
Kurelakan kereta Executive meninggalkanku. Kuraba perutku yang butuh dikeluarkan racunnya. Rasanya tubuh ini membawa beban berat tak tertahankan. Aku duduk, facebookan dulu ah. Update status, sedang menunggu kereta…..
Ternyata tak sampai 45 menit menunggu, KRD sudah datang. Aku dan bapak buru-buru naik dan berdesak-desakan. Sepertinya tak ada tempat duduk kosong, semuanya sudah terisi.
Kereta meninggalkan Sedadi. Didekatku berdiri duduk seorang nenek yang sibuk menawarkan kursinya padaku. Katanya ia Cuma akan melewati dua stasiun selanjutnya saja. Di sebelahnya, sepasang suami istri muda. Si laki-laki asyik merokok, si perempuan sibuk meneteki bayi 3 bulannya (nenek tadi sempat bertanya usia si bayi pada ibunya). Tanpa malu-malu ia dan sepertinya tutup telinga pada beberapa remaja muda yang asyik berbisik-bisik mengenai sumber ASInya yang menggugah selera. Aduh, harusnya ia menutupinya dengan selendang, tak dibiarkannya terbuka begitu. Aurat. Aurat kenapa diumbar di tempat umum, dan suaminya sama sekali tak perduli. Astagfirullah!
Segera kupalingkan pandang ke arah jendela. Persawahan belaka. Beberapa pedagang asongan lalu-lalang sambil melengkingkan suara menawarkan dagangannya. Tiap mereka lewat selalu saja aku harus merubah posisi badan. Coba saja aku punya mobil sendiri, jadi tak perlu berhimpit-himpitan begini. Terjaga kehormatan seorang wanita.
Ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar. Baru saja tanganku hendak bergerak menuju saku, tiba-tiba kereta bergerak aneh, meliuk tersendat-sendat, jeg…jeg…. Grrrekkk…..sssshhhhhh…… semua sibuk mencari pegangan. Beberapa berteriak memekikkan namaNya.
Mesin kereta berhenti. Kecepatannya berkurang , memelan, lalu berhenti total.
Kereta macet. Baru 1 kilometer dari stasiun Sedadi!
Kanan kiri persawahan menguning. Para penumpang rebut. Dari gerbong ke gerbong, mulut ke mulut, beredar berita, kereta mengalami kesalahan tekhnis, dan harus ditarik lagi ke stasiun Sedadi untuk perbaikan. Aduh…..
Akhirnya, Bulik Pur sudah menunggu di stasiun ketika aku dan bapak turun dari KRD.
“Nah, itu pertanda kalian sebenarnya tidak boleh pulang dulu.”
Ledeknya membuatku jadi putus asa. Andai saja ia tahu, aku tak tahan lagi dengan apa yang tertahan di usus besarku ini, medesak-desak ingin keluar, tapi begitu siap dikeluarkan, ia malah berbalik arah memberontak. Aku tersiksa!
Pengeras suara kembali berbunyi, kali ini mengumumkan bahwa kereta Executive Argo Muria akan segera tiba. Sementara KRD akan ditarik ke stasiun Godong untuk perbaikan mesin dan diperkirakan baru bisa beroperasi lagi kurang lebih 5 jam ke depan. Nah lho….
“Sudah, ikut Argo Muria saja.” Tawar Bulik Pur lagi. Bapak berpikir-pikir lagi, lalu memandangku.
“Apa tidak berbahaya tanpa karcis? Kalau ketahuan trerus didenda bagaimana?” Bapak mengungkapkan kekhawatrannya.
“Ah, tidak apa-apa. Aku biasa kok nitipkan orang ke Surabaya tanpa karcis. Bilang saja keluarga pegawai stasiun, mereka pasti mengerti.”
Kesalahan sistem yang jadi kebiasan. Nepotisme sudah jadi budaya lebih dari tujuh turunan. Tapi, sepertinya adakalanya melanggar aturan itu bisa menjadi pengalaman yang mengasikkan.
“Kira-kira berapa? Mahal ga? Kan kereta Executive”
“Kira-kirakan sama dengan biaya naik biasa saja.” Kata Bulik Pur.
“Ya sudahlah, oke”
“Kalau begitu aku ke kantor pegawai stasiun dulu.” Bulik Pur melangkah menuju kantor stasiun. Sementara sudah terdengar gemuruh kereta Argo Muria dari arah barat. Wah, ini bakal jadi pengalaman pertamaku naik kereta Executive.
Bulik Pur kembali lagi dengan seorang berseragam pegawai stasiun. Tertulis namanya, Karmijan.
“Ini masku dan anaknya. Mau ke Surabaya.” Ia memperkenalkan kami pada laki-laki itu.
“Ah, tidak, cukup sampai Bojonegoro saja.” Bapak menyela cepat. Dia bilang padaku tadi ketika Bulik Pur meninggalkan kami kalau andai memang bisa ikut kereta Executive itu, kita akan turun Bojonegoro saja, lalu naik bis ke Lamongan seperti rencana semula. Kereta Executive itu memang tidak akan berhenti menurunkan penumpang di stasiun Lamongan, tapi Surabaya. Itu berarti jika kami terus ikut sampai Surabaya, maka kami harus kembali ke Lamongan lagi. Membuang waktu dan biaya tentunya.
“Ya, Bojoneoro saja.” Ralat Bulik Pur.
“Bisa, bisa. Gampang. Ayo sekarang naik. Keretanya tidak akan berhenti lama.”
“Tapi..”
“Ah, nanti diatas saja.”
Selanjutnya kesepakatannya adalah sebagai berikut, kami akan turun di Bojonegoro dengan pembayaran Rp 25 ribu perkepala, jadi totalnya 50ribu. Tapi masih ada satu syarat lagi rupanya.
“Nanti kalau turun pakai pintu sebelah selatan. Jangan terburu-buru turun dari kereta dan keluar stasiun. Tunggu sampai semua penumpang sudah turun semua, sepi. Lalu ketika di pintu keluar dimana petugas akan meminta karcis, bilang saja. Keluarga Pak Karmijan.”
Seorang laki-laki berseragam, tentunya petugas kereta mengantar kami berjalan sepanjang gerbong untuk menunjukkan di kursi mana kami bisa duduk. Hhh, rasanya seperti tahanan yang harus mengikitu polisi, menunduk dengan rasa bersalah. Aduh, jadi tidak percaya diri aku. Yang naik kereta ini notabene pasti orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Petugas itu juga dengan ramah mempersilahkan kami duduk, seolah aku dan Bapak adalah tamu kebesarannya. Padahal begitu duduk bapak langsung mengeluh.
“Dingin…” ia merapatkan jaketnya. Tentu saja,AC menyala gempita di kereta ini. Taruhan, nanti sampai rumah dia bakal minta dikerokin.
Kereta meninggalkan Sedadi. Sepertinya akan lancar-lancar saja. Aku log in ke facebookku. Kusibukkan diri dengan membaca beberapa beberapa komen di statusku dan memberi koment di status teman. Terima kasih…………,
Entah beberapa menit kereta melaju, sepertinya kecepatannya melambat dari semula. Sepertinya bukan hanya aku yang merasa. Penumpang lain juga melongok-longok keluar jendela. Hmmm, jangan-jangan kereta mengalami kesalahan tekhnis lagi. Jangan-jangan aku memang tidak boleh pulang hari ini.
“Ada yang tertabrak.”
Terdengar suara salah satu penumpang. Kereta berjalan pelan. Kulihat orang-orang diluar sana berkerumun di sekitar rel kereta. Ternyata kereta excecutive yang pertama tadi telah memakan korban. Ada sesuatu yang ditutupi kertas Koran diantara orang-orang itu. Aku memalingkan muka.
“Untunglah kita tadi tidak naik kereta tadi.” Kata bapak.
‘Kira-kira kita sudah sampai dimana ini Pak?”
“Baru akan nyampai Gambrengan.”
“Oh..”
“Lapar Va.”
“Minta menu pada si mbak-mbak itu.” Dari tadi si mbak-mbak berseragam rapi sesekali lewat untuk melayani kebutuhan penumpang.
“Wah, tidak kuat bayar harganya. Jangan-jangan mahal. Nanti saja di stasiun”
Kereta melaju kembali. Di depan sana stasiun Gambrengan. Kereta berhenti. Bapak keluar, tak lama kemudian sudah kembali dengan dua bungkus nasi pecel.
“Kamu tidak makan?” Tanya Bapak, aku Cuma menggeleng. “Penjualnya mengira kita-kita ini orang kaya. Masa harga nasi pecel bungkus saja 10.000.-.”
Aku tertawa lebar.
“Ya benar saja. Kalau kita bisa naik kereta ini kan berarti kita kaya.”
“Alhamdulillah.”
Bapak menikmati pecelnya. Kereta mulai melaju lagi.
“Siapa tadi nama petugas stasiunnya?” Tanya Bapak..
Blank! Tiba-tiba aku lupa.
“Ehm… Surijan? Bukan, Karjan?” bukan juga. “Lupa Pak.”
“Lupa gimana? Nanti kita harus ngomong gimana kalau keluar stasiun? Aduh!”
“Yah, beneran lupa!”
“Cepat SMS Mat.” Mat anak Bulik Pur, dia pasti tahu. Segera aku menulis SMS.
Siapa nama petugas stasiun yang tadi ditemui Bulik Pur, tolong tanyakan.
Sending message……………..sending failed!
Hah! Sekali lagi. Sending message………………sending failed!
“Ga ada sinyal! Coba pakai ponsel bapak saja”
Bapak sibuk mengotak-atik ponselnya. Wajahnya tegang, lalu geleng-geleng kepala.
“Tak ada sinyal juga.”
Aduh, gimana ini???
“Coba kamu ingat-ingat siapa namanya, Pak Jan siapa tadi. Kalau sampai kita tidak bisa mengatakan nama lengkapnya, bisa-bisa kena denda kita!”
Aku memejamkan mata, berpikir keras menggali memori. Sarijan. Bukan. Turjan, bukan, Marijan juga bukan. Aduh!!!!
Sambil berpikir masih terus kucoba mengirim SMS pada Mat. Tapi tetap saja gagal. Aku tegang, bapak tegang.
Kereta terus melaju. Aku masih terus mengingat-ingat. Masih terus juga mencoba mengirim SMS. Setengah putus asa.
Sending message………………….. message sent! Message delivered!
“Bisa! Sudah bisa!” seperti mendapat rejeki aku hampir berteriak.
“Sudah dibalas?”
“Belum. Tapi sudah delivered”
Menunggu itu menjemukan! Kukirim SMS itu sekali lagi, delivered lagi. Tapi belum ada balasan dari Mat.
“Sudah hampir mendekati Bojonegoro.” Tukas Bapak.
“Mat sibuk mungkin.” Mat seorang supir, bias jadi ia tak sempat membalas SMS kalau sedang menyetir. “Atau jangan-jangan ponselnya ketinggalan di rumah. Apa tidak ada orang lain lagi yang bisa dihubungi?”
“Tidak ada. Yah, mungkin nasib kita. Harusnya memang tidak naik kereta ini ya ngeyel naik. Sekarang terima saja resikonya.” Bapak memeriksa dompetnya, “Semoga saja uangnya masih cukup membayar dendanya.” Nada putus asa jelas terdengar. Saat itu ponselku bergetar. 1 message received, Mat.
Isinya singkat saja, Pak Karmijan
“Karmijan! Susah amat ingatnya!” lega kuhempaskan punggung. Dari tadi aku ngantuk. Hanya karena sebuah nama, Karmijan.
Di Stasiun Bojonegoro. Kereta berhenti.
“Tunggu sampai penumpang habis. Lewat pintu selatan.”
Aku dan Bapak mematuhi perintah itu. Kami jadi penumpang paling akhir yang keluar. Petugas pemeriksa karcis hanya mengangguk kecil ketika Bapak dengan hati-hati menukas,
“Keluarga pak Karmijan.”
Keluar dari stasiun, rasanya aku bias bebas menghirup udara segar lagi. Dengan becak aku dan bapak menuju terminal Bojonegoro. Dari sana kita naik bis menuju Lamongan. Sampai rumah aku langsung melampiaskan hasratku. Alhamdulillah. Home sweet home.
Sambil menikmati kegiatanku, aku terbayang wajah Pak Karmijan dan Bulik Pur. Terima kasih Pak Karmijan.
Aku memang tidak kerasan, meski ini rumah nenekku, ibu dari bapakku. 3 hari saja cukup disini. Aku ingin pulang. Harus hari ini.
Stasiun Sedadi pukul 06.15. Aku dan Bapak memilih naik kereta api dari stasiun kecil ini ke stasiun Bojonegoro, baru dilanjut naik bis ke Lamongan. Bisa menghemat waktu dan biaya kalau dibanding naik bis saja yang harus oper beberapa kali di beberapa terminal, Purwodadi-Blora, Blora-Cepu, Cepu-Bojonegoro, Bojonegoro-Lamongan. Naik patas, bapakku masuk angin, maklum orang udik.
Tapi sepertinya KRD yang akan kami naiki bakal telat. Sebuah kereta Executive masih mangkrak di stasiun sejak setengah jam lalu. Katanya ada kerusakan di mesin loko. Harus menunggu loko pengganti dari stasiun sebelumnya untuk bisa melanjutkan perjalanan. Penumpangnya pada turun, berjalan-jalan di sekitar stasiun, menambah padat antrian penumpang di peron stasiun kecil ini.
“Pulangnya ditunda besok saja Nduk. Lha wong liburnya masih panjang saja kok.” Bulik Pur menjejalkan entah apa lagi ke dalam kardus yang seyogyanya kubawa pulang sebagai oleh-oleh. Padahal bawaanku sudah cukup berat.
Aku Cuma nyengir saja pada sepupu bapakku itu, satu-satunya keluarga yang mengantar kami ke stasiun. Semalam kami tidur di rumahnya, dari stasiun hanya berjalan sekitar 50 langkah ke arah utara, lalu belok kanan, ada masjid. Nah, di sebelah timr masjid itulah rumahnya.
“Paling sebentar lagi lokonya juga datang.” Sanggahku yang disusul pengumuman dari pengeras suara stasiun yang menyatakan bahwa loko pengganti sedang dalam perjalanan dari stasiun Godong menuju Sedadi. Para penumpang kereta executive buru-buru naik, karena kereta akan segera diberangkatkan jika loko pengganti sudah terpasang. Dan… belum selesai pengumumannya, dan bahwa KRD masih akan telat dalam 45 menit ke depan. Aduhhh!!!
“Apa naik kereta ini saja?” usul bulik Pur.
“Maksudnya?” bapak yang sejak tadi membaca Koran menukas.
“Ya ikut kereta executive ini saja. Aku bisa nego sama pegawai stasiun.”
“Illegar passenger Bulik?” desisku.
“Jangan bicara bahasa Inggris, aku ora mudeng (aku tidak paham). Gimana? Aku bilangkan ya.”
“Illegal passenger itu penumpang illegal Bulik.”
“Ya tidak, kalian toh tetap membayar karcis kok . memang lebih mahal dari KRD, tapi jika dibanding naik bis, biayanya sama kok.”
Bapak berpikir sebentar, mungkin menghitung-hitung dalam hati. Aku tahu dia tidak suka jalan kiri. Sementara itu terdengar gemuruh dari arah barat, lokonya terlihat dari kejauhan. Aku jadi membayangkan naik kereta executive. Selama ini biasanya aku Cuma naik KRD, kereta ekonomi, dengan asongan bersliweran.
Tapi bapak menggeleng.
“Ga usah, menunggu KRD saja, yang sah-sah sajalah.”
“Ya sudah, aku pulang dulu, memandikan anaknya Mat dulu. Nanti kesini lagi, toh KRDnya telat kan?” Bulik Pur balik langkah, tapi belum genap sepuluh langkah dia berjalan, ia berbalik.
“Barangkali nanti tak sempat balik. Anaknya Mat biasanya nakal.” Katanya sambil memeluk dan cipika cipiki denganku, :Ati-ati ya Nduk, Mas. Salam buat Mbak Um.”
Dan akhirnya ia benar-benar pergi, meninggalkan kami yang sabar menunggu KRD.
“Terlalu beresiko kalau naik kereta ini. Kalau ketahuan tidak bawa karcis, bisa-bisa didenda. Malah tekor. Maunya untung malah buntung.”
“Terserah, yang penting pulang hari ini.”
Kurelakan kereta Executive meninggalkanku. Kuraba perutku yang butuh dikeluarkan racunnya. Rasanya tubuh ini membawa beban berat tak tertahankan. Aku duduk, facebookan dulu ah. Update status, sedang menunggu kereta…..
Ternyata tak sampai 45 menit menunggu, KRD sudah datang. Aku dan bapak buru-buru naik dan berdesak-desakan. Sepertinya tak ada tempat duduk kosong, semuanya sudah terisi.
Kereta meninggalkan Sedadi. Didekatku berdiri duduk seorang nenek yang sibuk menawarkan kursinya padaku. Katanya ia Cuma akan melewati dua stasiun selanjutnya saja. Di sebelahnya, sepasang suami istri muda. Si laki-laki asyik merokok, si perempuan sibuk meneteki bayi 3 bulannya (nenek tadi sempat bertanya usia si bayi pada ibunya). Tanpa malu-malu ia dan sepertinya tutup telinga pada beberapa remaja muda yang asyik berbisik-bisik mengenai sumber ASInya yang menggugah selera. Aduh, harusnya ia menutupinya dengan selendang, tak dibiarkannya terbuka begitu. Aurat. Aurat kenapa diumbar di tempat umum, dan suaminya sama sekali tak perduli. Astagfirullah!
Segera kupalingkan pandang ke arah jendela. Persawahan belaka. Beberapa pedagang asongan lalu-lalang sambil melengkingkan suara menawarkan dagangannya. Tiap mereka lewat selalu saja aku harus merubah posisi badan. Coba saja aku punya mobil sendiri, jadi tak perlu berhimpit-himpitan begini. Terjaga kehormatan seorang wanita.
Ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar. Baru saja tanganku hendak bergerak menuju saku, tiba-tiba kereta bergerak aneh, meliuk tersendat-sendat, jeg…jeg…. Grrrekkk…..sssshhhhhh…… semua sibuk mencari pegangan. Beberapa berteriak memekikkan namaNya.
Mesin kereta berhenti. Kecepatannya berkurang , memelan, lalu berhenti total.
Kereta macet. Baru 1 kilometer dari stasiun Sedadi!
Kanan kiri persawahan menguning. Para penumpang rebut. Dari gerbong ke gerbong, mulut ke mulut, beredar berita, kereta mengalami kesalahan tekhnis, dan harus ditarik lagi ke stasiun Sedadi untuk perbaikan. Aduh…..
Akhirnya, Bulik Pur sudah menunggu di stasiun ketika aku dan bapak turun dari KRD.
“Nah, itu pertanda kalian sebenarnya tidak boleh pulang dulu.”
Ledeknya membuatku jadi putus asa. Andai saja ia tahu, aku tak tahan lagi dengan apa yang tertahan di usus besarku ini, medesak-desak ingin keluar, tapi begitu siap dikeluarkan, ia malah berbalik arah memberontak. Aku tersiksa!
Pengeras suara kembali berbunyi, kali ini mengumumkan bahwa kereta Executive Argo Muria akan segera tiba. Sementara KRD akan ditarik ke stasiun Godong untuk perbaikan mesin dan diperkirakan baru bisa beroperasi lagi kurang lebih 5 jam ke depan. Nah lho….
“Sudah, ikut Argo Muria saja.” Tawar Bulik Pur lagi. Bapak berpikir-pikir lagi, lalu memandangku.
“Apa tidak berbahaya tanpa karcis? Kalau ketahuan trerus didenda bagaimana?” Bapak mengungkapkan kekhawatrannya.
“Ah, tidak apa-apa. Aku biasa kok nitipkan orang ke Surabaya tanpa karcis. Bilang saja keluarga pegawai stasiun, mereka pasti mengerti.”
Kesalahan sistem yang jadi kebiasan. Nepotisme sudah jadi budaya lebih dari tujuh turunan. Tapi, sepertinya adakalanya melanggar aturan itu bisa menjadi pengalaman yang mengasikkan.
“Kira-kira berapa? Mahal ga? Kan kereta Executive”
“Kira-kirakan sama dengan biaya naik biasa saja.” Kata Bulik Pur.
“Ya sudahlah, oke”
“Kalau begitu aku ke kantor pegawai stasiun dulu.” Bulik Pur melangkah menuju kantor stasiun. Sementara sudah terdengar gemuruh kereta Argo Muria dari arah barat. Wah, ini bakal jadi pengalaman pertamaku naik kereta Executive.
Bulik Pur kembali lagi dengan seorang berseragam pegawai stasiun. Tertulis namanya, Karmijan.
“Ini masku dan anaknya. Mau ke Surabaya.” Ia memperkenalkan kami pada laki-laki itu.
“Ah, tidak, cukup sampai Bojonegoro saja.” Bapak menyela cepat. Dia bilang padaku tadi ketika Bulik Pur meninggalkan kami kalau andai memang bisa ikut kereta Executive itu, kita akan turun Bojonegoro saja, lalu naik bis ke Lamongan seperti rencana semula. Kereta Executive itu memang tidak akan berhenti menurunkan penumpang di stasiun Lamongan, tapi Surabaya. Itu berarti jika kami terus ikut sampai Surabaya, maka kami harus kembali ke Lamongan lagi. Membuang waktu dan biaya tentunya.
“Ya, Bojoneoro saja.” Ralat Bulik Pur.
“Bisa, bisa. Gampang. Ayo sekarang naik. Keretanya tidak akan berhenti lama.”
“Tapi..”
“Ah, nanti diatas saja.”
Selanjutnya kesepakatannya adalah sebagai berikut, kami akan turun di Bojonegoro dengan pembayaran Rp 25 ribu perkepala, jadi totalnya 50ribu. Tapi masih ada satu syarat lagi rupanya.
“Nanti kalau turun pakai pintu sebelah selatan. Jangan terburu-buru turun dari kereta dan keluar stasiun. Tunggu sampai semua penumpang sudah turun semua, sepi. Lalu ketika di pintu keluar dimana petugas akan meminta karcis, bilang saja. Keluarga Pak Karmijan.”
Seorang laki-laki berseragam, tentunya petugas kereta mengantar kami berjalan sepanjang gerbong untuk menunjukkan di kursi mana kami bisa duduk. Hhh, rasanya seperti tahanan yang harus mengikitu polisi, menunduk dengan rasa bersalah. Aduh, jadi tidak percaya diri aku. Yang naik kereta ini notabene pasti orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke atas.
Petugas itu juga dengan ramah mempersilahkan kami duduk, seolah aku dan Bapak adalah tamu kebesarannya. Padahal begitu duduk bapak langsung mengeluh.
“Dingin…” ia merapatkan jaketnya. Tentu saja,AC menyala gempita di kereta ini. Taruhan, nanti sampai rumah dia bakal minta dikerokin.
Kereta meninggalkan Sedadi. Sepertinya akan lancar-lancar saja. Aku log in ke facebookku. Kusibukkan diri dengan membaca beberapa beberapa komen di statusku dan memberi koment di status teman. Terima kasih…………,
Entah beberapa menit kereta melaju, sepertinya kecepatannya melambat dari semula. Sepertinya bukan hanya aku yang merasa. Penumpang lain juga melongok-longok keluar jendela. Hmmm, jangan-jangan kereta mengalami kesalahan tekhnis lagi. Jangan-jangan aku memang tidak boleh pulang hari ini.
“Ada yang tertabrak.”
Terdengar suara salah satu penumpang. Kereta berjalan pelan. Kulihat orang-orang diluar sana berkerumun di sekitar rel kereta. Ternyata kereta excecutive yang pertama tadi telah memakan korban. Ada sesuatu yang ditutupi kertas Koran diantara orang-orang itu. Aku memalingkan muka.
“Untunglah kita tadi tidak naik kereta tadi.” Kata bapak.
‘Kira-kira kita sudah sampai dimana ini Pak?”
“Baru akan nyampai Gambrengan.”
“Oh..”
“Lapar Va.”
“Minta menu pada si mbak-mbak itu.” Dari tadi si mbak-mbak berseragam rapi sesekali lewat untuk melayani kebutuhan penumpang.
“Wah, tidak kuat bayar harganya. Jangan-jangan mahal. Nanti saja di stasiun”
Kereta melaju kembali. Di depan sana stasiun Gambrengan. Kereta berhenti. Bapak keluar, tak lama kemudian sudah kembali dengan dua bungkus nasi pecel.
“Kamu tidak makan?” Tanya Bapak, aku Cuma menggeleng. “Penjualnya mengira kita-kita ini orang kaya. Masa harga nasi pecel bungkus saja 10.000.-.”
Aku tertawa lebar.
“Ya benar saja. Kalau kita bisa naik kereta ini kan berarti kita kaya.”
“Alhamdulillah.”
Bapak menikmati pecelnya. Kereta mulai melaju lagi.
“Siapa tadi nama petugas stasiunnya?” Tanya Bapak..
Blank! Tiba-tiba aku lupa.
“Ehm… Surijan? Bukan, Karjan?” bukan juga. “Lupa Pak.”
“Lupa gimana? Nanti kita harus ngomong gimana kalau keluar stasiun? Aduh!”
“Yah, beneran lupa!”
“Cepat SMS Mat.” Mat anak Bulik Pur, dia pasti tahu. Segera aku menulis SMS.
Siapa nama petugas stasiun yang tadi ditemui Bulik Pur, tolong tanyakan.
Sending message……………..sending failed!
Hah! Sekali lagi. Sending message………………sending failed!
“Ga ada sinyal! Coba pakai ponsel bapak saja”
Bapak sibuk mengotak-atik ponselnya. Wajahnya tegang, lalu geleng-geleng kepala.
“Tak ada sinyal juga.”
Aduh, gimana ini???
“Coba kamu ingat-ingat siapa namanya, Pak Jan siapa tadi. Kalau sampai kita tidak bisa mengatakan nama lengkapnya, bisa-bisa kena denda kita!”
Aku memejamkan mata, berpikir keras menggali memori. Sarijan. Bukan. Turjan, bukan, Marijan juga bukan. Aduh!!!!
Sambil berpikir masih terus kucoba mengirim SMS pada Mat. Tapi tetap saja gagal. Aku tegang, bapak tegang.
Kereta terus melaju. Aku masih terus mengingat-ingat. Masih terus juga mencoba mengirim SMS. Setengah putus asa.
Sending message………………….. message sent! Message delivered!
“Bisa! Sudah bisa!” seperti mendapat rejeki aku hampir berteriak.
“Sudah dibalas?”
“Belum. Tapi sudah delivered”
Menunggu itu menjemukan! Kukirim SMS itu sekali lagi, delivered lagi. Tapi belum ada balasan dari Mat.
“Sudah hampir mendekati Bojonegoro.” Tukas Bapak.
“Mat sibuk mungkin.” Mat seorang supir, bias jadi ia tak sempat membalas SMS kalau sedang menyetir. “Atau jangan-jangan ponselnya ketinggalan di rumah. Apa tidak ada orang lain lagi yang bisa dihubungi?”
“Tidak ada. Yah, mungkin nasib kita. Harusnya memang tidak naik kereta ini ya ngeyel naik. Sekarang terima saja resikonya.” Bapak memeriksa dompetnya, “Semoga saja uangnya masih cukup membayar dendanya.” Nada putus asa jelas terdengar. Saat itu ponselku bergetar. 1 message received, Mat.
Isinya singkat saja, Pak Karmijan
“Karmijan! Susah amat ingatnya!” lega kuhempaskan punggung. Dari tadi aku ngantuk. Hanya karena sebuah nama, Karmijan.
Di Stasiun Bojonegoro. Kereta berhenti.
“Tunggu sampai penumpang habis. Lewat pintu selatan.”
Aku dan Bapak mematuhi perintah itu. Kami jadi penumpang paling akhir yang keluar. Petugas pemeriksa karcis hanya mengangguk kecil ketika Bapak dengan hati-hati menukas,
“Keluarga pak Karmijan.”
Keluar dari stasiun, rasanya aku bias bebas menghirup udara segar lagi. Dengan becak aku dan bapak menuju terminal Bojonegoro. Dari sana kita naik bis menuju Lamongan. Sampai rumah aku langsung melampiaskan hasratku. Alhamdulillah. Home sweet home.
Sambil menikmati kegiatanku, aku terbayang wajah Pak Karmijan dan Bulik Pur. Terima kasih Pak Karmijan.
SATU SATU (DECCA / DESI)
*Decca
"Li,mana suratq tdi?"
usai mengabsen pserta dianpinsat, q sgr kmbali pd Ali yg masih setia dg tugasx menaikkan ransel2 & berbgai pralatan kemah ke atas truk.
Q jd khawatir, jgn2 ia sudah tau isi surat dr April yg tertulis dlm bhs inggris itu. Salahq sendiri,menyepelekan kmampuan Ali yg pas2an dlm plajaran bhs kdua itu
"Dibw Ms. Desi."
"What?"
bagai disambar petir mendengar jwbn Ali. Gila!
"Beliau janji akan translate buatq kalo q sudah kelar dg ini. Tp kalo kamu brani ambil,ya ambil aja."
benar2 gila! Pengen kutonjok saja sobatku ini, enteng bgt jawbnx, sadar ga sih dia bru sj membebaniku dg malu yg tak bisa diperhitungkan ukuranx! Gila! Gila!
Mngkn mmg mudah meminta surat itu pd Ms. Desi, tp jk beliau sudah sempat membacax... MALUUU TAU! Krn srt itu berisi kalimat2 trakhir April yg tak smpat terucap lewat lisanx. Surat pisah, surat merah.
Aku bergegas ke kantor. Beliau gada, aku balik langkah ke ruang redaksi majalah sekolah, disana beliau, mengecek kerja redaksi.
"Ms..."
"Ya, Dec?"
"Ehm....anu"
q nyengir, dan kelihatanx beliau tanggap.
"Oh ya, surat. Ah q taruh mana td ya. Aduh, lupa,pasti q masukin ransel td. Udah, ntar aja kalo dah nyampai lokasi ya. Ali udah slesai blum, sudah siap brangkat?"
"Siap Bu!"
kami keluar dr ruangan tsb stlah beliau memberikan bebrp petuah pd dwan redaksi yg sdang melakukan finishing touch majalah skolah.
"Kemampuan menulis siswa disini msh sngat kurang." keluh beliau yg hobi menulis. Beruntung q pny bakat ksana, hingga sesekali bisa diskusi dg beliau. Ah, q jd ingat April, ia jg mahir merangkai kata. Bbrpa puisi duet kami cipta. Meski baru seumur jagung gita cinta ini, kami cocok. Sayang, pisah membuat luka.
"jadi kamu putus dg April? Dia jd pindah, mulai kmarin?"
"ya." cukup nadaku menyatakan sbuah pth hati. April pindah ke SMU paciran, meninggalkanq dlm kembara cinta 3 bulan.
"5 menit lg qt briefing. Siapkan teman2mu."
"siap kak!" bukan Ms. Kali ini kita sama2 pramuka.
****************************
* parDesi
Hari ke2 dianpinsat di waduk Gondang, Sugio. Sangga pa dan pi dipisah. Pi di utara dkat jalan raya, pa di selatan mushola.
Siang ckp panas,gerah tak tertahankan. Untung blakang tendaku terimbuni sbtang asem londo,jd agak sjuk. Tapi tetap saja tak bs menyejuki hatiku yg gelisah krn blm jg ktmu Irgi, pdhl dia jg bindamping pramuka SMUnya.
Aku bnar2 ingin ktm dia, utk memberikan surat itu, yg q tulis smalam sblm brangkat ksini. Hanya skdar mengungkapkan kalau q msh menyayangix mski tlah 2 th berlalu sjak yudisium. Bkn q mengiba cinta ini, q tau dia tak pernah akan bs menyayangiku sperti q menyayangx, kcuali sbgai adik, ckp.
Q hny ingn dia tau btp q berniat menjengukx ktika dia sakit 2 bln lalu,tp tak ksampaian. Q ingn mengatakan, q sdah berpikir dwasa utk mnerima jalan ini.
Ah, ya, tp dmana suratku? Sudah q ubek2 ransel tp tak ktmu jg. Q ingat2 lg... Ah, surat itu kuselipkan di The Sky Is Killingnya Sidney Sheldon... Yg q pinjamkan pd Decca ketika dia mengambil suratx kmrin! GAWAT!
"Decca mana?" q bergegas ke tenda pa, tak sbr q memastikan kbradaan suratku.
"Ya Ms.?"
"Novelx sudah?"
"Baru stengah. Knp?"
"Bisa kau ambilkan sbntar?"
bbrp dtik ia kmbli, dg novel dan tentux lembaran suratku yg blm teramplopi. Kurasa wajahku panas sketika.
"Kamu baca ini?"
"Sdikit. Ga sengaja Ms." polos dia mengaku, menusuk jantungku!
"Ah, lupakan!" kutinggalkan muridku itu dg sjuta keki. Memalukan!
************************
*Decca
ada sdikit ragu, tp q branikan diri untuk menyapa bliau yg termangu sndirian. Malm br sj trun ktika q lihat sejoli itu meninggalkanx, pasti itu yg namax Irgi, dan prempuan yg brsamax, Nita, tunanganx. Smua tercantum dlm suratx yg tak sngaja q bc.
Q tak mau trt cmpur. Q hanya ingin menghibur, atau stidakx menemanix merayakan kcewa.
"spertinya qt seri Ms. Satu satu." aku bercanda. Beliau tertawa, tawa pahit.
"ya,sama2 pth hati jg."
"mau merayakanx Ms?"
***************************
Decca membuatku tertawa. Ia mengatakan satu-satu. Q membc suratx, dia mmbc suratq. Adil! Tp tetap saja aku terluka, entah dia.
Dia menunggu jwbnku, merayakan kecewa. Knp tdak? ******************************
*Decca - parDesi
Mereka bertatapan, ada sepakat.
"ayo ke kantin!" ajak Desi. Decca angkat bahu setuju dan membarengi langkah gurux itu. Sepertix mrk bnar2 spakat.
"let's be gone be by gone! Bu, es teh, soto dua, sambal yg pdas! Apalagi Dec?"
"Whatever Ms!"
"wanna be friend Dec?"
"Friend!"
mereka bersalaman akrb, dg senyum.
Dua jiwa patah hati, bersulang dmi luka diantara paku2 air yg menyapa. Tiba2 hujan turun siang itu.
"Li,mana suratq tdi?"
usai mengabsen pserta dianpinsat, q sgr kmbali pd Ali yg masih setia dg tugasx menaikkan ransel2 & berbgai pralatan kemah ke atas truk.
Q jd khawatir, jgn2 ia sudah tau isi surat dr April yg tertulis dlm bhs inggris itu. Salahq sendiri,menyepelekan kmampuan Ali yg pas2an dlm plajaran bhs kdua itu
"Dibw Ms. Desi."
"What?"
bagai disambar petir mendengar jwbn Ali. Gila!
"Beliau janji akan translate buatq kalo q sudah kelar dg ini. Tp kalo kamu brani ambil,ya ambil aja."
benar2 gila! Pengen kutonjok saja sobatku ini, enteng bgt jawbnx, sadar ga sih dia bru sj membebaniku dg malu yg tak bisa diperhitungkan ukuranx! Gila! Gila!
Mngkn mmg mudah meminta surat itu pd Ms. Desi, tp jk beliau sudah sempat membacax... MALUUU TAU! Krn srt itu berisi kalimat2 trakhir April yg tak smpat terucap lewat lisanx. Surat pisah, surat merah.
Aku bergegas ke kantor. Beliau gada, aku balik langkah ke ruang redaksi majalah sekolah, disana beliau, mengecek kerja redaksi.
"Ms..."
"Ya, Dec?"
"Ehm....anu"
q nyengir, dan kelihatanx beliau tanggap.
"Oh ya, surat. Ah q taruh mana td ya. Aduh, lupa,pasti q masukin ransel td. Udah, ntar aja kalo dah nyampai lokasi ya. Ali udah slesai blum, sudah siap brangkat?"
"Siap Bu!"
kami keluar dr ruangan tsb stlah beliau memberikan bebrp petuah pd dwan redaksi yg sdang melakukan finishing touch majalah skolah.
"Kemampuan menulis siswa disini msh sngat kurang." keluh beliau yg hobi menulis. Beruntung q pny bakat ksana, hingga sesekali bisa diskusi dg beliau. Ah, q jd ingat April, ia jg mahir merangkai kata. Bbrpa puisi duet kami cipta. Meski baru seumur jagung gita cinta ini, kami cocok. Sayang, pisah membuat luka.
"jadi kamu putus dg April? Dia jd pindah, mulai kmarin?"
"ya." cukup nadaku menyatakan sbuah pth hati. April pindah ke SMU paciran, meninggalkanq dlm kembara cinta 3 bulan.
"5 menit lg qt briefing. Siapkan teman2mu."
"siap kak!" bukan Ms. Kali ini kita sama2 pramuka.
****************************
* parDesi
Hari ke2 dianpinsat di waduk Gondang, Sugio. Sangga pa dan pi dipisah. Pi di utara dkat jalan raya, pa di selatan mushola.
Siang ckp panas,gerah tak tertahankan. Untung blakang tendaku terimbuni sbtang asem londo,jd agak sjuk. Tapi tetap saja tak bs menyejuki hatiku yg gelisah krn blm jg ktmu Irgi, pdhl dia jg bindamping pramuka SMUnya.
Aku bnar2 ingin ktm dia, utk memberikan surat itu, yg q tulis smalam sblm brangkat ksini. Hanya skdar mengungkapkan kalau q msh menyayangix mski tlah 2 th berlalu sjak yudisium. Bkn q mengiba cinta ini, q tau dia tak pernah akan bs menyayangiku sperti q menyayangx, kcuali sbgai adik, ckp.
Q hny ingn dia tau btp q berniat menjengukx ktika dia sakit 2 bln lalu,tp tak ksampaian. Q ingn mengatakan, q sdah berpikir dwasa utk mnerima jalan ini.
Ah, ya, tp dmana suratku? Sudah q ubek2 ransel tp tak ktmu jg. Q ingat2 lg... Ah, surat itu kuselipkan di The Sky Is Killingnya Sidney Sheldon... Yg q pinjamkan pd Decca ketika dia mengambil suratx kmrin! GAWAT!
"Decca mana?" q bergegas ke tenda pa, tak sbr q memastikan kbradaan suratku.
"Ya Ms.?"
"Novelx sudah?"
"Baru stengah. Knp?"
"Bisa kau ambilkan sbntar?"
bbrp dtik ia kmbli, dg novel dan tentux lembaran suratku yg blm teramplopi. Kurasa wajahku panas sketika.
"Kamu baca ini?"
"Sdikit. Ga sengaja Ms." polos dia mengaku, menusuk jantungku!
"Ah, lupakan!" kutinggalkan muridku itu dg sjuta keki. Memalukan!
************************
*Decca
ada sdikit ragu, tp q branikan diri untuk menyapa bliau yg termangu sndirian. Malm br sj trun ktika q lihat sejoli itu meninggalkanx, pasti itu yg namax Irgi, dan prempuan yg brsamax, Nita, tunanganx. Smua tercantum dlm suratx yg tak sngaja q bc.
Q tak mau trt cmpur. Q hanya ingin menghibur, atau stidakx menemanix merayakan kcewa.
"spertinya qt seri Ms. Satu satu." aku bercanda. Beliau tertawa, tawa pahit.
"ya,sama2 pth hati jg."
"mau merayakanx Ms?"
***************************
Decca membuatku tertawa. Ia mengatakan satu-satu. Q membc suratx, dia mmbc suratq. Adil! Tp tetap saja aku terluka, entah dia.
Dia menunggu jwbnku, merayakan kecewa. Knp tdak? ******************************
*Decca - parDesi
Mereka bertatapan, ada sepakat.
"ayo ke kantin!" ajak Desi. Decca angkat bahu setuju dan membarengi langkah gurux itu. Sepertix mrk bnar2 spakat.
"let's be gone be by gone! Bu, es teh, soto dua, sambal yg pdas! Apalagi Dec?"
"Whatever Ms!"
"wanna be friend Dec?"
"Friend!"
mereka bersalaman akrb, dg senyum.
Dua jiwa patah hati, bersulang dmi luka diantara paku2 air yg menyapa. Tiba2 hujan turun siang itu.
anang dan kucing kecil
Si Aden punya anak lagi, tapi kali ini Cuma seekor. sebelumnya Aden sudah 2 kali melahirkan. Yang pertama dua ekor, jantan semua. Lila dan Andre menamainya Flagy dan Zeby. Yang kedua tiga ekor, juga jantan semua. Lila dan Andre menamainya Barbie, Bruce dan Brady.
Sekarang Lila dan Andre juga berebut menamai kucing kecil yang baru lahir dua hari lalu.
“Warnanya hitam Putih, bagaimana kalau dinamai MJ atau Jacko saja.” Usul Lila. Mereka berdua sedang menunggui kucing kecil yang sedang menyusu pada induknya. Aden hanya berkedip-kedip saja.
“MJ apa’an Kak?” Tanya Andre
“Michael Jackson. Kan lagunya dia ada yang berjudul Black or White.’
“Wah, bagus sih, tapi aku sudah berpikir, sebaiknya Tala saja kak!”
“Tala? Nama apa itu?”
“Tala kependekan dari Tahi lalat. Lihat 2 bintik hitam di perutnya, seperti tahi lalat kan.”
“Tidak boleh!” tiba-tiba Anang protes. Lira dan Andre jadi kaget karena tiba-tiba si bungsu yang baru masuk TK itu mendadak ikut-ikutan nimbrung bersama mereka.
“Kenapa Cuma kak Lila dan Kak Andre yang boleh menamai kucingnya. Sekarang Anang sudah besar, gantian Anang yang menamai kucingnya.”
“Memang kamu bisa?” Tanya Lira
“Ya nih, menulis namanya sendiri saja kan belum bisa.” Ledek Andre.
“Jangankan menulis, berhitung satu sampai sepuluh juga belum bisa.”
“Ha ha ha…” Lira dan Andre tertawa bersama.
“Ibuuuu! Kak lira dan kak Andre nakal!” Anang berteriak memanggil ibu. Ibu tergopoh-gopoh datang.
“Ada apa Lira, Andre, jangan menggoda adikmu.”
“Tidak Bu. Anang Cuma mau menamai kucingnya. Paahal dia kan belum bisa membaca.”
“Pokoknya aku bisa menamai!” Anang ngotot, tapi hampir menangis. “Ibu, aku yang menamainya ya?”
“Ya sudah. Sekarang giliran Anang yang menamai kucingnya.” Hibur ibu. Anang menjulurkan lidah pada Lira dan Andre sambil tertawa-tawa penuh kemenangan.
Malamnya Anang tak bisa tidur. Ia memikirkan nama untuk si hitam putih lucu.
Ia mengingat-ingat nama temannya di TK.
“Ari, Doni, Nanda, Zemy, tapi mereka akan marah padaku kalau namanya aku pakai menamai kucing.”
Lalu ia ingat anjing Zemy, namanya Butty.
“Tapi Zemy pasti marah juga kalau kucingku namanya sama dengan anjingnya.”
Kalau namanya item
“Tapi ia ada bulu putihnya?”
Apa ya…. Anang jadi bingung, ternyata menamai kucing itu susah. Ia keluar kamar, mencari semua kucing, tapi ia hanya menemukan Zeby meringkuk di keset ruang tengah.
“Halo Zeby, kira-kira nama adikmu siapa ya? Kalau namanya Ruti bagus gak?” Ruti adalah nama temannya di TK yang paling nakal, suka menjambak rambut anak perempuan.
Tentu saja Zeby hanya menggeliat.
Anang menggendongnya menuju keranjang dimana si kucing kecil hitam putih berada. Induknya sedang tak ada, mungkin sedang bermain keluar.
“Nah, Zeby, itu adikmu. Sekarang kamu punya empat adik, Barbie, Bruce dan Brady. Yang ini belum punya nama” Anang mengelus-elus Zeby dan mengajaknya bicara. Zeby hanya mengeong saja.
“Lho, Anang belum tidur?” tiba-tiba Ibu sudah ada di dekat Anang.
“Belum Bu, Anang bingung.”
“Kenapa?” ibu melepaskan Zeby dari pelukan Anang, lalu menggandeng si bungsu ke kamarnya.
“Belum menemukan nama buat kucing kecil.” Keluh Anang. Ibu jadi tersenyum.
“Bagaimana kalau namanya Cinderella atau Snow White?” usul ibu sambil membaringkan Anang di ranjangnya.
“Itu kan nama putri. Kucingnya kan jantan.”
Ya juga ya.” Kata ibu. “Ah, sudah. Berpikirnya disambung besok. Sekarang tidur dulu. Apa Anang mau Ibu mendongeng seperti biasanya?”
“Ya Bu.”
“Ibu membawa majalah BOBO. Ada cerita tentang Bona dan Rong-Rong lho.”
“Siapa itu Bu?”
“Bona seekor gajah kecil berbelalai panjang, sedang Rong Rong adalah seekor kucing yang cerdik. Mereka bersahabat…” Anang mulai menguap. Ibu meneruskan.
“Suatu hari Bona dan Rong Rong pergi ke rumah tante…..” ternyata Anang sudah tidur. Mungkin sudah terlalu lelah. Ibu membetulkan selimutnya lalu mematikan lampu.
Keesokan harinya Anang bangun pagi dengan semangat. Ia sudah tahu nama apa yang akan diberikannya untuk si kucing kecil putih hitam lucu.
“Siapa?” Lira tak sabar menunggu di meja makan. Anang diam, tak bisa menjawab.
“Pasti tidak bisa!” ledek Andre
“Bisa! Semalam aku sudah dapat nama kok” bantah Anang.
“Lalu siapa?”
Anang mendekati Ibu yang sedang menata piring. Berbisik-bisik padanya lalu tersenyum.
“Haa?” Lira dan Andre berpandangan, lalu tertawa.
“Itu kan nama kucing di BOBO!”
“Iya nih, Anang meniru!”
“Dinamai MJ saja!”
“Tala!”
“Rong Rong!”
“Anak-anak!” sela ibu karena semua berdebat, “Biarkan kali ini Anang yang menamai kucingnya. Nanti kalau Aden melahirkan lagi giliran Lira dan Andre.”
“Hore! Namanya Rong Rong!” Anang berlari menuju keranjang kucing kecil lucu.
“Halo Aden, sekarang anakmu sudah punya nama, namanya Rong Rong, kamu suka tidak?”
Aden yang sedang menyusui Rong-Rong mengeong dua kali. Pikir Anang itu berarti setuju.
Anang gembira sekali, hari itu sepulang sekolah ia berlatih menulis kata-kata Rong Rong. Setelah itu ia memajang tulisannya di keranjang Rong Rong: Anang sayang Rong Rong!
Sekarang Lila dan Andre juga berebut menamai kucing kecil yang baru lahir dua hari lalu.
“Warnanya hitam Putih, bagaimana kalau dinamai MJ atau Jacko saja.” Usul Lila. Mereka berdua sedang menunggui kucing kecil yang sedang menyusu pada induknya. Aden hanya berkedip-kedip saja.
“MJ apa’an Kak?” Tanya Andre
“Michael Jackson. Kan lagunya dia ada yang berjudul Black or White.’
“Wah, bagus sih, tapi aku sudah berpikir, sebaiknya Tala saja kak!”
“Tala? Nama apa itu?”
“Tala kependekan dari Tahi lalat. Lihat 2 bintik hitam di perutnya, seperti tahi lalat kan.”
“Tidak boleh!” tiba-tiba Anang protes. Lira dan Andre jadi kaget karena tiba-tiba si bungsu yang baru masuk TK itu mendadak ikut-ikutan nimbrung bersama mereka.
“Kenapa Cuma kak Lila dan Kak Andre yang boleh menamai kucingnya. Sekarang Anang sudah besar, gantian Anang yang menamai kucingnya.”
“Memang kamu bisa?” Tanya Lira
“Ya nih, menulis namanya sendiri saja kan belum bisa.” Ledek Andre.
“Jangankan menulis, berhitung satu sampai sepuluh juga belum bisa.”
“Ha ha ha…” Lira dan Andre tertawa bersama.
“Ibuuuu! Kak lira dan kak Andre nakal!” Anang berteriak memanggil ibu. Ibu tergopoh-gopoh datang.
“Ada apa Lira, Andre, jangan menggoda adikmu.”
“Tidak Bu. Anang Cuma mau menamai kucingnya. Paahal dia kan belum bisa membaca.”
“Pokoknya aku bisa menamai!” Anang ngotot, tapi hampir menangis. “Ibu, aku yang menamainya ya?”
“Ya sudah. Sekarang giliran Anang yang menamai kucingnya.” Hibur ibu. Anang menjulurkan lidah pada Lira dan Andre sambil tertawa-tawa penuh kemenangan.
Malamnya Anang tak bisa tidur. Ia memikirkan nama untuk si hitam putih lucu.
Ia mengingat-ingat nama temannya di TK.
“Ari, Doni, Nanda, Zemy, tapi mereka akan marah padaku kalau namanya aku pakai menamai kucing.”
Lalu ia ingat anjing Zemy, namanya Butty.
“Tapi Zemy pasti marah juga kalau kucingku namanya sama dengan anjingnya.”
Kalau namanya item
“Tapi ia ada bulu putihnya?”
Apa ya…. Anang jadi bingung, ternyata menamai kucing itu susah. Ia keluar kamar, mencari semua kucing, tapi ia hanya menemukan Zeby meringkuk di keset ruang tengah.
“Halo Zeby, kira-kira nama adikmu siapa ya? Kalau namanya Ruti bagus gak?” Ruti adalah nama temannya di TK yang paling nakal, suka menjambak rambut anak perempuan.
Tentu saja Zeby hanya menggeliat.
Anang menggendongnya menuju keranjang dimana si kucing kecil hitam putih berada. Induknya sedang tak ada, mungkin sedang bermain keluar.
“Nah, Zeby, itu adikmu. Sekarang kamu punya empat adik, Barbie, Bruce dan Brady. Yang ini belum punya nama” Anang mengelus-elus Zeby dan mengajaknya bicara. Zeby hanya mengeong saja.
“Lho, Anang belum tidur?” tiba-tiba Ibu sudah ada di dekat Anang.
“Belum Bu, Anang bingung.”
“Kenapa?” ibu melepaskan Zeby dari pelukan Anang, lalu menggandeng si bungsu ke kamarnya.
“Belum menemukan nama buat kucing kecil.” Keluh Anang. Ibu jadi tersenyum.
“Bagaimana kalau namanya Cinderella atau Snow White?” usul ibu sambil membaringkan Anang di ranjangnya.
“Itu kan nama putri. Kucingnya kan jantan.”
Ya juga ya.” Kata ibu. “Ah, sudah. Berpikirnya disambung besok. Sekarang tidur dulu. Apa Anang mau Ibu mendongeng seperti biasanya?”
“Ya Bu.”
“Ibu membawa majalah BOBO. Ada cerita tentang Bona dan Rong-Rong lho.”
“Siapa itu Bu?”
“Bona seekor gajah kecil berbelalai panjang, sedang Rong Rong adalah seekor kucing yang cerdik. Mereka bersahabat…” Anang mulai menguap. Ibu meneruskan.
“Suatu hari Bona dan Rong Rong pergi ke rumah tante…..” ternyata Anang sudah tidur. Mungkin sudah terlalu lelah. Ibu membetulkan selimutnya lalu mematikan lampu.
Keesokan harinya Anang bangun pagi dengan semangat. Ia sudah tahu nama apa yang akan diberikannya untuk si kucing kecil putih hitam lucu.
“Siapa?” Lira tak sabar menunggu di meja makan. Anang diam, tak bisa menjawab.
“Pasti tidak bisa!” ledek Andre
“Bisa! Semalam aku sudah dapat nama kok” bantah Anang.
“Lalu siapa?”
Anang mendekati Ibu yang sedang menata piring. Berbisik-bisik padanya lalu tersenyum.
“Haa?” Lira dan Andre berpandangan, lalu tertawa.
“Itu kan nama kucing di BOBO!”
“Iya nih, Anang meniru!”
“Dinamai MJ saja!”
“Tala!”
“Rong Rong!”
“Anak-anak!” sela ibu karena semua berdebat, “Biarkan kali ini Anang yang menamai kucingnya. Nanti kalau Aden melahirkan lagi giliran Lira dan Andre.”
“Hore! Namanya Rong Rong!” Anang berlari menuju keranjang kucing kecil lucu.
“Halo Aden, sekarang anakmu sudah punya nama, namanya Rong Rong, kamu suka tidak?”
Aden yang sedang menyusui Rong-Rong mengeong dua kali. Pikir Anang itu berarti setuju.
Anang gembira sekali, hari itu sepulang sekolah ia berlatih menulis kata-kata Rong Rong. Setelah itu ia memajang tulisannya di keranjang Rong Rong: Anang sayang Rong Rong!
Senin, 16 Agustus 2010
puisi pardesi
APA MENCINTAI?
Mencintai adalah misi membunuh ego
Pemaksaan dua subyek dalam satu definisi buta
Filosofis
Pistis
Narsitis
Altruis
Sadis
Romantis
Mistis
Tragis
INTUISI
Aku sedang naik daun
Merayu salju jingga yang bertengger di setangkup jati diri
Lagu jenaka meranum di sepanjang pipi
Saujana di umpanmu berlabuh
Mendongak langit
Mimosa dan pelangi
Androgen
Amnesia
Kepala menjamur
Lautan kuning
Momentum
Sisa
Babad
Langkah
Maju
Tatap
KEMANA
Memuat sebuket mawar
Yang selama ini menyimpan wanginya dalam rempah transparan
Altar ternyata mengembang
Aku ingin hilang saingi trotoar
Nyata aku paranoia pada konyugasi berdarah
Relief melembek di ketiak menit
Lalu timbul misteri,
Awan berbentuk kura-kura bercinta
Timbul tenggelam diantara matahari yang berhasrat pulang
Simbiosis aku dan kau di pelabuhan jingga
Melayari gelombang pasang meradang
TERPERLIP OLEHMUKAH?
Memilihmu untuk memuaskan seloka,
Aku selirat, kosong transmisi, Imaginasi, Inspirasi
Sembelit otakku menyeranta fakta
Kau menggoda di setiap jengkal cerebrum, Serbu takjubku
Saujana menggugut uran-uran di raham renjana
Kosong menyapa di ubun-ubun
Menggurun malam-malam, menghutan siang-siang, melaut pagi-pagi
Tetap melompong
Simalakama menyapa, Kau sejati atau serupa?
Pejal hati hasrat merindu, pelesir di permukaanmu, hampa
Tenggara aku terperlip olehmukah?
(Buat Curlyquwh)
GONDANG PAGI ITU
Pernahkah kau berbenak membawaku bercengkarama di rerindangan?
Kata orang, kelapa gaib itu santapan ratu dari kahyangan, tak satupun ksatria bebas merasai
“Aku ksatria!”
Lagu lama, kau yang bergender mojo
Ah, kenapa kau malah memayu raharjaning trisna?
“Sudikah kau menikahiku di bulan desember? Kalau bisa tanpa maskawin.
Di muara malam aku selalu bediding, aku butuh diriku diblender.”
Waduk sedang dangkal
Setan-setan mangkal
Di lading-ladang resah, di buritan perahu angsa
Setujui positif dan negative beradu dalam basah
HIPOTESIS
Jika ada kau maka ada aku
Karenanya pandangi aku
Jika kau pecinta maka aku tercinta
Meski cermin kita retak diserbu kasta
Jadi sentuh aku bila berharga
Aku dengar-aku tak mau dengar
Aku lihat-aku tak mau lihat
Andai dapat kulelehkan angkuhmu
AKU, NISAN DAN KUNANG-KUNANG
Kubelai nisanku di tengah malam
Kunang-kunang memandangku lalang
“Kenapa kau disitu?”
Aku resah terdiam
Kubelai nisanku tengah malam
Masih kunang-kunang memandangku nyalang
“Aku ingin hidup lagi mengambil titipan cintaku yang tergadai. Aku karenany tertawan.”
Kubelai nisanku tengah malam
Kunang-kunang tersenyum jalang
“Akan kubantu kau menebusnya,”
Aku dan kunang-kunang berdansa tengah malam
Nisanku jengah, enggan melepasku tak bermakam
SURAT MERAH
Irama peperlipan yang mendosa
Dua dimensi tersekat membrane berbisa
Terbit hasrat pergi
Bersyarat tak kembali
DRAMA RAMAYANA DI TANJUNG KODOK
Jangan tolak temani air asin angina
Di gazebo retak setiang
Peminat logam cetak rumah gadang
Jadi santapan terlegit sebelum kiamat
Meski tak sebanding nafas tuak di seputaran Ndrajat
Sedari dulu, batu itu sudah begitu sejak kau belum memayapada
Bukan terpesona pada peranmu Sri Rama
Persembahkan kebijakan dalam nampan
Gendewa pelafalan yang tak mempan
Kecuali kau berminat jadi Malin Kundang
Kuburkan birahi pada kodok gedindang
Pada lelakonan tepi laut kudutakan cemburu kalut
Semoga tak batal dan murung bila mampir si maut
“benarlah Laksmana memarlojongkan Shinta, mencicipinya pula.”
Kiranya Sri Rama tawarkan cara mati baru,
Bukan perapian, tapi pada
Bakau-bakau
Ombak-ombak
Perahu-perahu
Dan lautpun surut
Tanjung Kodok pun masyuk
Di kastil pasir kosmosnya Shinta tergolek setomat
Digerogoti kera putih tak bercawat
“Cut!
Bukan ini yang diminta sutradara!”
(diklat teater, 2003)
ZOOM
Ternyata kau masih mengenaliku
Lewat sepotong kata
Short message service! 27 maret 2005!
Malam turun sejak tadi,
Sepertinya di rembulan kulihat dwi biji matamu berisyarat
Tahukah kau?
Kubah langit mengkanvasi lukisan jemari yang berdebar
Ganal aku menyuaimu di geladeri bawah sadar
Pagina hariku, 26 lebih 74
Siapa potianya?
Sejengkal khuluk, atau penggarit lazuardi belaka?
(Buat Curlyquwh)
PSIKOPAT AKU
Ibuku dipasung setelah melahirkanku, kupikir dia gila
Andaikan dia dulu tidak melahirkanku, pasti dia tidak gila
Lalu orang-orang ikut menamaiku gila
Diantara siang dan malam, aku berdiri diantara matahari dan bulan
Di jalan seorang pengemis menangis, katanya seminggu tak makan
Melihatku ia tertawa, ketika kuganti lambungnya dengan lambungku
Orang bilang percaya itu sebagian kebenaran
Jika aku berperan di teater orang mati
Dengan Roqib Atid sebagai sutradara, apakah itu kebenaran?
Bila yang lain mengklaim kebenaran itu harus masuk akal
FREAKY FREAKY THAT’S ME
Come and go as wild as crow
Lie and truth, I want you to grow
Angel and evil wannabe my fellow
Smile and scowl, I need you to show
F**k and shit will you show?
Sometime anywhere, can you shadow
Somewhere anytime like snow
Freaky freaky that’s me
Dude, would you mind to cherish me glow?
WANNABE LOST
Sorry ma chere amie. Wannabe lost, passed by
Nothing but insatiable, just like the blue sky
Too easy to make up mind
Gone….. come ….. like the wind
Even words can’t save me from the ego
Stay still!! But please let me go
So bye bye bye
That’s what I want to say
(For then you make me wannabe close to you more,
Just like the silver key and the door)
SWEET BROKEN HEART
If the sun keeps in touch with the rain blow
Want you die with the rainbow
Neither sad or happy to let you free
Cos you are hoi polloi but I am hoity toity
Mencintai adalah misi membunuh ego
Pemaksaan dua subyek dalam satu definisi buta
Filosofis
Pistis
Narsitis
Altruis
Sadis
Romantis
Mistis
Tragis
INTUISI
Aku sedang naik daun
Merayu salju jingga yang bertengger di setangkup jati diri
Lagu jenaka meranum di sepanjang pipi
Saujana di umpanmu berlabuh
Mendongak langit
Mimosa dan pelangi
Androgen
Amnesia
Kepala menjamur
Lautan kuning
Momentum
Sisa
Babad
Langkah
Maju
Tatap
KEMANA
Memuat sebuket mawar
Yang selama ini menyimpan wanginya dalam rempah transparan
Altar ternyata mengembang
Aku ingin hilang saingi trotoar
Nyata aku paranoia pada konyugasi berdarah
Relief melembek di ketiak menit
Lalu timbul misteri,
Awan berbentuk kura-kura bercinta
Timbul tenggelam diantara matahari yang berhasrat pulang
Simbiosis aku dan kau di pelabuhan jingga
Melayari gelombang pasang meradang
TERPERLIP OLEHMUKAH?
Memilihmu untuk memuaskan seloka,
Aku selirat, kosong transmisi, Imaginasi, Inspirasi
Sembelit otakku menyeranta fakta
Kau menggoda di setiap jengkal cerebrum, Serbu takjubku
Saujana menggugut uran-uran di raham renjana
Kosong menyapa di ubun-ubun
Menggurun malam-malam, menghutan siang-siang, melaut pagi-pagi
Tetap melompong
Simalakama menyapa, Kau sejati atau serupa?
Pejal hati hasrat merindu, pelesir di permukaanmu, hampa
Tenggara aku terperlip olehmukah?
(Buat Curlyquwh)
GONDANG PAGI ITU
Pernahkah kau berbenak membawaku bercengkarama di rerindangan?
Kata orang, kelapa gaib itu santapan ratu dari kahyangan, tak satupun ksatria bebas merasai
“Aku ksatria!”
Lagu lama, kau yang bergender mojo
Ah, kenapa kau malah memayu raharjaning trisna?
“Sudikah kau menikahiku di bulan desember? Kalau bisa tanpa maskawin.
Di muara malam aku selalu bediding, aku butuh diriku diblender.”
Waduk sedang dangkal
Setan-setan mangkal
Di lading-ladang resah, di buritan perahu angsa
Setujui positif dan negative beradu dalam basah
HIPOTESIS
Jika ada kau maka ada aku
Karenanya pandangi aku
Jika kau pecinta maka aku tercinta
Meski cermin kita retak diserbu kasta
Jadi sentuh aku bila berharga
Aku dengar-aku tak mau dengar
Aku lihat-aku tak mau lihat
Andai dapat kulelehkan angkuhmu
AKU, NISAN DAN KUNANG-KUNANG
Kubelai nisanku di tengah malam
Kunang-kunang memandangku lalang
“Kenapa kau disitu?”
Aku resah terdiam
Kubelai nisanku tengah malam
Masih kunang-kunang memandangku nyalang
“Aku ingin hidup lagi mengambil titipan cintaku yang tergadai. Aku karenany tertawan.”
Kubelai nisanku tengah malam
Kunang-kunang tersenyum jalang
“Akan kubantu kau menebusnya,”
Aku dan kunang-kunang berdansa tengah malam
Nisanku jengah, enggan melepasku tak bermakam
SURAT MERAH
Irama peperlipan yang mendosa
Dua dimensi tersekat membrane berbisa
Terbit hasrat pergi
Bersyarat tak kembali
DRAMA RAMAYANA DI TANJUNG KODOK
Jangan tolak temani air asin angina
Di gazebo retak setiang
Peminat logam cetak rumah gadang
Jadi santapan terlegit sebelum kiamat
Meski tak sebanding nafas tuak di seputaran Ndrajat
Sedari dulu, batu itu sudah begitu sejak kau belum memayapada
Bukan terpesona pada peranmu Sri Rama
Persembahkan kebijakan dalam nampan
Gendewa pelafalan yang tak mempan
Kecuali kau berminat jadi Malin Kundang
Kuburkan birahi pada kodok gedindang
Pada lelakonan tepi laut kudutakan cemburu kalut
Semoga tak batal dan murung bila mampir si maut
“benarlah Laksmana memarlojongkan Shinta, mencicipinya pula.”
Kiranya Sri Rama tawarkan cara mati baru,
Bukan perapian, tapi pada
Bakau-bakau
Ombak-ombak
Perahu-perahu
Dan lautpun surut
Tanjung Kodok pun masyuk
Di kastil pasir kosmosnya Shinta tergolek setomat
Digerogoti kera putih tak bercawat
“Cut!
Bukan ini yang diminta sutradara!”
(diklat teater, 2003)
ZOOM
Ternyata kau masih mengenaliku
Lewat sepotong kata
Short message service! 27 maret 2005!
Malam turun sejak tadi,
Sepertinya di rembulan kulihat dwi biji matamu berisyarat
Tahukah kau?
Kubah langit mengkanvasi lukisan jemari yang berdebar
Ganal aku menyuaimu di geladeri bawah sadar
Pagina hariku, 26 lebih 74
Siapa potianya?
Sejengkal khuluk, atau penggarit lazuardi belaka?
(Buat Curlyquwh)
PSIKOPAT AKU
Ibuku dipasung setelah melahirkanku, kupikir dia gila
Andaikan dia dulu tidak melahirkanku, pasti dia tidak gila
Lalu orang-orang ikut menamaiku gila
Diantara siang dan malam, aku berdiri diantara matahari dan bulan
Di jalan seorang pengemis menangis, katanya seminggu tak makan
Melihatku ia tertawa, ketika kuganti lambungnya dengan lambungku
Orang bilang percaya itu sebagian kebenaran
Jika aku berperan di teater orang mati
Dengan Roqib Atid sebagai sutradara, apakah itu kebenaran?
Bila yang lain mengklaim kebenaran itu harus masuk akal
FREAKY FREAKY THAT’S ME
Come and go as wild as crow
Lie and truth, I want you to grow
Angel and evil wannabe my fellow
Smile and scowl, I need you to show
F**k and shit will you show?
Sometime anywhere, can you shadow
Somewhere anytime like snow
Freaky freaky that’s me
Dude, would you mind to cherish me glow?
WANNABE LOST
Sorry ma chere amie. Wannabe lost, passed by
Nothing but insatiable, just like the blue sky
Too easy to make up mind
Gone….. come ….. like the wind
Even words can’t save me from the ego
Stay still!! But please let me go
So bye bye bye
That’s what I want to say
(For then you make me wannabe close to you more,
Just like the silver key and the door)
SWEET BROKEN HEART
If the sun keeps in touch with the rain blow
Want you die with the rainbow
Neither sad or happy to let you free
Cos you are hoi polloi but I am hoity toity
NEON NEON AMPERA
NEON-NEON AMPERA
Bowo masih disana, semalam sebelum Januari lembar pertama.
Jelanglah detik pergantian tahun di Ampera, kau akan saksikan Neon-Neon Kota Palembang gemerlap bak manik-manik malam. Di bawahmu, Musi bertabur pelita perahu mondar-mandir serupa kunang-kunang. Sekelilingmu, jubelan manusia yang percaya keajaiban Ampera. Mereka berebut melempar koin ke sungai. Boleh percaya, boleh tidak, jika kau beruntung, koin itu akan menggiring permintaanmu agar terkabul.
“Mitos,” Tin remeh bila Bowo mengagungkan Amperanya. Meski begitu tetap tangannya merogoh dalam tas, lalu jemarinya yang berpacar kuku ungu itu muncul lagi dengan segenggam koin.
Pyur! bila menyentuh cermin air, logam bundar itu berkilau terkena bulan dan Neon-Neon Ampera. Lalu Tin akan berpejam mata sambil telapak tangannya bertemundi dada, khusyu’.
“Kau minta apa?”
“Lulus tes guru kontrak,” mendengarnya Bowo tertegun, itu bukan suara Tin, tak ada Tin, Cuma laki-laki asing di sisi kiri.
“Dan kau?” terlanjur, agar adil ia tanya pula sisi kanan.
“Togelku tembus.”
“Gila! apa kalian belum tahu? Ampera kini lagi tak bertuah.” Persuasinya ironis, mencoba menyimpangkan kepercayaan mereka agar serupa dirinya yang merasa terkhianati Ampera. Tapi yang diajak bicara cuma berpandangan satu sama lain. Kembang api muncrat di udara, merah, kuning, biru, ungu. Ungu warna favorit Tin, sapu tangannya selalu ungu.
“Setiap tahun aku kesini, berharap Ampera merestui cintaku, nyatanya, ia meninggalkanku.”
Oh, dan pahamlah kenapa Bowo begitu. Dua orang itu tahu, semua juga tahu, manusia yang sedang dilanda fanatisme cinta, yang tidak lebih dari sekedar adesi hormon-hormon yang meminta pemuasan usai pubertas, kadang tak bisa membedakan, mana rasio, mana emosi.
“Kenapa? karena kau pengangguran?” Bowo menggeleng.
“Preman, pecandu, gigo….”
“Aku sarjana, reputasiku terjamin!” sambar Bowo cepat menampik dugaan yang kian negatif. “Aku punya mobil, rumah, dan itu halal.”
“Ah, aku tahu, kau pasti impotent.” Laki-laki di sisi kanan tertawa geli, yang di sisi kiri angkat bahu, sekedar setuju.
“Aku normal, puber usia 9 tahun.”
“Kau maniak, masokisme, sadisme, voyeurisme…?”
“Gila apa! aku sehat! jasmani rohani!”
“Nah, itu dia! kau gila!”
“Gila! Aku gila!” Bowo tercenung, seolah berpikir tentang definisi gila. Dan kembali kembang api muncrat di langit Palembang. Neon-Neon Ampera kalah pamor.
“Aku tidak gila, Cuma kesepian.” Desisnya kemudian sambil menatap percik ungu di angkasa. Ungu lagi, kenapa harus warna itu bila tidak ada pemujanya disini, dan andai ada Tin, tentu ia tak kesepian. Padahal malam tahun baru Ampera serupa tengah hari di Labirin Enam Belas Ilir, terkurung dianntara pemilik bibir-bibir merah bergincu dan coklat bernikotin yang tiada jemu mencipta morfrm kebahasan Humani.
“Sungguh kau tak marah bila aku menikah?” Tin masih bersamanya, seminggu lalu menghabiskan senja berlangit Jingga di Ampera, dan ia tak bersuara. Katanya cinta itu butuh pengorbanan, bahkan Shakespeare menulis, and age in love not to have years told, tak selamanya cinta itu saling memiliki. Klise, karena muncul setelah pengorbanan adalah kebencian dan bisakah benci dan cinta bersatu?
“Kau cinta aku?” Tanyanya pahit, dan Tin mengelus rambutnya.
“Tentu, bila tidak, untuk apa setiap tahun aku pulang bersamamu ke Ampera, bukankah lebih menyenangkan lesehan di Malioboro.” Bowo jadi ingat Malioboro kencan pertama, UGM, gudeg, keratin, bagaimanapun, sosok berambut ikal bulat didepannya ini lebih mewakili Yogyakarta dibanding semuanya. “Dan, andai bisa kupinta, aku ingin kita kawin lari saja.” Ditatapnya bola-bola kejora gadis jawa itu, ada pias yang sulit diterjemahkan, tapi ketika mulai ada kaca-kaca di sana, Bowo tak tahan untuk tidak mendamaikannya dalam pelukan.
“Tapi kehidupanku bukan hanya sekarang. Bakaku menanti fanaku, sebagai anak aku tak ingin disebut durhaka.” Papar Tin sok religius, padahal setelahnya ia malah menempelkan plat munafik di dahinya sendiri karena malam itu, sepulang Ampera, ia mengajak Bowo bercinta, esoknya, esoknya lagi.
Empat malam menjelang tahun baru, Bowo kehabisan rasa percaya diri. Negoisasi dengan kepercayaan itu sendiri telah tak menggairahkan karena tercemari ide keposesivan yang menumbuhkan pemberontakan dalam Id-nya, meski telah sempat ia cicipi wewangian yang ditawarkan makhluk sebangsa hawa itu.
“Aku juga sayang kau Tin, tapi aku tak takut dosa.” Bowo meraba sakunya, mencari koin sisa telepon, masih tersisa secuil percayanya pada Ampera, mungkin masih tersisa juga cinta pada Tin. Dua hari lagi pernikahan Tin digelar, pasti semua orang sibuk mencari putri pingitannya itu, dan Bowo berani bertaruh, mereka takkan menemukannya kecuali Musi dipompa habis airnya.
“Hei, kau bilang Ampera tak lagi bertuah.” Bowo menoleh. Laki-laki di kanannya rupanya, ia seolah mengingatkan kalau Bowo menjilat ludahnya sendiri, tapi pandangannya seolah memastikan kalau Bowo benar-benar gila.
“Memang, tapi bukan berarti aku tak meminta.”
“Apa yang kau minta?”
“Mudah, aku ingin polisi tidak menangkapku, sebab telah kubunuh pacarku dan kutenggelamkan Tin di bawah sana. Mungkin esok atau lusa orang-orang akan menemukannya dan mengira ia bunuh diri atau over dosis. Is stress karena akan dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki yang bahkan tak pernah dikenal sebelumnya.” Bowo enteng, sambil dikeluarkannya selembar sapu tangan dan botol plastic wadah obat. Ia menciumnya mesra. Sapu tangan itu bernoda, kenangan saat memetik bunga pertama Tin, dan obat itu, sisa yang belum sempat dijejalkan ke mulut gadis itu, “Kutambahkan ini, pasti lebih cepat terkabul.”
Dan meluncurkan 2 benda bersejarah itu ke sungai Musi yang segera menyambutnya dalam gelombang yang meriakkan bayangan bulan dan Neon-Neon Ampera. Bowo melepas nafas lega. Laki-laki di kanannya geleng-geleng kepala.
“Gila.”
“Aku memang gila.” Bowo tersenyum menepuk pundaknya,” semoga kau cepat kaya, pasanglah nomor ini 10, 01, 19, 80, utak-atiklah sendiri, pasti menang.” Dan segera Bowo mengambil langkah. Yang ditinggal menggumakan angka-angka yang didengarnya barusan dan tersenyum penuh harap. Sementara Bowo berharap melupakan angka itu, ulang tahun Tin.
Beberapa detiklagi pergantian tahun. Kembang api semakin ceria ditingkah hiruk pikuk manusia. Koin-koin berkilau, seiring jeritan terompet-terompet parau yang menggelitik indra dengar.
Lima …. Empat…. semua mata menatap langit, merah, kuning, biru, ungu, sepertinya tak ada yang buta hitung malam ini.
Tiga … dalam kilau Neon-Neon Ampera, permukaan Mulai pecah ketika timbul tenggelam seraut wajah yang seolah memantang bulan, rambutnya ikal cantik.
Dua …. Matanya bulan cantik, bergaun ungu, ungu warna kesayangan Tin, Tin gadis kesayangan Bowo.
Satu … selamat datang 2003-ku, selamat jalan Tin-ku.
Bowo terus berjalan. Ia tersenyum. Ia terpuaskan.
Buat Bowo, maaf, sad ending!
Bowo masih disana, semalam sebelum Januari lembar pertama.
Jelanglah detik pergantian tahun di Ampera, kau akan saksikan Neon-Neon Kota Palembang gemerlap bak manik-manik malam. Di bawahmu, Musi bertabur pelita perahu mondar-mandir serupa kunang-kunang. Sekelilingmu, jubelan manusia yang percaya keajaiban Ampera. Mereka berebut melempar koin ke sungai. Boleh percaya, boleh tidak, jika kau beruntung, koin itu akan menggiring permintaanmu agar terkabul.
“Mitos,” Tin remeh bila Bowo mengagungkan Amperanya. Meski begitu tetap tangannya merogoh dalam tas, lalu jemarinya yang berpacar kuku ungu itu muncul lagi dengan segenggam koin.
Pyur! bila menyentuh cermin air, logam bundar itu berkilau terkena bulan dan Neon-Neon Ampera. Lalu Tin akan berpejam mata sambil telapak tangannya bertemundi dada, khusyu’.
“Kau minta apa?”
“Lulus tes guru kontrak,” mendengarnya Bowo tertegun, itu bukan suara Tin, tak ada Tin, Cuma laki-laki asing di sisi kiri.
“Dan kau?” terlanjur, agar adil ia tanya pula sisi kanan.
“Togelku tembus.”
“Gila! apa kalian belum tahu? Ampera kini lagi tak bertuah.” Persuasinya ironis, mencoba menyimpangkan kepercayaan mereka agar serupa dirinya yang merasa terkhianati Ampera. Tapi yang diajak bicara cuma berpandangan satu sama lain. Kembang api muncrat di udara, merah, kuning, biru, ungu. Ungu warna favorit Tin, sapu tangannya selalu ungu.
“Setiap tahun aku kesini, berharap Ampera merestui cintaku, nyatanya, ia meninggalkanku.”
Oh, dan pahamlah kenapa Bowo begitu. Dua orang itu tahu, semua juga tahu, manusia yang sedang dilanda fanatisme cinta, yang tidak lebih dari sekedar adesi hormon-hormon yang meminta pemuasan usai pubertas, kadang tak bisa membedakan, mana rasio, mana emosi.
“Kenapa? karena kau pengangguran?” Bowo menggeleng.
“Preman, pecandu, gigo….”
“Aku sarjana, reputasiku terjamin!” sambar Bowo cepat menampik dugaan yang kian negatif. “Aku punya mobil, rumah, dan itu halal.”
“Ah, aku tahu, kau pasti impotent.” Laki-laki di sisi kanan tertawa geli, yang di sisi kiri angkat bahu, sekedar setuju.
“Aku normal, puber usia 9 tahun.”
“Kau maniak, masokisme, sadisme, voyeurisme…?”
“Gila apa! aku sehat! jasmani rohani!”
“Nah, itu dia! kau gila!”
“Gila! Aku gila!” Bowo tercenung, seolah berpikir tentang definisi gila. Dan kembali kembang api muncrat di langit Palembang. Neon-Neon Ampera kalah pamor.
“Aku tidak gila, Cuma kesepian.” Desisnya kemudian sambil menatap percik ungu di angkasa. Ungu lagi, kenapa harus warna itu bila tidak ada pemujanya disini, dan andai ada Tin, tentu ia tak kesepian. Padahal malam tahun baru Ampera serupa tengah hari di Labirin Enam Belas Ilir, terkurung dianntara pemilik bibir-bibir merah bergincu dan coklat bernikotin yang tiada jemu mencipta morfrm kebahasan Humani.
“Sungguh kau tak marah bila aku menikah?” Tin masih bersamanya, seminggu lalu menghabiskan senja berlangit Jingga di Ampera, dan ia tak bersuara. Katanya cinta itu butuh pengorbanan, bahkan Shakespeare menulis, and age in love not to have years told, tak selamanya cinta itu saling memiliki. Klise, karena muncul setelah pengorbanan adalah kebencian dan bisakah benci dan cinta bersatu?
“Kau cinta aku?” Tanyanya pahit, dan Tin mengelus rambutnya.
“Tentu, bila tidak, untuk apa setiap tahun aku pulang bersamamu ke Ampera, bukankah lebih menyenangkan lesehan di Malioboro.” Bowo jadi ingat Malioboro kencan pertama, UGM, gudeg, keratin, bagaimanapun, sosok berambut ikal bulat didepannya ini lebih mewakili Yogyakarta dibanding semuanya. “Dan, andai bisa kupinta, aku ingin kita kawin lari saja.” Ditatapnya bola-bola kejora gadis jawa itu, ada pias yang sulit diterjemahkan, tapi ketika mulai ada kaca-kaca di sana, Bowo tak tahan untuk tidak mendamaikannya dalam pelukan.
“Tapi kehidupanku bukan hanya sekarang. Bakaku menanti fanaku, sebagai anak aku tak ingin disebut durhaka.” Papar Tin sok religius, padahal setelahnya ia malah menempelkan plat munafik di dahinya sendiri karena malam itu, sepulang Ampera, ia mengajak Bowo bercinta, esoknya, esoknya lagi.
Empat malam menjelang tahun baru, Bowo kehabisan rasa percaya diri. Negoisasi dengan kepercayaan itu sendiri telah tak menggairahkan karena tercemari ide keposesivan yang menumbuhkan pemberontakan dalam Id-nya, meski telah sempat ia cicipi wewangian yang ditawarkan makhluk sebangsa hawa itu.
“Aku juga sayang kau Tin, tapi aku tak takut dosa.” Bowo meraba sakunya, mencari koin sisa telepon, masih tersisa secuil percayanya pada Ampera, mungkin masih tersisa juga cinta pada Tin. Dua hari lagi pernikahan Tin digelar, pasti semua orang sibuk mencari putri pingitannya itu, dan Bowo berani bertaruh, mereka takkan menemukannya kecuali Musi dipompa habis airnya.
“Hei, kau bilang Ampera tak lagi bertuah.” Bowo menoleh. Laki-laki di kanannya rupanya, ia seolah mengingatkan kalau Bowo menjilat ludahnya sendiri, tapi pandangannya seolah memastikan kalau Bowo benar-benar gila.
“Memang, tapi bukan berarti aku tak meminta.”
“Apa yang kau minta?”
“Mudah, aku ingin polisi tidak menangkapku, sebab telah kubunuh pacarku dan kutenggelamkan Tin di bawah sana. Mungkin esok atau lusa orang-orang akan menemukannya dan mengira ia bunuh diri atau over dosis. Is stress karena akan dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki yang bahkan tak pernah dikenal sebelumnya.” Bowo enteng, sambil dikeluarkannya selembar sapu tangan dan botol plastic wadah obat. Ia menciumnya mesra. Sapu tangan itu bernoda, kenangan saat memetik bunga pertama Tin, dan obat itu, sisa yang belum sempat dijejalkan ke mulut gadis itu, “Kutambahkan ini, pasti lebih cepat terkabul.”
Dan meluncurkan 2 benda bersejarah itu ke sungai Musi yang segera menyambutnya dalam gelombang yang meriakkan bayangan bulan dan Neon-Neon Ampera. Bowo melepas nafas lega. Laki-laki di kanannya geleng-geleng kepala.
“Gila.”
“Aku memang gila.” Bowo tersenyum menepuk pundaknya,” semoga kau cepat kaya, pasanglah nomor ini 10, 01, 19, 80, utak-atiklah sendiri, pasti menang.” Dan segera Bowo mengambil langkah. Yang ditinggal menggumakan angka-angka yang didengarnya barusan dan tersenyum penuh harap. Sementara Bowo berharap melupakan angka itu, ulang tahun Tin.
Beberapa detiklagi pergantian tahun. Kembang api semakin ceria ditingkah hiruk pikuk manusia. Koin-koin berkilau, seiring jeritan terompet-terompet parau yang menggelitik indra dengar.
Lima …. Empat…. semua mata menatap langit, merah, kuning, biru, ungu, sepertinya tak ada yang buta hitung malam ini.
Tiga … dalam kilau Neon-Neon Ampera, permukaan Mulai pecah ketika timbul tenggelam seraut wajah yang seolah memantang bulan, rambutnya ikal cantik.
Dua …. Matanya bulan cantik, bergaun ungu, ungu warna kesayangan Tin, Tin gadis kesayangan Bowo.
Satu … selamat datang 2003-ku, selamat jalan Tin-ku.
Bowo terus berjalan. Ia tersenyum. Ia terpuaskan.
Buat Bowo, maaf, sad ending!
WASIAT TAURA
Kalau saja bukan karena Taura, takkan aku ke rumah Pak Bing. Hanya saja aku merasa berhutang banyak pada Taura di masa lalu, jadi sepantasnyalah aku membalasnya.
Sedang pada Pak Bing, jujur sebenarnya aku segan bertemu beliau. Aku malu, hanya akan mengingatkanku pada kebebalan diriku dalam mencerna soal integral dan logaritma.
Tapi ini pesan terakhir Taura yang wajib aku laksanakan. Aku tak mau aku mati sebelum surat ini kusampaikan, lalu rohku melayang-layang di angkasa, dikejar-kejar gada malaikat yang tak henti-henti menghujat, “Hai manusia, kenapa kau tak bisa menjaga amanat?”
Jadi secepatnya aku menyempatkan diri ke rumah Pak Bing di Paciran. Kebetulan ada jatah tugas liputan tentang Wisata Bahari Lamongan, jadi sekalian aku mampir. Kubawakan keripik nangka dan apel Batu, Pak Bing paling suka itu.
Rumah Pak Bing sepi ketika aku tiba, beliau sedang memangkas mawar-mawarnya, agak kaget dengan kedatanganku. Angin laut membawa bau garam ke indra penciumanku, di belakangku, laut lepas pantura.
“Selamat siang Pak Bing.” Kujabat tangannya.
“Siang..ehm…” keningnya berkerut tanda otaknya sedang menggali memori.
“Saya Theo, Theo Pradika. Ah, aus usia, boleh jadi menghapus jejak lama. Beliau sudah pensiun 5 tahun lalu, tapi sepertinya penampilannya tidak banyak berubah. Hanya warna perak saja yang semakin mendominasi rambutnya, membuatku pangling. Beliau tinggal sendirian saja, istrinya sudah menghadapNya 2 tahun lalu.
“Theo? Theo… ah, Theo.” Bak mantra ia sebut namaku tiga kali, membuka portal masa lampau, “IPA1, 1997?”
Aku mengangguk, ia tersenyum lebar, menepuk-nepuk pundakku.
“Wah, sudah benar-benar pikun aku! Jadi apa kau sekarang? Kudengar kau kuliah di UNDIP! Ayo masuk.”
Pintu dibuka lebar untukku. Tiba-tiba aku disergap pahit. Betapa akan terluka pak tua ini kalau tahu aku hanya datang untuk memberinya segepok lara. Melangkah masuk, seperinya aku sengaja memerangkapkan diri di ruang pengakuan dosa.
******
“Jadi kau? Berdosa kau Taura! Mempermainkan Pak Bing”
Taura tertawa lebar, bereuforia karena aku gemetar usai ia membisikkan rahasianya.
“Siapa yang bilang membuat kejutan itu dosa?”
“Kejutan macam apa?” geram aku menyanggah. “Lihat akibatnya pada Pak Bing, pada kita.”
“Tenang aja The, Pak Bing takkan jadi gila karena ini. Dan kau, bukannya kau lebih suka kalau Pak Bing tidak mengajar?” ejeknya telak, aku Cuma bisa nyengir.
“Tapi tetap saja kau jahat! Kau yang harus bertanggung jawab!”
“Pastilah The, Taura bukan orang yang akan cuci tangan begitu saja usai berbuat. Lalu, apakah kau akan mengadu The?” pertanyaan Taura kedengarannya lebih mirip ancaman.
Dan bukannya aku takut jika aku tidak menjawab. Tapi aku Cuma khawatir, kalau aku mengadu, Taura akan marah dan lalu tidak memberiku contekan pelajaran yang berhubungan dengan angka. Bisa-bisa aku dilecut rotan bapakku kalau sampai pelajaran eksaktaku dapat 6 di raport. Dan taura adalah salah satu dewa penolong yang akan dengan senang hati memperklihatkan jawabannya padaku ketika ulangan.
Lagipula aku penasaran dengan kejutan yang dia rencanakan. Taura selalu memiliki ide-ide unik yang menurut orang lain didefinisikan sebagai kebandelan. Padahal sebenranya ia bukan anak nakal, memang dia suka bolos, tidur ketika diajar, mengganggu tema-teman perempuan. Padahal sebenarya Taura tidak seburuk itu. Kadang aku kasihan Taura dicap sedemikian negative, sedangkan kelakuannya adalah kompensasi untuk mencari perhatian. Taura tidak punya orang tua lagi. Sebenarnya punya, tapi Taura tidak menganggapnya karena mereka pergi begitu saja meninggalkan Taura yang lahir sebelum pernikahan mereka, karena malu, mereka pergi begitu saja, meninggalkan Taura pada pamannya yang buta dan punya tiga anak. Pamannya tidak bekerja, istrinya hanya buruh tani biasa yang tak berpenghasilan. Jadi Taura sering terpaksa tidak masuk sekolah karena membantu mencari nafkah, sekedar mencarikan rumput ternak tetangga atau burruh mencangkul sawah orang. Ia hanya menceritakan ini padaku, ia percaya padaku.
Maka diam-diam aku mengidolakan Taura. Meski hidupnya susah begitu dia tetap santai menjalaninya, malah memacu semangatnya untuk maju. Dia tahu dia dianugerahi otak yang lumayan bisa diandalkan, dan dia ingin bisa memanfaatkan itu. Dan satu hal yang selalu membuatku heran, betapa pulasnya Taura tertidur ketika diajar, ketika tiba-tiba guru berteriak memanggil namanya, bertanya tentang materi yang baru saja diberikan, ia bisa dengan lancar menjawab. Para guru renjananya diaduk-aduk olehnya, kesal campur keki.
“The, awas ya kalau kau sampai mengadu.” Dia mengancam dengan sebenarnya, aku menggeleng. “Tapi besok kau harus memberiku contekan kimia.”
“Tidak mau.”
“Kalau tidak mau, aku akan mengadu, biar diskorsing kau olah Pak Bing.” Ganti aku yang mengancam. Tapi sepertinya Taura tak gentar. Teman sekampungu itu mendekatiku, meninju lenganku.
“Aku tak mau mencontekimu lagi mulai sekarang. Tapi aku akan mengajarimu sampai kau bisa, karena suatu saat nanti kau akan berdiri tanpaku. Tak selamanya aku menemanimu, oke?”
Aku lega, kupikir dia mau bicara apa.
“Aku kadang heran, terbuat dari apa otakmu hingga bisa sejenius itu.”
“Malah aku yang seharusnya heran, terbuat dari apa otakmu The hingga kau sebebal itu.”
Kami terbahak-bahak jadinya.
“Tapi benar kau jangan merusak rencanaku ya, aku ingin membuat kenangan untuk Pak Bing sebelum kita lulus.”
“Oke bos!”.
Jadinya aku tutup mulut, meski aku tersiksa. Merasa begitu jahat pada Pak Bing karena berkomplot dengann taura. Memang aku tak suka diajar pak Bing, tapi itu bukan karena orangnya, melainkan pelajarannya.
Pak Bing, yang kebetulan juga wali kelas kami di kelas III ini orangnya menyenankan, selalu bisa membuat pelajaran matematika lebih mudah dipahami (itu sih kata teman-tenan, bagiku tetap saja sulit, karena akunya yang memiliki keterbatasan otak) beliau berasal dari Sumatera Selatan, Lubuk Linggau tepatnya. Ditugaskan di salah satu kecamatan di Lamongan. Beliau menikah dengan Bu Hanum, guru geografi di SMPku dulu
Sepeda Pak Bing hilang raib dari parkiran. Itu berita yang beredar seminggu lalu. Dan sejak itu pak Bing sepertinya emosi, uring-uringann, tepatnya depresi. Kalau tidak diam mematung, marah-marah saja kerjanya, dan begitu kejamnya memberi kami begitu banyak soal utnuk dikerjakan. Pendeknya Pak Bing berubah, candanya hilang tak berbekas.
Dan Taura, dialah pencuri sepeda itu. Itulah yang dikatankannya padaku hingga aku terkejut bukan kepalang. Ide taura benar-benar gila! Sadis malah. Karena semua orang di sekolah ini tahu Pak Bing sangat mencintai sepeda itu lebih dari dirinya sendiri. Beliau selalu memakai sepeda itu ke sekolah padahal beliau punya 2 mobil di rumah. Sedang jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, sekitar 7 km. Pak Bing pernah bercerita kalau sepeda itu bagaikan nyawanya sendiri, karena sepedanya itu dibawanya dari tanah kelahirannya, warisan turun temurun. Sepeda itu sudah menemaninya sekian tahun bahkan sejak ia belum diangkat sebagai pegawai negeri, jadi sudah seharusnya sepeda itu dirawat baik-baik. Itulah kenapa, ketika sepeda itu hilang Pak Bing seolah kehilangan mustika.
Taura memang nakal. Andai Pak Bing tahun kalau dia pelakunya. Bisa-bisa dibunuhnya taura. Kemudian aku tahu apa kejutan yang dikatakan Taura, ada lomba sepeda antik di kabupaten, dia menyuruh kesana. Dia bertaruh Pak Bing akan datang juga.
Dan selanjutnya, aku dibuat terperangah menyaksikan Taura sebagai salah satu peserta lomba yang harus berarak pawai keliling kota. Bisa ditebak, sepeda siapa yang dipakai. Sepeda Pak Bing!!!
Besoknya kelasku heboh. Taura masuk sekolah dengan wajah dipenuhi lebam-lebam. Semua teman tahu (dari cerita mulut ke mulut) kalau Pak Bing marah besar. Ketika pawai selesai, ia menghampiri Taura, menempelengya lima kali lalu mengambil sepedanya dan pergi. Taura hanya diam, ia tahu ia salah. Ia Cuma tak menduga pak Bing akan semarah itu. Taura mengatakan pak Bing mengancamnya tidak akan meluluskannya.
Taura menangis. Baru kali ini kulihat Taura sesedih ini. Bahkan Pak Bing melarang Taura mengikuti pelajarannya hari ini, sepertinya beliau takkan bisa memaafkan kesalahan yang dibuat Taura, padahal ia tahu, dalam lomba itu Taura jadi pemenang nomor satu yang berhak membawa uang satu juta. Ketika Taura hendak meninggalkan kelas ia berbisik, “Bilang paman, aku ke perpustakaan”
Tentu saja aku tak berani bertanya-tanya. Pak Bing memelototiku dari depan kelas, bisa-bisa aku ikut kena damprat
Akibatnya hari ini aku mengerjakan soal-soal tanpa Taura. Ini pertama kalinya aku bisa. Sunggguh, aku harus berteimakasih padanya sudah mengajariku selama ini. Nanti sore kalau dia datang mengajariku seperti biasa, aku akan menunjukkan padanya bahwa otakku mulai bisa diajak kompromi dengan angka-anga. Tapi sore itu Taura datang bukan untuk mengajariku, tapi mengajakku ke rumah Pak Bing.
“Aku mau minta maaf pada beliau.”
“Kau yakin akan dimaafkam?”
“Pasti.” Dia optimis. “Pak Bing terluka karean sepedanya kuambil tanpa ijin padahal sepeda itu warisan leluhur. Maka aku harus meluluhkan beliau dengan melakukan hal yang sama, mengingatkan pak Bing pada warisan leluhurnya, tanah keahirannya.”
“Kau dapat teori darimana?”
“Ah, itu bukan teori, tapi secara psikologis, seseorang akan keluar empatinya jika berada di suasana seperti rumah sendiri. Bayangkan jika kau berada di Amerika selama 3 bulan, tak pernah merasakan sambal boranan. Sekalinya ada, bagaimana rasanya?”
“Pasti lezat banget!”
“Nah, bukannya Pak Bing sudah hamper seperempat abad di Lamongan, dia cerita kalau dia jarang pulang ke Lubuk Linggau kan?”
“Maksudnya?” aku benar-benar bingung, apa hubungan sambal boranan dengan Pak Bing? Kadang jalan pikiran Taura sulit kupahami, lenih sulit dari soal-soal logaritma.
“Ah, The, ternyata tak berkurang juga bebalmu. Ah, sudahlah, kau nanti ikut saja.”
Ternyata kita tak hanya berdua ke rumah pak Bing, tapi bertiga dengan paman Taura. Kami membawa beras, gula, rokok untuk Pak Bing. Tak lupa uang satu juta, hadiah menang lomba.
“Apa kau hendak melamar Bu hanum? Sudah benar-benar gila kau!”
“Ini namanya punjung mentah The. Semoga Pak Bing menerimanya.” Taura tersenyum penuh harap. “Begini The, ini adat suku Terawas. Suku pak Bing. Jika ada pertikaian, maka adat inilah yang harus diambil sebagai jalan damai. Pihak yang merasa salah harus menghantarkan barang-barang semacam ini sebagai tanda penyesalan.”
Oh oh oh… Taura yang nyentrik! Ternyata dia ke perpustakaan umum untuk mempelajari adat suku Pak Bing? Dan ajaibnya ide nyentrik Taura selalu manjur!
Awalnya Pak Bing memasang muka masam ketika paman Taura menyatakan maksudnya, sampai-sampai laki-laki buta itu memohon. Tapi ketika Taura yang tegas berbicara menyinggung adat-adat perdamaian, seketika wajah pak Bing berubah. Sepertinya beliau terkesan, tepatnya terharu.
“Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud…”
“Sudahlah, itu hanya kesalahan kecil. Itu mengapa aku tidak melaporkanmu ke polisi. Aku tahu kau sebenarnya cerdas, sangat disayangkan kau berbuat sesuatu yang tidak pantas. Lain kali jangan kau ulangi, aku tidak sudi punya murid seorang pencuri.”
Lalu kulihat Taura menggeser duduknya, kupikir hendak minta diri, tapi tidak. Ia mengambil bungksan kecil dari sakunya, bubuk putih dalam plastic. Ia sedikit malu-malu saat bicara. Pak dan Bu Bing berpandangan, lalu memandangku seolah bertanya. Aku salah tingkah, memandang taura.
“saya juga baca Pak, setelah dua pihak bertikai, mereka akan saling melulur wajah dengan tepung tawar. Nah, saya tidak tahu saya harus membelinya dimana disini, jadi saya bawa kanji saja.”
Tiba-tiba Pak Bing tertawa lebar, pun Bu Bing. Taura keki. Paman bingung dalam ketidak tahuannya. Aku ikut tertawa meski tak tahu dimana letak kelucuannya. Masih tergelak-gelak pak Bing mengambil sejumput kanji, lalu melumurkannya ke wajah Taura.
”Ah, aku tak sangka memiliki murid secerdik kau Taura.”
Taura sedikit ragu, tapi segera ia lakukan apa yang diminta Pak Bing. Ia mengusapkan kanji ke wajah gurunya itu. Dua wajah putih tertawa, lalu tak sabar Pak Bing memeluk taura. Aku dan Bu Bing tersenyum, damai.
“Andai saya punya bapak seperti Pak Bing.” Taura nyeletuk. Saat kulihat ia melepaskan diri dari pelukan Pak Bing, kulihat ia menangis. Ini yang kedua kulihat Taura menangis.
*****
“Apa kau menangis The? Kenapa?”
Aku mengusap mataku yang agak basah, tersipu-sipu pada Pak Bing yang menyadarkanku kalau aku masih di ruang tamunya.
“Ah, hanya ingat masa lalu pak. Andai saya dulu mengindahkan nasehat bapak, belajar matematika, takkan jadi seperti ini saya.”
“Lho, bukannya kau sudah enak sekarang?”
“Wartawan kan pekerjaan orang kurang kerjaan pak,”
“Jangan merendah begitu. Kerja apapun asal halal dan dekat dengan tanah kelahiran akan sangat membahagiakan. Jangan macam Taura. Sudah enak dia sekarang, sudah lupa dengan orang tua dan Negara.” Pak Bing menerawang,”Padahal aku sudah ingin punya cucu. Meski bukan cucuku sendiri.”
Pak Bing memang tidak punya keturunan dengan Bu Hanum, hanya satu, Taura. Beliau mengangkat Taura sebagai anak semenjak peristiwa tepung tawar yang mengharu biru itu. Taura dibiayainya hingga ke perguruan tinggi, sekarang ia sedang menempuh S3 di California. “Kau masih sering berhubungan dengan Taura The? Kau teman akrabnya bukan?”
Tiba-tiba aku merasa harus segera menyudahi ini.
“Ya, karena itulah saya kemari pak. Taura menitipkan sebuah surat untuk bapak.”
“Surat?”
Kuulurkan amplop itu, putih warnanya, seputih wajah Taura yang dating padaku. Ia terkena sirosis, satu hal yang tak pernah dia katakana pada ayah angkatnya. Ia terlalu payah mengejar disertasinya. Ia ke rumahku seminggu lalu, meninggal dengan damai di kamar kostku. Ia melarangku memberi tahu pak Bing, takut membuatnya shock, tapi ia menitipkan surat terakhirnya padaku.
Tak perlu kuceritakan lagi itu pada Pak Bing, pasti taura sudah menulisnya dalam suratnya. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus kusampaikan, sebungkus tepung tawar yang dibawa Taura langsung dari tanah kelahiran Pak Bing.
“Taura sempat ke Lubuk Linggau sebelum ia pergi. Ia bertemu dengan keluarga Bapak dan meminta ini.Katanya peristiwa yang dulu belum afdol kalau hanya memakai kanji, jadi sekarang ia berikan tepung tawar yang asli. Sekali lagi ia minta maaf, semoga Pak Bing berkenan.”
Pak Bing berkaca-kaca. Ia meletakkan suratnya, menjumput tepung dan mengusapkannya ke wajahnya. Adegan 15 tahun lalu terulang, tapi tanpa Taura.
“Aku selalu memaafkanmu anakku.” Desahnya diantara isak yang tertahan. Tepat saai itu ponselku menjerit.
“Maaf pak, pekerjaan menunggu, saya minta diri.”
“Ah, ya The. Tapi secepatnya kau luangkan waktumu. Temani aku ke makam Taura.”
“Ya Pak saya usahakan.”
“Terima kasih The.”
“Ya pak, maaf tak bisa lama-lama.”
Jika lama-lama aku bisa ikut menangis!
Usai kujabat tangan Pak Bing yang mulai mengeriput dimakan usia, kutinggalkan rumah itu. Aku lega, sudah kusampaikan amanat Taura, semoga ia bisa tenang disisiNya.
Sedang pada Pak Bing, jujur sebenarnya aku segan bertemu beliau. Aku malu, hanya akan mengingatkanku pada kebebalan diriku dalam mencerna soal integral dan logaritma.
Tapi ini pesan terakhir Taura yang wajib aku laksanakan. Aku tak mau aku mati sebelum surat ini kusampaikan, lalu rohku melayang-layang di angkasa, dikejar-kejar gada malaikat yang tak henti-henti menghujat, “Hai manusia, kenapa kau tak bisa menjaga amanat?”
Jadi secepatnya aku menyempatkan diri ke rumah Pak Bing di Paciran. Kebetulan ada jatah tugas liputan tentang Wisata Bahari Lamongan, jadi sekalian aku mampir. Kubawakan keripik nangka dan apel Batu, Pak Bing paling suka itu.
Rumah Pak Bing sepi ketika aku tiba, beliau sedang memangkas mawar-mawarnya, agak kaget dengan kedatanganku. Angin laut membawa bau garam ke indra penciumanku, di belakangku, laut lepas pantura.
“Selamat siang Pak Bing.” Kujabat tangannya.
“Siang..ehm…” keningnya berkerut tanda otaknya sedang menggali memori.
“Saya Theo, Theo Pradika. Ah, aus usia, boleh jadi menghapus jejak lama. Beliau sudah pensiun 5 tahun lalu, tapi sepertinya penampilannya tidak banyak berubah. Hanya warna perak saja yang semakin mendominasi rambutnya, membuatku pangling. Beliau tinggal sendirian saja, istrinya sudah menghadapNya 2 tahun lalu.
“Theo? Theo… ah, Theo.” Bak mantra ia sebut namaku tiga kali, membuka portal masa lampau, “IPA1, 1997?”
Aku mengangguk, ia tersenyum lebar, menepuk-nepuk pundakku.
“Wah, sudah benar-benar pikun aku! Jadi apa kau sekarang? Kudengar kau kuliah di UNDIP! Ayo masuk.”
Pintu dibuka lebar untukku. Tiba-tiba aku disergap pahit. Betapa akan terluka pak tua ini kalau tahu aku hanya datang untuk memberinya segepok lara. Melangkah masuk, seperinya aku sengaja memerangkapkan diri di ruang pengakuan dosa.
******
“Jadi kau? Berdosa kau Taura! Mempermainkan Pak Bing”
Taura tertawa lebar, bereuforia karena aku gemetar usai ia membisikkan rahasianya.
“Siapa yang bilang membuat kejutan itu dosa?”
“Kejutan macam apa?” geram aku menyanggah. “Lihat akibatnya pada Pak Bing, pada kita.”
“Tenang aja The, Pak Bing takkan jadi gila karena ini. Dan kau, bukannya kau lebih suka kalau Pak Bing tidak mengajar?” ejeknya telak, aku Cuma bisa nyengir.
“Tapi tetap saja kau jahat! Kau yang harus bertanggung jawab!”
“Pastilah The, Taura bukan orang yang akan cuci tangan begitu saja usai berbuat. Lalu, apakah kau akan mengadu The?” pertanyaan Taura kedengarannya lebih mirip ancaman.
Dan bukannya aku takut jika aku tidak menjawab. Tapi aku Cuma khawatir, kalau aku mengadu, Taura akan marah dan lalu tidak memberiku contekan pelajaran yang berhubungan dengan angka. Bisa-bisa aku dilecut rotan bapakku kalau sampai pelajaran eksaktaku dapat 6 di raport. Dan taura adalah salah satu dewa penolong yang akan dengan senang hati memperklihatkan jawabannya padaku ketika ulangan.
Lagipula aku penasaran dengan kejutan yang dia rencanakan. Taura selalu memiliki ide-ide unik yang menurut orang lain didefinisikan sebagai kebandelan. Padahal sebenranya ia bukan anak nakal, memang dia suka bolos, tidur ketika diajar, mengganggu tema-teman perempuan. Padahal sebenarya Taura tidak seburuk itu. Kadang aku kasihan Taura dicap sedemikian negative, sedangkan kelakuannya adalah kompensasi untuk mencari perhatian. Taura tidak punya orang tua lagi. Sebenarnya punya, tapi Taura tidak menganggapnya karena mereka pergi begitu saja meninggalkan Taura yang lahir sebelum pernikahan mereka, karena malu, mereka pergi begitu saja, meninggalkan Taura pada pamannya yang buta dan punya tiga anak. Pamannya tidak bekerja, istrinya hanya buruh tani biasa yang tak berpenghasilan. Jadi Taura sering terpaksa tidak masuk sekolah karena membantu mencari nafkah, sekedar mencarikan rumput ternak tetangga atau burruh mencangkul sawah orang. Ia hanya menceritakan ini padaku, ia percaya padaku.
Maka diam-diam aku mengidolakan Taura. Meski hidupnya susah begitu dia tetap santai menjalaninya, malah memacu semangatnya untuk maju. Dia tahu dia dianugerahi otak yang lumayan bisa diandalkan, dan dia ingin bisa memanfaatkan itu. Dan satu hal yang selalu membuatku heran, betapa pulasnya Taura tertidur ketika diajar, ketika tiba-tiba guru berteriak memanggil namanya, bertanya tentang materi yang baru saja diberikan, ia bisa dengan lancar menjawab. Para guru renjananya diaduk-aduk olehnya, kesal campur keki.
“The, awas ya kalau kau sampai mengadu.” Dia mengancam dengan sebenarnya, aku menggeleng. “Tapi besok kau harus memberiku contekan kimia.”
“Tidak mau.”
“Kalau tidak mau, aku akan mengadu, biar diskorsing kau olah Pak Bing.” Ganti aku yang mengancam. Tapi sepertinya Taura tak gentar. Teman sekampungu itu mendekatiku, meninju lenganku.
“Aku tak mau mencontekimu lagi mulai sekarang. Tapi aku akan mengajarimu sampai kau bisa, karena suatu saat nanti kau akan berdiri tanpaku. Tak selamanya aku menemanimu, oke?”
Aku lega, kupikir dia mau bicara apa.
“Aku kadang heran, terbuat dari apa otakmu hingga bisa sejenius itu.”
“Malah aku yang seharusnya heran, terbuat dari apa otakmu The hingga kau sebebal itu.”
Kami terbahak-bahak jadinya.
“Tapi benar kau jangan merusak rencanaku ya, aku ingin membuat kenangan untuk Pak Bing sebelum kita lulus.”
“Oke bos!”.
Jadinya aku tutup mulut, meski aku tersiksa. Merasa begitu jahat pada Pak Bing karena berkomplot dengann taura. Memang aku tak suka diajar pak Bing, tapi itu bukan karena orangnya, melainkan pelajarannya.
Pak Bing, yang kebetulan juga wali kelas kami di kelas III ini orangnya menyenankan, selalu bisa membuat pelajaran matematika lebih mudah dipahami (itu sih kata teman-tenan, bagiku tetap saja sulit, karena akunya yang memiliki keterbatasan otak) beliau berasal dari Sumatera Selatan, Lubuk Linggau tepatnya. Ditugaskan di salah satu kecamatan di Lamongan. Beliau menikah dengan Bu Hanum, guru geografi di SMPku dulu
Sepeda Pak Bing hilang raib dari parkiran. Itu berita yang beredar seminggu lalu. Dan sejak itu pak Bing sepertinya emosi, uring-uringann, tepatnya depresi. Kalau tidak diam mematung, marah-marah saja kerjanya, dan begitu kejamnya memberi kami begitu banyak soal utnuk dikerjakan. Pendeknya Pak Bing berubah, candanya hilang tak berbekas.
Dan Taura, dialah pencuri sepeda itu. Itulah yang dikatankannya padaku hingga aku terkejut bukan kepalang. Ide taura benar-benar gila! Sadis malah. Karena semua orang di sekolah ini tahu Pak Bing sangat mencintai sepeda itu lebih dari dirinya sendiri. Beliau selalu memakai sepeda itu ke sekolah padahal beliau punya 2 mobil di rumah. Sedang jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, sekitar 7 km. Pak Bing pernah bercerita kalau sepeda itu bagaikan nyawanya sendiri, karena sepedanya itu dibawanya dari tanah kelahirannya, warisan turun temurun. Sepeda itu sudah menemaninya sekian tahun bahkan sejak ia belum diangkat sebagai pegawai negeri, jadi sudah seharusnya sepeda itu dirawat baik-baik. Itulah kenapa, ketika sepeda itu hilang Pak Bing seolah kehilangan mustika.
Taura memang nakal. Andai Pak Bing tahun kalau dia pelakunya. Bisa-bisa dibunuhnya taura. Kemudian aku tahu apa kejutan yang dikatakan Taura, ada lomba sepeda antik di kabupaten, dia menyuruh kesana. Dia bertaruh Pak Bing akan datang juga.
Dan selanjutnya, aku dibuat terperangah menyaksikan Taura sebagai salah satu peserta lomba yang harus berarak pawai keliling kota. Bisa ditebak, sepeda siapa yang dipakai. Sepeda Pak Bing!!!
Besoknya kelasku heboh. Taura masuk sekolah dengan wajah dipenuhi lebam-lebam. Semua teman tahu (dari cerita mulut ke mulut) kalau Pak Bing marah besar. Ketika pawai selesai, ia menghampiri Taura, menempelengya lima kali lalu mengambil sepedanya dan pergi. Taura hanya diam, ia tahu ia salah. Ia Cuma tak menduga pak Bing akan semarah itu. Taura mengatakan pak Bing mengancamnya tidak akan meluluskannya.
Taura menangis. Baru kali ini kulihat Taura sesedih ini. Bahkan Pak Bing melarang Taura mengikuti pelajarannya hari ini, sepertinya beliau takkan bisa memaafkan kesalahan yang dibuat Taura, padahal ia tahu, dalam lomba itu Taura jadi pemenang nomor satu yang berhak membawa uang satu juta. Ketika Taura hendak meninggalkan kelas ia berbisik, “Bilang paman, aku ke perpustakaan”
Tentu saja aku tak berani bertanya-tanya. Pak Bing memelototiku dari depan kelas, bisa-bisa aku ikut kena damprat
Akibatnya hari ini aku mengerjakan soal-soal tanpa Taura. Ini pertama kalinya aku bisa. Sunggguh, aku harus berteimakasih padanya sudah mengajariku selama ini. Nanti sore kalau dia datang mengajariku seperti biasa, aku akan menunjukkan padanya bahwa otakku mulai bisa diajak kompromi dengan angka-anga. Tapi sore itu Taura datang bukan untuk mengajariku, tapi mengajakku ke rumah Pak Bing.
“Aku mau minta maaf pada beliau.”
“Kau yakin akan dimaafkam?”
“Pasti.” Dia optimis. “Pak Bing terluka karean sepedanya kuambil tanpa ijin padahal sepeda itu warisan leluhur. Maka aku harus meluluhkan beliau dengan melakukan hal yang sama, mengingatkan pak Bing pada warisan leluhurnya, tanah keahirannya.”
“Kau dapat teori darimana?”
“Ah, itu bukan teori, tapi secara psikologis, seseorang akan keluar empatinya jika berada di suasana seperti rumah sendiri. Bayangkan jika kau berada di Amerika selama 3 bulan, tak pernah merasakan sambal boranan. Sekalinya ada, bagaimana rasanya?”
“Pasti lezat banget!”
“Nah, bukannya Pak Bing sudah hamper seperempat abad di Lamongan, dia cerita kalau dia jarang pulang ke Lubuk Linggau kan?”
“Maksudnya?” aku benar-benar bingung, apa hubungan sambal boranan dengan Pak Bing? Kadang jalan pikiran Taura sulit kupahami, lenih sulit dari soal-soal logaritma.
“Ah, The, ternyata tak berkurang juga bebalmu. Ah, sudahlah, kau nanti ikut saja.”
Ternyata kita tak hanya berdua ke rumah pak Bing, tapi bertiga dengan paman Taura. Kami membawa beras, gula, rokok untuk Pak Bing. Tak lupa uang satu juta, hadiah menang lomba.
“Apa kau hendak melamar Bu hanum? Sudah benar-benar gila kau!”
“Ini namanya punjung mentah The. Semoga Pak Bing menerimanya.” Taura tersenyum penuh harap. “Begini The, ini adat suku Terawas. Suku pak Bing. Jika ada pertikaian, maka adat inilah yang harus diambil sebagai jalan damai. Pihak yang merasa salah harus menghantarkan barang-barang semacam ini sebagai tanda penyesalan.”
Oh oh oh… Taura yang nyentrik! Ternyata dia ke perpustakaan umum untuk mempelajari adat suku Pak Bing? Dan ajaibnya ide nyentrik Taura selalu manjur!
Awalnya Pak Bing memasang muka masam ketika paman Taura menyatakan maksudnya, sampai-sampai laki-laki buta itu memohon. Tapi ketika Taura yang tegas berbicara menyinggung adat-adat perdamaian, seketika wajah pak Bing berubah. Sepertinya beliau terkesan, tepatnya terharu.
“Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud…”
“Sudahlah, itu hanya kesalahan kecil. Itu mengapa aku tidak melaporkanmu ke polisi. Aku tahu kau sebenarnya cerdas, sangat disayangkan kau berbuat sesuatu yang tidak pantas. Lain kali jangan kau ulangi, aku tidak sudi punya murid seorang pencuri.”
Lalu kulihat Taura menggeser duduknya, kupikir hendak minta diri, tapi tidak. Ia mengambil bungksan kecil dari sakunya, bubuk putih dalam plastic. Ia sedikit malu-malu saat bicara. Pak dan Bu Bing berpandangan, lalu memandangku seolah bertanya. Aku salah tingkah, memandang taura.
“saya juga baca Pak, setelah dua pihak bertikai, mereka akan saling melulur wajah dengan tepung tawar. Nah, saya tidak tahu saya harus membelinya dimana disini, jadi saya bawa kanji saja.”
Tiba-tiba Pak Bing tertawa lebar, pun Bu Bing. Taura keki. Paman bingung dalam ketidak tahuannya. Aku ikut tertawa meski tak tahu dimana letak kelucuannya. Masih tergelak-gelak pak Bing mengambil sejumput kanji, lalu melumurkannya ke wajah Taura.
”Ah, aku tak sangka memiliki murid secerdik kau Taura.”
Taura sedikit ragu, tapi segera ia lakukan apa yang diminta Pak Bing. Ia mengusapkan kanji ke wajah gurunya itu. Dua wajah putih tertawa, lalu tak sabar Pak Bing memeluk taura. Aku dan Bu Bing tersenyum, damai.
“Andai saya punya bapak seperti Pak Bing.” Taura nyeletuk. Saat kulihat ia melepaskan diri dari pelukan Pak Bing, kulihat ia menangis. Ini yang kedua kulihat Taura menangis.
*****
“Apa kau menangis The? Kenapa?”
Aku mengusap mataku yang agak basah, tersipu-sipu pada Pak Bing yang menyadarkanku kalau aku masih di ruang tamunya.
“Ah, hanya ingat masa lalu pak. Andai saya dulu mengindahkan nasehat bapak, belajar matematika, takkan jadi seperti ini saya.”
“Lho, bukannya kau sudah enak sekarang?”
“Wartawan kan pekerjaan orang kurang kerjaan pak,”
“Jangan merendah begitu. Kerja apapun asal halal dan dekat dengan tanah kelahiran akan sangat membahagiakan. Jangan macam Taura. Sudah enak dia sekarang, sudah lupa dengan orang tua dan Negara.” Pak Bing menerawang,”Padahal aku sudah ingin punya cucu. Meski bukan cucuku sendiri.”
Pak Bing memang tidak punya keturunan dengan Bu Hanum, hanya satu, Taura. Beliau mengangkat Taura sebagai anak semenjak peristiwa tepung tawar yang mengharu biru itu. Taura dibiayainya hingga ke perguruan tinggi, sekarang ia sedang menempuh S3 di California. “Kau masih sering berhubungan dengan Taura The? Kau teman akrabnya bukan?”
Tiba-tiba aku merasa harus segera menyudahi ini.
“Ya, karena itulah saya kemari pak. Taura menitipkan sebuah surat untuk bapak.”
“Surat?”
Kuulurkan amplop itu, putih warnanya, seputih wajah Taura yang dating padaku. Ia terkena sirosis, satu hal yang tak pernah dia katakana pada ayah angkatnya. Ia terlalu payah mengejar disertasinya. Ia ke rumahku seminggu lalu, meninggal dengan damai di kamar kostku. Ia melarangku memberi tahu pak Bing, takut membuatnya shock, tapi ia menitipkan surat terakhirnya padaku.
Tak perlu kuceritakan lagi itu pada Pak Bing, pasti taura sudah menulisnya dalam suratnya. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus kusampaikan, sebungkus tepung tawar yang dibawa Taura langsung dari tanah kelahiran Pak Bing.
“Taura sempat ke Lubuk Linggau sebelum ia pergi. Ia bertemu dengan keluarga Bapak dan meminta ini.Katanya peristiwa yang dulu belum afdol kalau hanya memakai kanji, jadi sekarang ia berikan tepung tawar yang asli. Sekali lagi ia minta maaf, semoga Pak Bing berkenan.”
Pak Bing berkaca-kaca. Ia meletakkan suratnya, menjumput tepung dan mengusapkannya ke wajahnya. Adegan 15 tahun lalu terulang, tapi tanpa Taura.
“Aku selalu memaafkanmu anakku.” Desahnya diantara isak yang tertahan. Tepat saai itu ponselku menjerit.
“Maaf pak, pekerjaan menunggu, saya minta diri.”
“Ah, ya The. Tapi secepatnya kau luangkan waktumu. Temani aku ke makam Taura.”
“Ya Pak saya usahakan.”
“Terima kasih The.”
“Ya pak, maaf tak bisa lama-lama.”
Jika lama-lama aku bisa ikut menangis!
Usai kujabat tangan Pak Bing yang mulai mengeriput dimakan usia, kutinggalkan rumah itu. Aku lega, sudah kusampaikan amanat Taura, semoga ia bisa tenang disisiNya.
MARS, VENUS, KUMBANG DAN MELATI
cerEntah ini mimpi atau bualan, tapi ini purnama. Dan entah apa aku ini manusia serigala yang bisa malih rupa ketika bulan sempurna bundar bertandang di atas sana, atau sekedar dianugerahi sekejab kekuatan oleh yang Maha. Dini hari ini, aku merasa seringan kapas dan setipis kulit bawang. Tiba-tiba aku lolos dari jeruji yang selama ini mengurungku, lalu dengan mudah melewati penjaga, lampu-lampu sorot di sudut bangunan penjara. Aku adalah Pyoroeis, Phobos dan Demos pengawalku. Jangan pernah menyentuhku jika kau tak ingin jiwamu luluh lantak disentuhku.
Dan aku keluar dari sana, melihat mobil-mobil, pohon dan manusia, normal. Juga seekor cicak yang merayap di trotoar. Tapi aku tak berniat pulang, aku tak punya uang untuk naik taxi. Jadi aku terbang kesana, demimu Dinda.
Dulu aku senang disini, bila malam telanjang dan bumi terkantuk-kantuk. Kuhitung bintik-bintik putih cemerlang di Milky Way, satu dua tiga seribu sejuta, kupanggil namamu, Oriza Sativa. Mars berpendar merah dan Venus berkedip ungu. Dan melati mengurai harum bunga di depan kelas II.2.
Sudah lama aku tak kesana, tapi besok ultahmu Dinda. Dan aku tahu kau mencintai melati itu. Dingin beku hujan semalam, bersama arah malam yang kian pudar sampai juga aku disini. Asal kau tahu, gerbangnya digembok dua, dan aku tak sanggup merenggutnya. Jadi aku harus memanjat untuk sampai kesana. Kurasa selangkangan celanaku sobek tersayat ujung jerujinya, angin meraba isinya yang terlalu melugu hingga tak kuasa bertirani padamu dulu, Dinda.
Venus masih ungu, tapi Mars agak redup saat ini. Bersijingkat kudekati rumpun melati yang berbunga di depan kelas II.2. mengendusi aroma keperawanannya yang serupa baumu saat kudekapi malam-malam gelisah menginginkanmu menjelang EBTANAS bersama keperjakaan yang sia-sia.
Lalu kupetik sekuntum, tiba-tiba aku ingin berair mata Dinda, aku rindu padamu. Simpuhku pada rumpun melati, mengingatkanku pada saat pertama ia berbunga, Cuma sekuntum saja, seperti melarikan diri dari warananya, sepasang babut hijau bersemat embun yang memprismakan diri serupa pelangi kala surya bangun menyapa selamat pagi dunia.
Aku masih di kelas itu, di bangku nomor tiga baris kedua dekat jendela. Kurasa ia biasa saja, aku belum mencintai bunga-bunga. Semenit kemudian aku bertiwikrama, bukan, bukan melati itu sebabnya, tapi padamu yang pertama kali menuju kelasku.
Kamu cantik Dinda, kamu venus Dinda. Apa kau tahu, Venus, Pavlova, Aphrodite, dewi cinta?
“Saya menggantikan guru Fisika yang cuti hamil. Nama saya Oriza Sativa.” Biasa dipanggil Ori, single, 23 tahun. Oh, Miss Ori, how do you do, ajari aku mengeja I Love You. Aku Dion Praharsa, 17 tahun, panggilan Felix.
“Kenapa Felix?”
“Karena Kau Oriza Sativa!” padi dimakan tikus, tikus dimakan kucing. Bukan begitu?”
Ah, tentu saja itu hanya percakapan renjanaku sendiri. Kau di sana, mulai bicara tentang fisika. Aku tak suka fisika Dinda, tapi aku suka padamu.
“Tentang Ptolemy dan Copernicus, yang menyatakan bahwa teori tata surya……teori cinta, Romeo dan Juliet, Mars dan Venus….
Seorang Romeo bertubuh Eros terjaga di Mars. Sayang sayapnya tinggal sebelah. Ia sekarat, karena sayapnya itulah nyawanya. Lalu Hatif datang berfatwa,
“Sayapmu dicuri Juliet.”
“Siapa Juliet? Aku akan mati tanpa sayapku.”
“Juliet makhluk sepertimu juga, ia dicipta dari sayapmu. Kau harus menemukannya jika ingin tetap hidup, karena kau telah berbagi sayap dengannya itu berarti kau berbagi jiwa dengannya.”
“Bagaimana aku bisa menemukannya? Bagaimana aku bisa terbang mencarinya, melewati bumi yang dihuni populasi kolobos berkepala hitam dan para medusa, sedang sayapku patah begini.”
“Tak usah kau cari, cukup pancarkan syahwatmu, baunya akan menggiringnya sendiri padamu. Kau punya satu yang membakar, dia punya Sembilan tapi satu akal.”
Maka romeopun menunggu Juliet sambil menetesi luka sebelah sayapnya dengan semennya yang berwarna merah. Selalu, ketika semen bertemu luka, rasa hangat membakarnya, dan bebauan aneh menguar dari sana. Seperti tali temali bergulung menjauh, mencari mangsa. Seperti asap terbang menjerat para kupu-kupu. Dedaunan menggeliat, bebungaan mekar, dan kantong semar membuka diri siap dijamahi.
Tiba-tiba datang raja Kolobos berkepala hitam dari bumi. Matanya besar sebelah, hidungnya bengkok. Tapi rambutnya lebat hampir menutupi wajahnya.
“Ksatria Romeo, tolonglah aku, penguasa Venus mengkoloni Bumiku!”
“Ia Julietkah? Ia juga mencuri sayapku.”
“Sayap? Apakah itu sesuatu bulu berlembar-lembar berwarna putih dengan bintik-bintik transparan merah apel New Zealand?”
“Ya, semacam itulah sayapku. Padaku tinggal separuh dan hampir layu.” Romeo membeber sayap patahnya, raja Kolobos geleng kepala.
“Jadi itukah sayapmu? Juliet telah menyayatnya jadi potongan kecil-kecil berbentuk hati, melumerinya dengan saus pink dengan merek Ketuban Valentine dan memberikannya pada kaumku yang betina sehingga itu menumbuhkan sejenis polip di rahamya yang kemudian mbrojol sebagai seekor jenis binatang berkaki dua dengan kulit warna-warni, merah jingga kuning hijau biru nila ungu.”
“Antarkan aku padanya, aku harus meminta kembali sayapku, aku tak perduli meski makhluk MEJIKUHIBINIU itu harus dijejalkan kembali ke tubuh kaummu agar kembali ke bentuknya semula.”
Maka terbanglah raja Kolobos dengan Romeo di tengkuknya, berpegang tangan sang ksatria bersayap sebelah pada cuping telinga sang raja sehingga ia bisa melihat “pundi kebenaran” yang berkarat di di tebing gendang telinga makhluk berbulu itu. Hasrat hati mengambil sebuah tapi keburu sang raja menurunkannya di sebuah daratan penuh bunga amber dan chamomile.
“Inikah Bumi? Mana Juliet?”
“Ini bukan bumi, ini Paradise! Tempat Juliet bertapa.” Sambil berkojah, raja Kolobos menunjuk ke suatu arah, “Itulah yang kau cari, Juliet belahan jiwamu.”
Dan memandanglah Romeo kearah yang ditunjuk raja Kolobos, rontoklah seketika sayap Romeo yang tinggal sebelah. Terbukalah juga auratnya sehingga ia malu dan meraup dedaunan Paradise.
Dan bersamaan itu, Julietpun memandang ke arah sayap-sayap yang rontok, kagetlah ia, dan lepaslah selendangnya, terbukalah auratnya.
Dua mahkluk itu saling pandang terpana. Dan Kolobos menaburkan serbuk feromon dengan liar sambil menari diantara mereka.
“Dasar bodoh! Harusnya kalian tak boleh saling melihat! Hahaha… “ Raja Kolobos tertawa lebar menggelegar, terbelahlah lantai Paradise. Dari semula inilah rencananya untuk mengusir dua orang itu dari temoatnya semula.
Romeo melesak terhimpit berteriak. Juliet ambles tak kuasa menggeliat. Jeritan berpadu bahak. Lalu semua gelap dalam pandangan Romeo dan Juliet. Dan mereka diam. Sunyi.
Dan ketika mereka terjaga, matahari bersinar terik di padang pasir Verona. Mereka melihat makhluk-makhluk berkaki dua berwarna MEJIKUHIBINIU dimana-mana. Mereka saling menyalahkan.
“Kata Hatif kau mencuri sayapku.”
“Tidak, Hatif bohong, ia yang ingin kita bertemu.”
“Kata raja Kolobos kau mendermakan sayapku.”
“Tidak, Kolobos juga bohong padamu. Kaumnya yang betina itu yang memaksaku agar dicicipkan rontokan sayapmu.”
Tiba-tiba Romeo kejang-kejang, dua sayapnya telah berpulang, padahal sayapnya itulah nyawanya. Ia menggigil meriang tak tertahankan.
“Aku tak bisa hidup disini, Verona terlalu hijau, aku suka merah. Aku harus kembali ke Mars.”
“Dan aku harus kembali ke Venus.”
“Tapi aku tak bisa kesana, aku tak punya sayap lagi.”
“Aku juga takkan diterima lagi di Venus. Kantong saus Ketuban Valentineku telah kering. Padahal di venus, semua memilikinya”
Dua orang itu meratapi nasib. Menangis hingga pepasiran membasah. Saat itu Hatif menyapa.
“kalian akan tetap tinggal di Verona dengan perjanjian sebagai berikut”
1. Agar Romeo tak lagi mengingat Mars yang berwarna merah, maka semenyya yang merah akan diubah seputih susu saja
2. Agar kantong saus valentine Juliet tak pernah kering, maka dibuatkan kantong khusus dalam tubuhnya, bernama ketuban plasenta.
3. Agar tidak bingung dengan warna kulit makhluk hasil percampuran sayap Juliet dan ketuban Juliet, maka disederhanakan saja menjadi 4 macam saja, hitam: negroid, putih : Eropid. Coklat : mongoloid, dan merah: Indiana
“Jadi karena perbedaan atmosfir itulah, maka bintang terlihat berkelap kelip. Tapi akan terlihat Mars the Red planet berwarna merah, dan Venus… Dion, apa warna Venus?”
“Ungu!” kurasa aku benar, tapi jenih matamu kecewa.
“Ungu? Ah Dion, sebaiknya kau cuci muka dulu.” Mimpiku mengalir indah. Percintaan Romeo Juliet tanpa Hepasteus. Sayang ibu guruku marah. Tapi benar kan Bu, Venus berwarna ungu? Seungu mata cincin dijari manismu. Kurasa aku mulai menyukai ungu. Ungu adalah venus. Venus itu kau, hesperosku, phosporosku.
Di kala melati itu mulai bertambah kuntumnya, erospun bangkit dari semedinya, menyadarkan Mars dan Venus yang terlena dalam perselingkuhan di pagi buta dalam jarring laba-laba.
Kumbang-kumbang berebut melati, kumbang muda dan kumbang tua.
“Yang besar bapaknya, yang kecil anaknya.”
“Bu, jika hanya ada sekuntum melati, siapa yang berhak mengambilnya?” karena bagiku hanya ada satu melati yang kutanam di vas kaca ungu yang rawan Pecah. Dan sebagai bunga, ia tak bisa memilih kumbang mana yang ia suka.
“Yang kecil,biar ia mempraktekkan ilmu yang didapatnya dari kumbang dewasa.”
“Bagaimana jika kumbang bapak itu butuh madu lebih dulu demi ratunya yang gering?”
“Baiklah, yang besar dulu. Dengan begitu ratunya akan sembuh dan menghasilkan banyak kumbang baru.”
“Kau jangan plin plan Bu. Kenapa tak kau biarkan saja mereka saling buru dan bunuh. Yang kuat memangsa yang lemah.”
“Tidak bisa begitu, semua ada aturannya, jangan memakai hukum rimba.”
“Aturan dibuat untuk dilanggar Bu. Dan dalam cinta kita tidak perlu unggah ungguh!”
Kau diam. Kenapa Bu? Takutkah kau Bu jika kumbang kecil akan bunuh diri karena harga dirinya terluka, atau ikut berduka pada kumbang besar yang kehilangan wibawa jika kalah bertanding dengan kumbang remaja?
Kumbang remaja adalah aku. Kumbang dewasa adalah ayahku. Mana yang kau ijinkan untuk memetikmu?
“Maaf, aku putuskan tidak memilih.”
Karena kau tak sanggup meninggalkan si cacat Hepasteuskah? Padahal kau selalu meracuniku dengan cerita ibu peri baik hati yang selalu menemani anak-anak yang kehilangan bunda ketika terbebsa dari rahamnya, takkan habis versi mahabarata dan Ramayana, sehingga aku selalu bermimpi dewi shinta menjelma ibu peri dan membuktikan kesetiaannya mengawal anak-anak yang tak ingin jadi dewasa dengan bersumpah dalam kobaran api nyala. Api yang membakarku suatu malam ketika engkau asyik mencumbui berkas-berkas disertasimu. Sehingga kau tak bisa menemaniku mengerjakan rumus pesawat sederhana.
Mungkinkah kau telah lupa, aku baru saja kau pimpin mencapai baligh dan memahami bahwa Mars dan Venus adalah Pecinta gila yang abadi, seperti teori-teori yang kau kutipi, Ptolemy dan Copernicus, Romawi dan Herodotus, astrologi dan astronomi.
Bukan Ares, bukan Hepasteus. Tapi Hades.
Kau menemuinya di dekat rumpun melati. Kau persembahkan sebotol insektisida dan surat cinta. Pada Hepasteus terhormat, pada Ares terkasih. Aku pergi, aku tak bias memilih.
Busuk!
Melati itu masih berpuluh kuntumnya yang belum mekar, tapi kenapa kau gugur duluan? Padahal sarimu telah disesap si kumbang besar dan menunjukkan gejala berbuah. Kata dokter 3 bulan jalan.
Dinda, pecah sudah vas unguku, kemana kucari melatiku?
Matahari jingga mengawalmu ke istana Erebus, dia mengarbitku jadi dewasa. Dan berteman Mammon, Leviathan, Amon dan Beelzebub, kutemui Hepasteusmu. Kubawa dia mengumpulkan kelopak bungaku yang runtuh tercerai berai di kawah Akheron. Semoga bisa jadi bekalnya menyusulmu menemui Hades. Tunggulah ia disana.
Busuk!
Pasti tujuh tahun ini kau bersamanya, bersama Asmodeus dan Lucifer.
Dan melati itu, tinggal serumpun saja. Dia dibabat habis untuk memudahkan penyelidikan atas mayat kakumu yang ditemukan di pagi buta oleh penjaga sekolah. Tapi sepertinya malam mini seminya semringah, mungkin karena ada sebagian kau yang tertinggal disana.
Andai aku bisa menemanimu Dinda, mempersembahkan bagian dirimu itu.
Ah, aku tahu, ada beberapa mata mengawasiku.
Aihh, manusia iri, tolonglah. Tak bisakah kau biarkan aku menemui melatiku saja. Kekasihku sendiri menangguk duka hati, menuai cinta tak berpunya. Hujan tiada berjenguk. Telepon tiada berdering.
Cinta.
Busuk.
*********************************************************************
Penyergapan itu begitu cepat. Dan ia tak berdaya. Bukan karena ia tak punya daya. Tapi mungkin dirasanya cukup. Ia tak mau lagi berulah. Tapi tiba-tiba tergoda karena salah satu dari mereka merebut paksa melatinya.
“Jangan! Jangan melatiku!” keposesivan yang percuma. Mana mereka tahu arti melati bagi seorang Dion Praharsa. Jadinya melati-melati itu dicampakan, berserakan di tetanahan, diantara Teki dan krokot. Dion tak kuasa meronta dalam cekalan, lalu melemah dan pasrah. Seperti Romeo kehilangan sayap, karena sayap itulah nyawanya. Karena melati itulah nyawanya.
Dalam kesekaratan, ia melihat perempuan itu diantara para peringkusnya.
“Ibu, tolong aku. Melatiku Bu.”
Tapi perempuan itu tak bereaksi, malah ia buang muka tak bersimpati, padahal jelas ada airmata kasih sayang yang ditopengi benci. Sebuah kemunafikan yang nyata antara rindu dendam. Mendengar panggilan ibu ia sudah beku, naluri keibuannya raib tujuh tahun silam.
“Bu, bawa melatinya ke Miss Ori, katakana aku mencintainya. Seperti kau cinta bapak.”
Kalimat terakhir anaknya, Dion Praharsa, hilang bersama angin, seperti hilangnya masa lalu. Anak lelakinya tak menolak ketika borgol kembali membelenggunya dan rombongan pemangsa itu membawanya pergi. Malah yang ia dengar adalah suara lelaki yang menjadi inti masalah ini.
“Kau memang indah dilihat, tapi tak berasa disentuh. Dia melati yang putih, cantik dan wangi.”
Lalu satu suara lagi, suara yang ia tak acuhkan keberadaanya.
“Asal ibu tahu, dialah yang menghamili Miss Ori! Aku tak terima kau diperlakukan tidak adil olehnya!”
“Tidak!” nafas perempuan itu memburu, ia menyuruk ke arah melati yang tercecer. “Takkan ada melati buatmu, tak ada buat seorang sundal sepertimu!” ia menginjak-injak melati itu kasar dengan ujung sol sepatunya.
Betapa, melati itu yang membuat bapak anak berseteru. Melati itu yang membuat suami dan anaknya saling bunuh.
*******************************************************************
“Kau tak apa-apa Pak? Sunggguh?”
“Masih utuh.” Tersenyum jamin menjawab, meski dibiarkannya sang istri memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Benar kan.’
“Untunglah.”
Jeda sejenak. Jamin mereguk kopi yang tersaji. Istrinya menguap sekali. Pasti masih mengantuk karena tidur malamnya terpotong kejadian barusan.
“Cuma maling kembang melati.”
“Melati?”
“Ya, melati.”
“Cuma melati? Dan kau melaporkannya pada polisi?”
Jamin menghela nafas. Istrinya penasaran. Andai kau tahu Bu siapa maling kembang melati itu, pasti kau sekeder aku juga.
Beberapa jam lalu saat hujan hampir usai dan ia pun selesai menjalankan tugas mengontrol suasana sekolah, ia berniat menyusul istrinya tidur. Tapi ia terhenyak kaget saat mendapati seorang tamu tak diundang di terasnya. Temaramnya lampu tak bisa menyembunyikan wajah tamu itu.
“Masih ingat saya Pak?” menelusiri wajah lelaki asing itu, raut tak terawat, masih muda tapi rambut menimbun parasnya sehingga telihat acak, tirus, kumal. Tapi samar ia ingat seorang siswa yang dulunya ia banggakan. Ia yang supel dan merebut berbagai posisi di sekolah, ketua kelas, ketua OSIS, ketua tim basket, vokalis band, ah, harusnya ia bisa lulus dengan predikat terbaik, andai saja.. andai saja…
“Dion.” Menyebut namanya, Jamin mundur selangkah.
“Tak usah khawatir Pak,saya tidak berniat buruk. Bapak sehat? Kantinnya masih ramai?”
“Masih, masih.” Ingatan masa lalu tergali lagi. Dion, ah, dia masih sesopan dulu.
“Saya minta ijin memetik bunga melati di depan kelas II.2 pak.besok Miss Ori ulang tahun. Boleh ya Pak?”
“Bo.. boleh, silahkan.”
“Terimakasih. Dan jika bapak hendak melaporkan keberadaan saya disini, saya mempersilahkan.”
Tuhan, andai tadi ia tak melaporkan, tentu saja Dion bisa memeperembahkan melati untuk kekasihnya.
“Pak?” jamin tergagap, menatap istrinya lekat. Duhai sayang, tahukah kau makna sebuah cinta?
“Terus gimana kelanjutannya? Dia dibawa ke kantor polisi?”
“Ketika kita pacaran dulu, ada sebuah peristiwa menggemparkan di sekolah ini. Kepala sekolah tewas mengenaskan digorok anaknya sendiri.”
“Karena dia menghamili seorang guru baru. Dan kemudian terkuak bahwa anaknya itu juga menyukai gurunya. Guru itu diketemukan tewas di rumpun melati, bunuh diri.”
Seperti garis hitam diatas putih, kejadian akan selalu terekam dalam memori.
“Dion? Dion Praharsa? Pencuri itu“ istrinya memastikan. “Dia kabur dari tahanan? Hanya karena mencuri melati?”
“Ya, melati.”
“Benar-benar kebliner anak itu.”
“Bu, bsok ulang tahun Miss Ori. Dion ingin menghadiahinya melati.”
Lalu diam. Dari jauh terdengar kumandang subuh. Angin pagi membawa harum melati ke kamar mereka. Melati yang lain, bukan yang didepan kelas II.2.
*********************************************************************
Aku mungkin berdosa, tapi demimu Dinda. Maaf aku tak bisa datang dan menyalakan lilin makan malam bersama harum melati, aku harus kembali mengikuti mereka dimana aku bisa melebur dosa. Ini demi ibu, seperti halnya demi ibu pula kubunuh kekasihmu, ayahku.
Langit masih sama seperti saat kita berdua menaksir bintang-bintang, satu dua tiga seribu sejuta, tiada lagi kau Oriza sativa. Kulihat sejuta bintang di langit sana berubah jadi Venus, tapi hanya satu Mars, aku.
Dan aku keluar dari sana, melihat mobil-mobil, pohon dan manusia, normal. Juga seekor cicak yang merayap di trotoar. Tapi aku tak berniat pulang, aku tak punya uang untuk naik taxi. Jadi aku terbang kesana, demimu Dinda.
Dulu aku senang disini, bila malam telanjang dan bumi terkantuk-kantuk. Kuhitung bintik-bintik putih cemerlang di Milky Way, satu dua tiga seribu sejuta, kupanggil namamu, Oriza Sativa. Mars berpendar merah dan Venus berkedip ungu. Dan melati mengurai harum bunga di depan kelas II.2.
Sudah lama aku tak kesana, tapi besok ultahmu Dinda. Dan aku tahu kau mencintai melati itu. Dingin beku hujan semalam, bersama arah malam yang kian pudar sampai juga aku disini. Asal kau tahu, gerbangnya digembok dua, dan aku tak sanggup merenggutnya. Jadi aku harus memanjat untuk sampai kesana. Kurasa selangkangan celanaku sobek tersayat ujung jerujinya, angin meraba isinya yang terlalu melugu hingga tak kuasa bertirani padamu dulu, Dinda.
Venus masih ungu, tapi Mars agak redup saat ini. Bersijingkat kudekati rumpun melati yang berbunga di depan kelas II.2. mengendusi aroma keperawanannya yang serupa baumu saat kudekapi malam-malam gelisah menginginkanmu menjelang EBTANAS bersama keperjakaan yang sia-sia.
Lalu kupetik sekuntum, tiba-tiba aku ingin berair mata Dinda, aku rindu padamu. Simpuhku pada rumpun melati, mengingatkanku pada saat pertama ia berbunga, Cuma sekuntum saja, seperti melarikan diri dari warananya, sepasang babut hijau bersemat embun yang memprismakan diri serupa pelangi kala surya bangun menyapa selamat pagi dunia.
Aku masih di kelas itu, di bangku nomor tiga baris kedua dekat jendela. Kurasa ia biasa saja, aku belum mencintai bunga-bunga. Semenit kemudian aku bertiwikrama, bukan, bukan melati itu sebabnya, tapi padamu yang pertama kali menuju kelasku.
Kamu cantik Dinda, kamu venus Dinda. Apa kau tahu, Venus, Pavlova, Aphrodite, dewi cinta?
“Saya menggantikan guru Fisika yang cuti hamil. Nama saya Oriza Sativa.” Biasa dipanggil Ori, single, 23 tahun. Oh, Miss Ori, how do you do, ajari aku mengeja I Love You. Aku Dion Praharsa, 17 tahun, panggilan Felix.
“Kenapa Felix?”
“Karena Kau Oriza Sativa!” padi dimakan tikus, tikus dimakan kucing. Bukan begitu?”
Ah, tentu saja itu hanya percakapan renjanaku sendiri. Kau di sana, mulai bicara tentang fisika. Aku tak suka fisika Dinda, tapi aku suka padamu.
“Tentang Ptolemy dan Copernicus, yang menyatakan bahwa teori tata surya……teori cinta, Romeo dan Juliet, Mars dan Venus….
Seorang Romeo bertubuh Eros terjaga di Mars. Sayang sayapnya tinggal sebelah. Ia sekarat, karena sayapnya itulah nyawanya. Lalu Hatif datang berfatwa,
“Sayapmu dicuri Juliet.”
“Siapa Juliet? Aku akan mati tanpa sayapku.”
“Juliet makhluk sepertimu juga, ia dicipta dari sayapmu. Kau harus menemukannya jika ingin tetap hidup, karena kau telah berbagi sayap dengannya itu berarti kau berbagi jiwa dengannya.”
“Bagaimana aku bisa menemukannya? Bagaimana aku bisa terbang mencarinya, melewati bumi yang dihuni populasi kolobos berkepala hitam dan para medusa, sedang sayapku patah begini.”
“Tak usah kau cari, cukup pancarkan syahwatmu, baunya akan menggiringnya sendiri padamu. Kau punya satu yang membakar, dia punya Sembilan tapi satu akal.”
Maka romeopun menunggu Juliet sambil menetesi luka sebelah sayapnya dengan semennya yang berwarna merah. Selalu, ketika semen bertemu luka, rasa hangat membakarnya, dan bebauan aneh menguar dari sana. Seperti tali temali bergulung menjauh, mencari mangsa. Seperti asap terbang menjerat para kupu-kupu. Dedaunan menggeliat, bebungaan mekar, dan kantong semar membuka diri siap dijamahi.
Tiba-tiba datang raja Kolobos berkepala hitam dari bumi. Matanya besar sebelah, hidungnya bengkok. Tapi rambutnya lebat hampir menutupi wajahnya.
“Ksatria Romeo, tolonglah aku, penguasa Venus mengkoloni Bumiku!”
“Ia Julietkah? Ia juga mencuri sayapku.”
“Sayap? Apakah itu sesuatu bulu berlembar-lembar berwarna putih dengan bintik-bintik transparan merah apel New Zealand?”
“Ya, semacam itulah sayapku. Padaku tinggal separuh dan hampir layu.” Romeo membeber sayap patahnya, raja Kolobos geleng kepala.
“Jadi itukah sayapmu? Juliet telah menyayatnya jadi potongan kecil-kecil berbentuk hati, melumerinya dengan saus pink dengan merek Ketuban Valentine dan memberikannya pada kaumku yang betina sehingga itu menumbuhkan sejenis polip di rahamya yang kemudian mbrojol sebagai seekor jenis binatang berkaki dua dengan kulit warna-warni, merah jingga kuning hijau biru nila ungu.”
“Antarkan aku padanya, aku harus meminta kembali sayapku, aku tak perduli meski makhluk MEJIKUHIBINIU itu harus dijejalkan kembali ke tubuh kaummu agar kembali ke bentuknya semula.”
Maka terbanglah raja Kolobos dengan Romeo di tengkuknya, berpegang tangan sang ksatria bersayap sebelah pada cuping telinga sang raja sehingga ia bisa melihat “pundi kebenaran” yang berkarat di di tebing gendang telinga makhluk berbulu itu. Hasrat hati mengambil sebuah tapi keburu sang raja menurunkannya di sebuah daratan penuh bunga amber dan chamomile.
“Inikah Bumi? Mana Juliet?”
“Ini bukan bumi, ini Paradise! Tempat Juliet bertapa.” Sambil berkojah, raja Kolobos menunjuk ke suatu arah, “Itulah yang kau cari, Juliet belahan jiwamu.”
Dan memandanglah Romeo kearah yang ditunjuk raja Kolobos, rontoklah seketika sayap Romeo yang tinggal sebelah. Terbukalah juga auratnya sehingga ia malu dan meraup dedaunan Paradise.
Dan bersamaan itu, Julietpun memandang ke arah sayap-sayap yang rontok, kagetlah ia, dan lepaslah selendangnya, terbukalah auratnya.
Dua mahkluk itu saling pandang terpana. Dan Kolobos menaburkan serbuk feromon dengan liar sambil menari diantara mereka.
“Dasar bodoh! Harusnya kalian tak boleh saling melihat! Hahaha… “ Raja Kolobos tertawa lebar menggelegar, terbelahlah lantai Paradise. Dari semula inilah rencananya untuk mengusir dua orang itu dari temoatnya semula.
Romeo melesak terhimpit berteriak. Juliet ambles tak kuasa menggeliat. Jeritan berpadu bahak. Lalu semua gelap dalam pandangan Romeo dan Juliet. Dan mereka diam. Sunyi.
Dan ketika mereka terjaga, matahari bersinar terik di padang pasir Verona. Mereka melihat makhluk-makhluk berkaki dua berwarna MEJIKUHIBINIU dimana-mana. Mereka saling menyalahkan.
“Kata Hatif kau mencuri sayapku.”
“Tidak, Hatif bohong, ia yang ingin kita bertemu.”
“Kata raja Kolobos kau mendermakan sayapku.”
“Tidak, Kolobos juga bohong padamu. Kaumnya yang betina itu yang memaksaku agar dicicipkan rontokan sayapmu.”
Tiba-tiba Romeo kejang-kejang, dua sayapnya telah berpulang, padahal sayapnya itulah nyawanya. Ia menggigil meriang tak tertahankan.
“Aku tak bisa hidup disini, Verona terlalu hijau, aku suka merah. Aku harus kembali ke Mars.”
“Dan aku harus kembali ke Venus.”
“Tapi aku tak bisa kesana, aku tak punya sayap lagi.”
“Aku juga takkan diterima lagi di Venus. Kantong saus Ketuban Valentineku telah kering. Padahal di venus, semua memilikinya”
Dua orang itu meratapi nasib. Menangis hingga pepasiran membasah. Saat itu Hatif menyapa.
“kalian akan tetap tinggal di Verona dengan perjanjian sebagai berikut”
1. Agar Romeo tak lagi mengingat Mars yang berwarna merah, maka semenyya yang merah akan diubah seputih susu saja
2. Agar kantong saus valentine Juliet tak pernah kering, maka dibuatkan kantong khusus dalam tubuhnya, bernama ketuban plasenta.
3. Agar tidak bingung dengan warna kulit makhluk hasil percampuran sayap Juliet dan ketuban Juliet, maka disederhanakan saja menjadi 4 macam saja, hitam: negroid, putih : Eropid. Coklat : mongoloid, dan merah: Indiana
“Jadi karena perbedaan atmosfir itulah, maka bintang terlihat berkelap kelip. Tapi akan terlihat Mars the Red planet berwarna merah, dan Venus… Dion, apa warna Venus?”
“Ungu!” kurasa aku benar, tapi jenih matamu kecewa.
“Ungu? Ah Dion, sebaiknya kau cuci muka dulu.” Mimpiku mengalir indah. Percintaan Romeo Juliet tanpa Hepasteus. Sayang ibu guruku marah. Tapi benar kan Bu, Venus berwarna ungu? Seungu mata cincin dijari manismu. Kurasa aku mulai menyukai ungu. Ungu adalah venus. Venus itu kau, hesperosku, phosporosku.
Di kala melati itu mulai bertambah kuntumnya, erospun bangkit dari semedinya, menyadarkan Mars dan Venus yang terlena dalam perselingkuhan di pagi buta dalam jarring laba-laba.
Kumbang-kumbang berebut melati, kumbang muda dan kumbang tua.
“Yang besar bapaknya, yang kecil anaknya.”
“Bu, jika hanya ada sekuntum melati, siapa yang berhak mengambilnya?” karena bagiku hanya ada satu melati yang kutanam di vas kaca ungu yang rawan Pecah. Dan sebagai bunga, ia tak bisa memilih kumbang mana yang ia suka.
“Yang kecil,biar ia mempraktekkan ilmu yang didapatnya dari kumbang dewasa.”
“Bagaimana jika kumbang bapak itu butuh madu lebih dulu demi ratunya yang gering?”
“Baiklah, yang besar dulu. Dengan begitu ratunya akan sembuh dan menghasilkan banyak kumbang baru.”
“Kau jangan plin plan Bu. Kenapa tak kau biarkan saja mereka saling buru dan bunuh. Yang kuat memangsa yang lemah.”
“Tidak bisa begitu, semua ada aturannya, jangan memakai hukum rimba.”
“Aturan dibuat untuk dilanggar Bu. Dan dalam cinta kita tidak perlu unggah ungguh!”
Kau diam. Kenapa Bu? Takutkah kau Bu jika kumbang kecil akan bunuh diri karena harga dirinya terluka, atau ikut berduka pada kumbang besar yang kehilangan wibawa jika kalah bertanding dengan kumbang remaja?
Kumbang remaja adalah aku. Kumbang dewasa adalah ayahku. Mana yang kau ijinkan untuk memetikmu?
“Maaf, aku putuskan tidak memilih.”
Karena kau tak sanggup meninggalkan si cacat Hepasteuskah? Padahal kau selalu meracuniku dengan cerita ibu peri baik hati yang selalu menemani anak-anak yang kehilangan bunda ketika terbebsa dari rahamnya, takkan habis versi mahabarata dan Ramayana, sehingga aku selalu bermimpi dewi shinta menjelma ibu peri dan membuktikan kesetiaannya mengawal anak-anak yang tak ingin jadi dewasa dengan bersumpah dalam kobaran api nyala. Api yang membakarku suatu malam ketika engkau asyik mencumbui berkas-berkas disertasimu. Sehingga kau tak bisa menemaniku mengerjakan rumus pesawat sederhana.
Mungkinkah kau telah lupa, aku baru saja kau pimpin mencapai baligh dan memahami bahwa Mars dan Venus adalah Pecinta gila yang abadi, seperti teori-teori yang kau kutipi, Ptolemy dan Copernicus, Romawi dan Herodotus, astrologi dan astronomi.
Bukan Ares, bukan Hepasteus. Tapi Hades.
Kau menemuinya di dekat rumpun melati. Kau persembahkan sebotol insektisida dan surat cinta. Pada Hepasteus terhormat, pada Ares terkasih. Aku pergi, aku tak bias memilih.
Busuk!
Melati itu masih berpuluh kuntumnya yang belum mekar, tapi kenapa kau gugur duluan? Padahal sarimu telah disesap si kumbang besar dan menunjukkan gejala berbuah. Kata dokter 3 bulan jalan.
Dinda, pecah sudah vas unguku, kemana kucari melatiku?
Matahari jingga mengawalmu ke istana Erebus, dia mengarbitku jadi dewasa. Dan berteman Mammon, Leviathan, Amon dan Beelzebub, kutemui Hepasteusmu. Kubawa dia mengumpulkan kelopak bungaku yang runtuh tercerai berai di kawah Akheron. Semoga bisa jadi bekalnya menyusulmu menemui Hades. Tunggulah ia disana.
Busuk!
Pasti tujuh tahun ini kau bersamanya, bersama Asmodeus dan Lucifer.
Dan melati itu, tinggal serumpun saja. Dia dibabat habis untuk memudahkan penyelidikan atas mayat kakumu yang ditemukan di pagi buta oleh penjaga sekolah. Tapi sepertinya malam mini seminya semringah, mungkin karena ada sebagian kau yang tertinggal disana.
Andai aku bisa menemanimu Dinda, mempersembahkan bagian dirimu itu.
Ah, aku tahu, ada beberapa mata mengawasiku.
Aihh, manusia iri, tolonglah. Tak bisakah kau biarkan aku menemui melatiku saja. Kekasihku sendiri menangguk duka hati, menuai cinta tak berpunya. Hujan tiada berjenguk. Telepon tiada berdering.
Cinta.
Busuk.
*********************************************************************
Penyergapan itu begitu cepat. Dan ia tak berdaya. Bukan karena ia tak punya daya. Tapi mungkin dirasanya cukup. Ia tak mau lagi berulah. Tapi tiba-tiba tergoda karena salah satu dari mereka merebut paksa melatinya.
“Jangan! Jangan melatiku!” keposesivan yang percuma. Mana mereka tahu arti melati bagi seorang Dion Praharsa. Jadinya melati-melati itu dicampakan, berserakan di tetanahan, diantara Teki dan krokot. Dion tak kuasa meronta dalam cekalan, lalu melemah dan pasrah. Seperti Romeo kehilangan sayap, karena sayap itulah nyawanya. Karena melati itulah nyawanya.
Dalam kesekaratan, ia melihat perempuan itu diantara para peringkusnya.
“Ibu, tolong aku. Melatiku Bu.”
Tapi perempuan itu tak bereaksi, malah ia buang muka tak bersimpati, padahal jelas ada airmata kasih sayang yang ditopengi benci. Sebuah kemunafikan yang nyata antara rindu dendam. Mendengar panggilan ibu ia sudah beku, naluri keibuannya raib tujuh tahun silam.
“Bu, bawa melatinya ke Miss Ori, katakana aku mencintainya. Seperti kau cinta bapak.”
Kalimat terakhir anaknya, Dion Praharsa, hilang bersama angin, seperti hilangnya masa lalu. Anak lelakinya tak menolak ketika borgol kembali membelenggunya dan rombongan pemangsa itu membawanya pergi. Malah yang ia dengar adalah suara lelaki yang menjadi inti masalah ini.
“Kau memang indah dilihat, tapi tak berasa disentuh. Dia melati yang putih, cantik dan wangi.”
Lalu satu suara lagi, suara yang ia tak acuhkan keberadaanya.
“Asal ibu tahu, dialah yang menghamili Miss Ori! Aku tak terima kau diperlakukan tidak adil olehnya!”
“Tidak!” nafas perempuan itu memburu, ia menyuruk ke arah melati yang tercecer. “Takkan ada melati buatmu, tak ada buat seorang sundal sepertimu!” ia menginjak-injak melati itu kasar dengan ujung sol sepatunya.
Betapa, melati itu yang membuat bapak anak berseteru. Melati itu yang membuat suami dan anaknya saling bunuh.
*******************************************************************
“Kau tak apa-apa Pak? Sunggguh?”
“Masih utuh.” Tersenyum jamin menjawab, meski dibiarkannya sang istri memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Benar kan.’
“Untunglah.”
Jeda sejenak. Jamin mereguk kopi yang tersaji. Istrinya menguap sekali. Pasti masih mengantuk karena tidur malamnya terpotong kejadian barusan.
“Cuma maling kembang melati.”
“Melati?”
“Ya, melati.”
“Cuma melati? Dan kau melaporkannya pada polisi?”
Jamin menghela nafas. Istrinya penasaran. Andai kau tahu Bu siapa maling kembang melati itu, pasti kau sekeder aku juga.
Beberapa jam lalu saat hujan hampir usai dan ia pun selesai menjalankan tugas mengontrol suasana sekolah, ia berniat menyusul istrinya tidur. Tapi ia terhenyak kaget saat mendapati seorang tamu tak diundang di terasnya. Temaramnya lampu tak bisa menyembunyikan wajah tamu itu.
“Masih ingat saya Pak?” menelusiri wajah lelaki asing itu, raut tak terawat, masih muda tapi rambut menimbun parasnya sehingga telihat acak, tirus, kumal. Tapi samar ia ingat seorang siswa yang dulunya ia banggakan. Ia yang supel dan merebut berbagai posisi di sekolah, ketua kelas, ketua OSIS, ketua tim basket, vokalis band, ah, harusnya ia bisa lulus dengan predikat terbaik, andai saja.. andai saja…
“Dion.” Menyebut namanya, Jamin mundur selangkah.
“Tak usah khawatir Pak,saya tidak berniat buruk. Bapak sehat? Kantinnya masih ramai?”
“Masih, masih.” Ingatan masa lalu tergali lagi. Dion, ah, dia masih sesopan dulu.
“Saya minta ijin memetik bunga melati di depan kelas II.2 pak.besok Miss Ori ulang tahun. Boleh ya Pak?”
“Bo.. boleh, silahkan.”
“Terimakasih. Dan jika bapak hendak melaporkan keberadaan saya disini, saya mempersilahkan.”
Tuhan, andai tadi ia tak melaporkan, tentu saja Dion bisa memeperembahkan melati untuk kekasihnya.
“Pak?” jamin tergagap, menatap istrinya lekat. Duhai sayang, tahukah kau makna sebuah cinta?
“Terus gimana kelanjutannya? Dia dibawa ke kantor polisi?”
“Ketika kita pacaran dulu, ada sebuah peristiwa menggemparkan di sekolah ini. Kepala sekolah tewas mengenaskan digorok anaknya sendiri.”
“Karena dia menghamili seorang guru baru. Dan kemudian terkuak bahwa anaknya itu juga menyukai gurunya. Guru itu diketemukan tewas di rumpun melati, bunuh diri.”
Seperti garis hitam diatas putih, kejadian akan selalu terekam dalam memori.
“Dion? Dion Praharsa? Pencuri itu“ istrinya memastikan. “Dia kabur dari tahanan? Hanya karena mencuri melati?”
“Ya, melati.”
“Benar-benar kebliner anak itu.”
“Bu, bsok ulang tahun Miss Ori. Dion ingin menghadiahinya melati.”
Lalu diam. Dari jauh terdengar kumandang subuh. Angin pagi membawa harum melati ke kamar mereka. Melati yang lain, bukan yang didepan kelas II.2.
*********************************************************************
Aku mungkin berdosa, tapi demimu Dinda. Maaf aku tak bisa datang dan menyalakan lilin makan malam bersama harum melati, aku harus kembali mengikuti mereka dimana aku bisa melebur dosa. Ini demi ibu, seperti halnya demi ibu pula kubunuh kekasihmu, ayahku.
Langit masih sama seperti saat kita berdua menaksir bintang-bintang, satu dua tiga seribu sejuta, tiada lagi kau Oriza sativa. Kulihat sejuta bintang di langit sana berubah jadi Venus, tapi hanya satu Mars, aku.
Langganan:
Postingan (Atom)
Welcome Back to Neverland!!!
Haiaaaaaaaaaaaaaaa................ setelah sekian lama mati, bener-bener mati gaya! blog ini pertama kali Agustus 2010 dan sekarang adalah f...
-
Gatau.... maunya nuangin ide2 gila menulis.... banyak cerpen dan puisi yang kurang percaya diri untuk dikirimkan. tapi tiba-tiba ingin menul...
-
Hari haran adalah seorang pelajar yang pandai tetapi miskin. Ia ingin ke ibukota untuk mengikuti ujian, tapi ia tak punya uang. Ia mencoba m...
-
Akhirnya ia setuju dengan ide Tomi untuk membudidayakan Pleco dengan cara yang semestinya. Jika tidak, maka populasinya yang berlebih di kol...